Jumat, 31 Juli 2009

Polisi Jepang Puji FKPM Lalin






Friday, 31 July 2009

SEMARANG- Pembentukan dan kinerja Forum Kemitraan Polisi Masyarakat Lalu Lintas (FKPM Lalin) yang diprakarsai Satlantas Polwiltabes Semarang mendapat pujian National Police Agency of Japan, melalui salah seorang pejabatnya, Senior Superintendent (stingkat Brigjen-red) Suzuki Motoyuki.

Saat melakukan kunjungan di Mapolwiltabes, Rabu (30/4) pagi, Suzuki dibuat terkejut ketika mendengar dan melihat adanya FKPM yang khusus membidangi masalah lalu lintas. Pasalnya, selama kunjungan bersama pejabat Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Mabes Polri di Jakarta, Kalimantan, Bangka-Belitung, dia tidak menemui adanya Polres atau Polwiltabes yang mempunyai FKPM Lalin.

“Ini sangat bagus. Saya belum temukan di beberapa tempat yang saya kunjungi. Sebab, di seluruh Indonesia banyak FKPM untuk masalah umum, bukan khusus menangani lalu lintas. Tapi di Semarang ada FKPM umum dan khusus lalu lintas. Saya salut. Mungkin ini yang pertama di Indonesia,” ungkap Suzuki kepada Kasat Lantas Polwiltabes AKBP Drs Agus Suryo Nugroho SH, ketika melihat langsung kinerja FPKM Lalin di Pos Patwal Simpanglima.

Sangat Cocok

Di tempat itu, Suzuki yang didampingi Kombes Ermiady selaku PSP Polmas PTIK Mabes Polri, juga memeriksa struktur kerja organisasi. Dia juga dikenalkan dengan perwakilan klub otomotif yang menjadi anggota FKPM.

Dikatakannya, FKPM Lalin sangat cocok fungsinya untuk wilayah kota besar. “Kalau di desa, tentu beda FKPM-nya. Di desa atau kota yang belum padat lalu lintasnya, FKPM umum yang diterapkan. Karena lebih menangani masalah keamanan dan ketertiban lingkungan masyarakat masing-masing,” kata dia menggunakan bahasa Indonesia.

Diceritakan, di Jepang ada juga organisasi sejenis FKPM. Tapi struktur organisasinya tidak berada di bawah polisi, melainkan berdiri sendiri. “Kebanyakan dikelola organisasi nonpemerintah,” ungkap Suzuki yang mengaku sudah berada di Indonesia sejak Juli 2007.

Kombes Ermiady mengatakan, Indonesia dan Jepang telah berkerja sama dalam bidang Polisi Masyarakat (Polmas). Kerja sama tersebut menyangkut penelitian sekaligus tukar pengalaman menangani FKPM. “Makanya kami berkunjung ke beberapa Polda, Polwiltabes, dan Polres, di Indonesia, untuk mengetahui tingkat kesiapan dan kemajuan FPKM masing-masing daerah,” katanya. (H21,H40-18)

Sumber: Ikatan Sakura Indonesia

Kamis, 02 Juli 2009

Fasilitas FKPM Kalahkan Polsek


[ Metropolis, Jawa Pos, Rabu, 01 Juli 2009 ]

Fasilitas FKPM Kalahkan Polsek Di Perumahan Nirwana Ekslusif

FKPM di Surabaya benar-benar beragam. Ada yang masih tertatih-tatih melangkah, banyak yang sudah maju, bahkan ada yang sudah sangat ultramodern.

Salah satu yang paling modern adalah FKPM Nirwana Eksekutif. Meski berada di kompleks perumahan mewah (yang biasanya diasosiasikan dengan sikap individualistis), fasilitas, kegiatan, serta inventaris yang dimiliki mengalahkan polsek. Pos ronda diperbaiki dan fasilitas dilengkapi. Dengan dua unit komputer, satu locker penyimpan dokumen-dokumen, dan ruang tamu lapang outdoor, pos ronda tersebut lebih mirip kantor polisi mini.

Daftar inventarisnya belum semua. FKM tersebut mempunyai situs yang selalu di-update, yakni www.polmasnirwana.poldajatim.com. Juga mempunyai satu sepeda motor patroli. Hebatnya lagi, meski rata-rata anggotanya adalah orang berduit, yang berpatroli adalah anggota sendiri. Bukan membayar satpam untuk melakukannya. ''Namanya Pak Iswandi. Kami bersinergi dan bermitra dengan satpam perumahan, bukan majikan yang menyuruh-nyuruh,'' jelas Koordinator FKPM Nirwana Eksekutif Djoko Suwondo.

Selain itu, FKPM tersebut mempunyai satu speedboat dan satu kapal kayu sebagai inventaris. Hebatnya lagi, kedua kapal yang bernilai lebih dari Rp 100 juta tersebut merupakan swadaya dari FKPM. Kedua kapal itu memang dibuat untuk berpatroli di kawasan Mangrove Wonorejo. ''Masalah di sana kompleks,'' katanya.

