Oleh Abdul Hakim

Batik Mangrove Surabaya Simbol Kepedulian Lingkungan
Surabaya - Siapa yang menyangka jika munculnya batik Mangrove (bakau) asal Kota Pahlawan atau yang dikenal dengan batik "SeRU" (Seni batik Mangrove Rungkut) berawal dari keprihatinan salah satu warga di Wisma Kedung Asem Indah J 28 Surabaya, Lulut Sri Yuliani atas rusaknya lingkungan yang ada di kawasan konservasi pantai Timur Surabaya.

Banyaknya tanaman mangrove yang ditebang secara liar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan lingkungan sekitar menjadi rusak. Selain itu, banyak satwa yang terancam punah dan bahkan di sekitar pantai sering terjadi abrasi dan erosi.

Kondisi tersebut membuat Lulut yang juga koordinator batik SeRU tergerak hatinya untuk melakukan tindakan pencegahan penebangan mangrove secara liar. Kebetulan Lulut sendiri adalah salah satu aktivis lingkungan di Surabaya, sehingga ide untuk itu bisa segera terwujud.

"Salah satu yang bisa saya lakukan untuk lingkungan adalah membuat batik mangrove," tuturnya.

Menurut dia, tujuan dari batik mangrove tersebut adalah kampanye lingkungan yakni dengan cara mengenalkan mangrove melalui seni batik.
"Saya kira ini yang paling efektif, daripada cara lainnya," katanya menegaskan.

Batik mangrove, lanjut dia, pertama kali mulai dicetuskan pada tahun 2007 hingga 2008. Selama dua tahun tersebut, ia belajar membatik
ke sejumlah daerah, salah satunya belajar cara mendesain batik di Bali.

Baru pada bulan Maret 2009, ia mengumpulkan sejumlah warga di Kecamatan Rungkut Surabaya untuk mengikuti pelatihan cara membatik. "Pertama saya bebaskan mereka membuat batik sesuai keinginannya. Namun pada saat saya melihat hasil karya mereka, saya terinspirasi dengan mangrove," ujarnya.

Lulut sendiri berhasil menampilkan kain batik mangrove dengan beragam motif bunga, buah, akar, binatang dan motif mangrove lainnya.

Namun, batik yang sudah pernah dipamerkan adalah batik dengan beragam motif batik mangrove, antara lain motif "Aegiceras corniculatum", "A. floridum", "Avicennia alba", "Bruguiera cylindrica", "Lumnitzera racemosa", "Acanthus ilicifolius", "Xylocarpus granatum", "Sonneratia alba", "Rhizophora mucronata", "Pemphis acidula", "Nypa fruticans", "Barringtonia asiatica", "Calophyllum inophyllum", "Calotropis gigantea", "Pandanus tectorius", "Acrostichum aureum", "Ipomoea pes-caprae".

Desain batik mangrove murni mengadopsi jenis-jenis mangrove yang hidup di rawa-rawa sekitar pantai Wonorejo, seperti baringtonia, tanjang, nipah, nyamplung, dan bogem. Warna yang dipilih adalah warna-warna yang cerah.

Memang ada pengaruh dari Batik Madura, tapi batik mangrove punya kekhasan sulur-sulur mangrovenya dan selalu dalam bentuk batik tulis, bukan cetak.

Sebenarnya, tak hanya batik bermotif mangrove saja yang dihasilkan oleh Lulut dan kelompok binaannya yang berjumlah 11 kelompok. Namun, sabun wangi dari buah Sonneratia juga dibuat dengan tujuan utama untuk memperkenalkan mangrove kepada masyarakat umum.

Beranjak dari pemikiran yang sama bahwa mangrove bukanlah sebuah ekosistem penuh sampah, nyamuk, dan tak berdaya guna, melainkan sebuah
ekosistem yang sangat potensial baik secara ekologi dan ekonomi, maka Lulut dan kelompoknya berjuang keras agar mangrove "diakui" dari sisi ekonominya.

Bahkan batik mangrove sendiri juga pernah diikutkan dalam pameran di Jakarta beberapa waktu lalu. Namun, ia sendiri cukup menyadari bahwa produksi mangrove masih sangat terbatas, sehingga belum bisa bersaing dengan batik kelas atas seperti yang ada di Yogyakarta dan Surakarta.

Dengan 11 kelompok yang ada, kata dia, masing-masing kelompok dalam setiap dua pekan menghasilkan enam hingga delapan kain. Satu lembar kain batik mangrove berukuran sekitar tiga meter dijual dengan harga Rp75 ribu hingga Rp200 ribu.

