Senin, 23 November 2009

Artikel dari jawa Pos Edisi November 2009

Lurah Wonorejo Hastiadi Terinspirasi Kembangkan Wilayah setelah Belajar dari Tiongkok

Promosi Wisata Hutan Mangrove, Ajak RW Kunjungan Tiap Minggu


Lurah Wonorejo Hastiadi kini sedang bersemangat mengembangkan hutan mangrove di wilayahnya menjadi daerah wisata. Dia menyatakan banyak mendapatkan inspirasi baru setelah menimba ilmu dari Tiongkok. Seperti apa?
ASTANTO AL BUDIMAN, Wonorejo

---

HASTIADI ditunjuk mewakili lurah se-Surabaya untuk mengikuti seminar World Oceans Weeks (WOW) di Tiongkok pada 5-10 November lalu. Dia dipilih setelah menjadi juara pertama lomba Kelurahan Berhasil Tingkat Kota Surabaya pada Agustus lalu. Dia datang bersama Kepala Dinas Pertanian Pemkot Samsul Arifin. ''Ini anugerah sekaligus amanah agar membawa manfaat bagi Kelurahan Wonorejo,'' katanya.

Seminar itu memang memberikan semangat baru bagi Hastiadi untuk memaksimalkan potensi hutan mangrove di wilayahnya.

Seminar WOW adalah pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh pemerintah Tiongkok. Pertemuan itu membahas tentang bagaimana memanfaatkan potensi kelautan di masing-masing negara. Dalam subtopik, dibahas tentang potensi hutan mangrove. Lebih dari 15 negara menjadi peserta workshop. Mereka, antara lain, Filipina, Myanmar, Malaysia, Etiopia, dan Amerika Serikat.

Hastiadi mengungkapkan memperoleh banyak pengalaman berharga setelah mengikuti seminar itu. Dia kini mengetahui, banyak negara yang memiliki mangrove, namun tidak dirawat. Misalnya, Ghana, Nigeria, dan Filipina. Tiga negara itu malah menggusur hutan mangrove untuk dijadikan gedung-gedung bertingkat. ''Mereka baru menyadari pentingnya melestarikan hutan mangrove dan menjaga ekosistem pantai,'' ujarnya. Sementara itu, di Wonorejo, hutan mangrove ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Dalam acara yang diadakan di Kota Xiamen tersebut, Hastiadi juga mengunjungi beberapa tempat wisata kawasan pantai. Dia menjelaskan, pantai di sana menjadi jujukan wisata bagi warga sekitar sekalipun tidak banyak fasilitas yang disediakan. Yang ada di kawasan itu hanyalah bicycle track di sepanjang pantai dan jalur pedestrian untuk berolahraga. Sedangkan pembatas pantai yang dipasang untuk menahan ombak menggunakan bongkahan-bongkahan bekas bangunan. ''Yang patut diacungi jempol adalah kebersihan pantai dan fasilitas umum di sana,'' imbuh suami Umi Rachmawati itu.

Terinspirasi dari kunjungan tersebut, dia ingin memanfaatkan potensi alam di Kelurahan Wonorejo. ''Hutan mangrove di Wonorejo punya lebih banyak potensi keberagaman yang bisa dijual untuk pariwisata,'' ujarnya.

Bapak dua anak itu lantas membeberkan potensi alam di hutan mangrove Wonorejo. Selain bisa menikmati keindahan alam, pengunjung hutan mangrove Wonorejo bisa bermain-main dengan kerang dan aneka ikan. Kelurahan Wonorejo, menurut Hastiadi, memiliki flora dan fauna tersendiri yang tidak dimiliki wilayah lain di Surabaya. ''Orang bisa melihat hewan nyambik, monyet, hingga buaya,'' ujarnya, seperti berpromosi.

Kelurahan Wonorejo juga memanfaatkan mangrove menjadi produk-produk yang memiliki nilai jual. Mulai batik mangrove, jenang mangrove, hingga tempe dan krupuk mangrove. ''Unit usaha kecil dari warga ini nanti bisa menjadi ikon untuk oleh-oleh,'' tuturnya.

Setelah mengikuti seminar tersebut, lurah kelahiran 4 Oktober 1963 itu meminta perangkat kelurahan -RT, RW, dan lainnya- rajin mengunjungi hutan mangrove bersama warga setempat. ''Saya ingin semua warga Wonorejo tahu potensi alam kita,'' tandasnya. Waktu kunjungan disepakati pada Sabtu atau Minggu. Karena perahu hanya sebuah, Hastiadi membagi kunjungan menjadi per RW. ''Tiap kunjungan maksimal diikuti 40 orang,'' terangnya.