Djoko menyebutkan, masalah utama di sana adalah pencurian tambak, pembalakan liar, hingga kerusakan lingkungan. ''Pernah ada warga Wonorejo yang besoknya panen bandeng, tapi malamnya sudah ludes. Diduga kuat dicuri oleh kapal-kapal dari luar daerah,'' tuturnya.

Untung, pemkot dan polisi pun cepat tanggap. Pemkot menetapkan mangrove sebagai kawasan konservasi. Polisi pun dalam waktu dekat mendirikan pos pantau. Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam juga menjajaki kemungkinan untuk di-connect-kan dengan Ditpol Air Polda Jatim.

Ke depan, FKPM Nirwana Eksekutif bahkan menjadikan kawasan mangrove Wonorejo sebagai ekowisata, kawasan wisata. ''Siapa pun boleh masuk, tapi dengan catatan tak boleh melakukan pembalakan liar atau mengganggu keamanan,'' tegasnya. (ano/oni)

Sumber: http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=78067

Rabu, 01 Juli 2009

Artikel FKPM di Jawa Pos

[ Rabu, 01 Juli 2009 ]

FKPM Lima Bulan Selesaikan 1.010 Masalah

WARGA Polak Wonorejo lega setelah Sholeh dan Suparmi kembali berdamai dan berpelukan. Warga lebih lega karena pasutri yang juga warga setempat itu berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya. Untuk membuktikan kesungguhannya, pasutri tersebut menandatangani formulir C Polmas Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) Kelurahan Peneleh.

Untuk memperkuat keabsahan secarik kertas perjanjian tersebut, Bripka Gatot Siswanto, anggota Polsek Genteng yang menjadi Babinkamtibmas Kelurahan Peneleh, menjadi saksi. Dengan penandatanganan itu, warga Peneleh berharap agar tidak lagi mendengar pertengkaran pasutri tersebut secara vulgar.

Sebelumnya, pasutri itu dibawa warga ke balai RW dan masalahnya diselesaikan oleh FKPM setempat. Gara-garanya, mereka bertengkar di pinggir jalan sehingga mengganggu warga lain.

***

Pasutri Sholeh-Parmi tidak sendiri. Sepanjang Januari-Mei 2009, FKPM di jajaran Polwiltabes Surabaya berhasil menyelesaikan 1.010 masalah sosial. Tahun lalu, catatan penyelesaian masalah sosial oleh konsep perpolisian masyarakat tersebut juga menggembirakan. Jumlahnya mencapai 4.626 penyelesaian masalah sosial.

Itu menunjukkan besarnya partisipasi masyarakat dalam pengamanan, sekaligus mengurangi beban polisi dalam pemrosesan kasus. Masyarakat aman, sekaligus polisi bisa fokus pada penyelesaian kasus-kasus besar.

Konsep perpolisian masyarakat sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam masyarakat Indonesia. ''Dulu kita pernah punya sistem seperti itu. Namanya sistem keamanan lingkungan (siskamling),'' kata Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam.

Namun, karena belum terlembaga dengan baik dan minimnya back up dari pemerintah, siskamling pun lama-lama hilang begitu saja. Di sisi lain, kejahatan terus meningkat, secara kualitas dan kuantitas. Pada saat yang sama, Polri sebagai institusi pengaman semakin kedodoran dalam mengantisipasi kriminalitas. Tidak perlu jauh-jauh soal kualitas, soal kuantitas saja sudah tidak memenuhi syarat.

Contohnya di Polwiltabes Surabaya. Perbandingan jumlah polisi dan masyarakat masih sangat timpang. Satu polisi mengawasi lebih dari 1.000 penduduk. Padahal, yang ideal, satu polisi menangani 100 orang. Itu belum termasuk soal beban kasus. Sebagai contoh, tiap bulan, sekitar 200 personel Satreskrim Polwiltabes Surabaya harus menangani lebih dari 300 kasus.

Mengingat itu, Mabes Polri kemudian menyusun konsep perpolisian masyarakat yang lantas dikukuhkan oleh Skep Kapolri nomor 737/X/2005 tertanggal 13 Oktober 2005. Singkatnya, konsep tersebut menjadikan masyarakat sebagai polisi bagi diri sendiri. ''Intinya, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk mengamankan lingkungannya sendiri,'' kata Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Ronny Franky Sompie.

Karena itu, sejak 2006, polisi melakukan pembenahan internal dan melatih personelnya agar mengerti konsep polmas. Mereka juga harus ''memprovokasi'' masyarakatnya. Sebab, konsep polmas masih ngawang-awang. Dari, situ lahirlah bentuk konkret polmas, yakni Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM).

FKPM adalah wadah bagi sejumlah warga untuk bisa mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah keamanan lingkungannya sendiri. Sebagai penguat, setiap FKPM di-back up oleh seorang bintara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (babinkamtibmas).