"Batik mangrove baru sebatas dijual ke masyarakat yang ada di Surabaya, tapi responnya bagus. Bahkan tidak hanya kalangan orang tua, tapi juga anak-anak muda," paparnya.

Ia sendiri juga mempunyai rencana untuk memasarkan produknya ke sejumlah instansi pemerintahan dan swasta di Surabaya. "Hingga saat
ini yang sudah memesan batik mangrove baru Kecamatan Rungkut," katanya.

Untuk menembus pasar batik, kata Lulut, mau tidak mau memang harus dikelola secara industri dan melibatkan banyak tenaga kerja dan modal. “Kami masih bingung soal pemasaran. Selama ini kami menjual produk-produk kami ke instansi-instansi pemerintah. Untuk masuk ke pasar batik, kami masih banyak kendala,” ucapnya lirih.

Ikon

Sebelumnya, Sekretaris Kecamatan Rungkut, Ridwan Mubarun yang menjadi fasilitator kelompok batik mangrove di Wonorejo mengatakan, Pemkot Surabaya berusaha mengangkat keberadaan batik mangrove dengan menetapkannya sebagai ikon Kecamatan Rungkut.

Selain itu, batik mangrove juga akan dimasukkan dalam paket ekowisata hutan mangrove yang akhir tahun 2009 akan diresmikan oleh wali kota Surabaya. “Kami juga berupaya untuk memfasilitasi kelompok-kelompok ini mendapatkan hak paten atas desain batik mangrove.

Ia juga mengaku bersyukur atas batik asal Indonesia yang mendapat pengakuan dari Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi masalah kebudayaan, UNESCO sebagai warisan budaya dunia (world heritage) tak benda (intangible). Pengakuan tersebut diberikan UNESCO di Abu Dabi pada Jumat (2/10) malam

"Kami berharap batik tetap eksis, diterima oleh masyarakat dunia, dan perajinnya tetap bisa berkarya lebih baik," katanya.

Kreativitas membuat batik tersebut rupanya menarik perhatian istri Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi yakni Tjahyaning Retno Wilis untuk berkunjung ke pameran batik mangrove yang digelar di Kecamatan Rungkut beberapa waktu lalu.

Bahkan, Tjahyaning Retno yang juga sebagai ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Deskranada) Surabaya memberikan stimulus berupa bantuan modal sebesar Rp2 juta.

"Bantuan ini jangan dilihat besarnya tapi ini merupakan stimulus sekaligus pancingan agar pihak lain juga mau perduli dengan kerajinan tradisional seperti batik ini agar tak punah," katanya.

Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono meminta kepada pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya supaya memakai pakain batik paling tidak dua hingga tiga kali dalam sepekan.

"Jauh sebelum adanya intruksi dari Presiden RI untuk serentak memakai batik pada Jumat(2/10), saya sudah minta agar memakai batik," katanya.

Menurut dia, memakai pakain batik merupakan salah satu upaya menghargai pusaka budaya bangsa Indonesia. Pasalnya, batik sendiri nyaris diakui oleh negara Malaysia sebagai budayanya.

Selain itu, kata dia, dengan memakai pakain batik, juga memberikan penghasilan bagi para perajin batik yang saat ini mulai marak di Surabaya dan juga memberikan bekal ketrampilan membatik di kalangan ibu-ibu PKK.

"Semakin terampil ibu-ibu PKK, maka semakin banyak industri batik yang ada di Surabaya," ujarnya.

Untuk itu, kata dia, pihaknya menyarankan agar seluruh pegawai di Pemkot Surabaya membiasakan dengan memakai batik, paling tidak dalam sekali dalam sepekan.

Kepala Sub Bagian (Kasubag) Liputan berita dan Pers, Bagian Humas Pemkot Surabaya, Eddy Witjayanto menambahkan bahwa kebiasaan memakai pakain batik sudah dilakukan pegawai pemkot setiap hari Jumat. "Meski tidak ada aturan resmi, tapi banyak di antara pegawai yang sudah memakai batik," katanya.

Namun, kata dia, pihaknya juga tidak memungkiri adanya sejumlah pegawai yang enggan memakai batik pada hari Jumat dengan alasan tertentu. "Tiap orang punya alasan sendiri-sendiri," katanya.

Namun, pemakaian seragam batik selama sepekan dianjurkan pada saat peringatakan Hari Kebangkitan Nasional. Hal itu merupakan instruksi dari pemerintah pusat.

Sumber: Antara Jatim