Hastiadi menjelaskan, dalam waktu dekat, pemkot akan membangun jalur bicycle track di Wonorejo. Panjangnya sekitar 25 kilometer. Mulai Boezem Wonorejo, Medokan, hingga Gununganyar Tambak. ''Tunggu tanggal peresmiannya saja,'' ujarnya. ''Mohon dukungan dari pemerintah kota dan provinsi, agar nanti hutan mangrove Wonorejo bisa menjadi ekowisata di Surabaya,'' imbuh Hastiadi.

Taken from Jawapos, Nov 23, 2009

Rabu, 11 November 2009

Artikel dari Blog Lombok

Dimakan Monyet, Diminum Orang



Penemuan sirup bogem dari bakau jenis Soneratea alba oleh Mochson benar-benar mengejutkan semua orang. Selama ini mangrove hanya dikenal sebagai tanaman penjaga daratan dari abrasi. Namun di tangan Soni, panggilan Mochson, hutan mangrove bisa diminum.

Soni mengaku prihatin pada buah bogem yang hanya terbuang percuma, selain dimanfaatkan untuk reboisasi. Buahnya yang jatuh hanya dibuat main lempar-lemparan oleh anak-anak.

Warga sekitar juga enggan terus-terusan ngerujak buah bogem karena rasanya yang sangat masam. Malah cenderung pahit saking masamnya.

Lama merenung sambil memandangi hutan mangrove, ia melihat sekumpulan kera di rerimbunan hutan mangrove. Awalnya Soni mengira primata-primata itu hanya bercengkrama saja. "Setelah saya amati, kok ada yang memakan buah bogem." katanya.

Soni bersimpulan buah bogem aman dikonsumsi. Rasa penasarannya membuat kakek satu cucu ini mencari informasi tentang pemanfaatan buah Soneratea alba. "Bogem ternyata dimakan juga oleh orang Kalimantan dan Bali. Ada yang dibuat rujak." tuturnya.

Ia ingin membuat sesuatu yang berbeda dari pemanfaatan bogem. Kalau dibuat rujak, tentu sudah biasa. Lalu dimulailah sejumlah eksperimen dengan buah eksotis ini. Membuat sari buah atau jus pernah dicobanya. Menurut Soni, rasanya segar. sayangnya jus tidak mampu bertahan lama.

Dasar penjuang, semangat Soni tidak patah. Ia lalu mencoba mengolah buah bogem jadi sirup. Hasilnya luar biasa. Rasa masam dan manis bersekutu di lidah membuat kerongkongan segar begitu dialiri hutan cair ini. Aroma mangrove yang khas dengan rasanya yang berani, sangat cocok untuk iklim tropis. "Ini oleh-oleh khas Surabaya." klaim Soni.

Kini pemanfaatan buah bogem tidak hanya untuk sirup saja. Dua produk olahan lain telah dihasilkan Soni. Antara lain jenang atau dodol bogem, dan cuka bogem. Jenang bogem bernuansa masam dan sepat yang menghiasi rasa manis jenang. Bagi yang suka pengalaman baru, ada baiknya mencicipi jenang khas Surabaya ini.

Sumber: Blog Lombok

Jumat, 06 November 2009

Article batik motif mangrove from KOMPAS

Mangrove Batik, Eco-batik from Surabaya
| 6 November 2009 | 05:30

Lulut Sri Yuliani and Mangrove batik (Kompas/Nina Susilo)

Lulut Sri Yuliani and Mangrove batik (Kompas/Nina Susilo)

On October 2, 2009, Indonesian rejoiced from the UNESCO’s acknowledgment on Indonesian batik as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. As addition to this designation, UNESCO insisted that Indonesia preserve their heritage. While Indonesian fashion designers compete in creating batik trends, an environmentalist from Surabaya preserves batik by promoting new, eco-friendly batik.

She is Lulut Sri Yuliani, an eco-activist who concerns on preservation of mangrove forest and the community living around it. Starting from her dream of making her own garden look greener, mother of Nadia Chrissanty Halim was appointed chairperson of Environment Care Forum of Rungkut Sub-district, Surabaya.

After an intimate introduction with mangrove, she began to look after the best solution for preserving mangrove as well as creating its sustainable community. The first solution was Sirvega, liquid soap made of Toga mangrove. She claimed that the soap specially made for washing batik cloths is eco-friendly as made of mangrove from species Jijibus jujuba and two other plant species.

Eventually, mangrove forest gives her brilliant ideas. As former art teacher, she applied her artistry into her latest concern to create Mangrove batik. Leaves, flower, fruit, and other parts of mangrove tree as well as organisms living on the environment become her main inspiration. The result, there are 44 pattern designs of mangrove batik she has created this year.

Each pattern is specifically titled according to both local and latin names of mangrove species it resembled. Pattern of Tanjang putih, for example, is depicting mangrove growth that resembles the species Bruguiera cylindrica of the family Rhizophoraceae. In Mange kasihan pattern, a tree featuring the species Aegicera floridum from the family Myrsinaceae is delicately design with figures of crab, fish, dan shrimph as its decorations.