Supaya "gigi"-nya lebih kuat, FKPM pun diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah pidana ringan yang lebih cenderung ke masalah sosial. Misalnya, KDRT ringan, penganiayaan ringan, hingga ke pencurian ringan. ''Harapannya, tidak semua kasus ringan yang seharusnya bisa berakhir damai harus diproses polisi. Selain tidak efektif, juga membuat beban kerja kami menjadi sangat tinggi,'' urai orang nomor satu di jajaran kepolisian Surabaya tersebut.

Supaya lebih efektif penetrasinya ke dalam masyarakat, polisi membagi dua jenis FKPM. Yakni, FKPM wilayah dan FKPM kawasan. FKPM wilayah adalah FKPM berdasar letak geografis. Misalnya, FKPM Peneleh dan Nirwana Eksekutif. FKPM kawasan dibagi berdasar aspek demografis, seperti FKPM pelabuhan dan FKPM terminal.

Di Surabaya, polisi mengklaim indikasinya positif. Dalam waktu tiga tahun, telah terbentuk 1.883 FKPM. Menurut juru bicara Polwiltabes Surabaya AKBP Sri Setyo Rahayu, data dan faktanya telah berbicara apa adanya. ''Kami telah berupaya keras untuk itu dan hasilnya telah mulai terlihat,'' kata perwira yang juga menjabat Kabag Binamitra Polwiltabes Surabaya itu.

***

Namun, menyebut Surabaya adalah salah satu kota dengan keberhasilan FKPM tinggi masih harus dilakukan dengan helaan napas tertahan. Jawa Pos mengamati, jumlah FKPM yang mewarnai kehidupan warganya masih relatif sedikit. Meski polisi mengklaim bahwa di antara 1.883 FKPM itu, yang aktif telah mencapai 75 persen. Namun, secara umum, FKPM boleh dibilang belum terlalu mewarnai Surabaya.

Selain itu, yang aktif pun belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Misalnya, kata Nuri Effendi, pegiat FKPM RW IX Medokan Ayu. Secara terbuka, Nuri menyebut sering warga menganggap FKPM adalah mata-mata polisi. ''Beberapa kali, saya dianggap sebagai SP (spion, Red) polisi,'' akunya saat dialog dengan Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam di Medokan Ayu Jumat malam lalu (26/6).

Nuri juga mengeluhkan FKPM yang kurang "bergigi". ''Sering diremehkan oleh warga sendiri. Misalnya, ada warga mengurus izin keramaian. Ternyata dangdutan. Saya sendiri saja tidak tahu. Ketika saya menegur, saya malah dikatain 'Yok opo iki, FKPM kok malah gak ngerti','' ucapnya.

Belum lagi soalnya tidak selalu harmonisnya kemitraan polisi-masyarakat. Nuri mengatakan, beberapa kali masuk kantor polisi, dirinya malah dibentak oleh yang jaga. ''Bagaimana mau bermitra kalau ketemu saja sulit,'' keluhnya.

Juga ada masalah tentang personel. Dari sekitar 485 babinkamtibmas di jajaran Polwiltabes Surabaya, tidak lebih dari 50 personel yang telah mendapatkan pelatihan soal polmas. Kendalanya klasik, yakni cekaknya dana pengembangan SDM untuk polmas. Dengan begitu, tiap tahun, personel yang dilatih pun juga sangat terbatas.

Bahkan, di FKPM yang tergolong aktif pun, pengertian FKPM antara polisi dan masyarakat pun agak berbeda. Ada warga yang mengira dengan aktif di FKPM dirinya bisa mendapatkan gaji.

Anton tidak menampik indikasi-indikasi tersebut. ''Bila ada sejumlah indikasi mengenai kurang maksimalnya akselerasi polmas, itu cukup wajar. Program ini baru berjalan tiga tahun. Memang wajar ada kebingungan-kebingungan di lapangan. Tapi, itu tak boleh membuat patah semangat. Lambat laun pasti akan teratasi,'' kata jenderal polisi bintang dua tersebut. Anton menambahkan, keyakinannya tersebut didasarkan pada hasil. ''Karena yang diuntungkan adalah masyarakat sendiri. Bila ini berjalan baik, yang paling menikmati hasilnya adalah warga sendiri,'' tambahnya.

Khusus untuk tidak selalu selarasnya kemitraan antara polisi-masyarakat, Anton memberikan atensinya. ''Baik, Pak Nuri. Bila sampeyan masuk ke kantor polisi masih dibentak-bentak, silakan laporkan saya. Baik melalui telepon atau SMS. Akan saya beri tindakan khusus,'' kata Anton, kemudian menyebutkan nomor telepon genggamnya.

Kendati sudah banyak indikasi positif terkait perkembangannya, polisi masih harus bekerja sangat keras untuk meyakinkan masyarakat menjadi polisi bagi dirinya sendiri. Jangan sampai konsep yang amat menjanjikan itu berakhir tak tentu arah dan hanya menjadi ajang kumpul-kumpul segelintir warga belaka. (ano/dos)

Sumber: Jawa Pos