Apart from the pattern, This new batik style also uses various parts of mangrove tree on its process of production. In coloring process, a mixture made of fruit and flower of Bruguiera gymnorrhiza is used to create red. Shade of yellow is taken from mixture of Turmeric (Curcuma longa) and Calophyllum inophyllum, locally called nyamplung.

As a handmade and eco-friendly art, Mangrove batik has its own exclusive value. Developed within a society with very fluid, flexible art value, each piece of mangrove batik has its own perfection as well as human flaw. Each of 60 batik artists on the society work freely in applying patterns and their combinations. The most important value lies on its eco-friendly processing method. What makes it more special is that it takes a month to make a piece of mangrove batik, three weeks longer than chemically processed batik.


Source: KOMPAS

Kamis, 05 November 2009

Artikel tentang Batik motif mangrove di Kompas

Lulut Sri Yuliani dan Batik Mangrove



KOMPAS/NINA SUSILO
Lulut Sri Yuliani

Oleh Nina Susilo

”Daunnya jangan dibuang,” kata Lulut wanti-wanti kepada seorang pengunjung pameran di Universitas Kristen Petra Surabaya, Jawa Timur, awal Oktober lalu. Beragam daun mangrove yang mulai kering itu tetap berguna. Lulut bisa menyulapnya menjadi pewarna batik.

Tidak hanya daunnya, hampir semua bagian dari berbagai jenis mangrove yang tumbuh di sekitar Kedung Baruk dan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, bisa dimanfaatkan Lulut. Bahkan, buah bogem (Sonneratia caseolaris) yang patah sebelum matang dan tidak bisa dibuat sirup serta ampas buah yang sudah diolah menjadi sirup pun masih bisa diproses. Sisa buah mangrove itu kemudian dia ramu dengan bahan-bahan lain menjadi sabun cair alami.

Lulut memang tidak bisa diam. Mantan aktivis karang taruna itu juga mengajar tari dan kesenian di sekolah, mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.

Baru setelah menikah dan pindah ke Wisma Kedung Asem Indah di Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, pada tahun 1989 aktivitas menari dia kurangi sampai benar-benar berhenti pada 1996. Aktivitasnya bergeser, dia mengurus lingkungan.

”Rungkut waktu itu gersang sekali, jadi saya mulai saja dengan menghijaukan rumah sendiri,” kata perempuan yang sejak kecil gemar memancing dan dekat dengan alam itu.

Penghijauan ditularkan ke tetangganya. Jadilah Lulut senang membawa bibit tanaman ke mana-mana. Ketika ada tetangga menginginkan, dia memberikannya. Ia pun menjadi kader sekaligus Ketua Forum Peduli Lingkungan Kecamatan Rungkut.

Kegiatan kader lingkungan ini menghasilkan bakteri antagonis composting yang bisa menjadi pupuk cair, mempercepat pengomposan, dan menghilangkan bau bangkai.

Sirvega dan batik seru

Lulut juga mencoba membuat sabun alami dari buah-buah mangrove. Pelatihan yang diadakan pemerintah memberinya pengetahuan. Namun, resepnya tetap harus dicari dari berbagai referensi dan eksperimen.

Setelah setahun mencoba-coba, pada 2006 Lulut dan kader lingkungan sekitarnya mulai memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.

Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.

Tahun ini Lulut mendesain pakem batik mangrove. Sebanyak 44 desain seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya (seru) dia siapkan. Semua mengambil bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta makhluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Setiap motif dilengkapi nama jenis mangrove yang spesifik, baik dalam nama Latin maupun nama daerah dan motif tambahannya.

Motif tanjang putih, misalnya, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang-seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.

Motif mange kasihan beda lagi. Gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu, gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu.

Supaya sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.

Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali.

Selain menggunakan pewarna alam, batik mangrove yang diciptakan Lulut bersama perajin di Kedung Baruk sejak Juli 2009 bisa dikatakan eksklusif. Sebab, setiap perajin mengatur komposisi desain sendiri. Lulut hanya menyiapkan pakemnya.

”Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak,” kata Lulut.

Ketika mengajar menggambar, dia kerap mendapati gambar seragam, seperti pemandangan dengan dua gunung, matahari, dan sawah, atau gambar seragam vas dengan dua tangkai bunga.

Perkumpulan perajin batik mangrove yang berpusat di tempat tinggal Lulut, Wisma Kedung Asem Indah, diberi nama Griya Karya Tiara Kusuma. Maksudnya, dari rumah semua bisa berkarya mengharumkan nama bangsa dan memakmurkan keluarga.

Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk, terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.

Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.

Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif sawunggaling dan suroboyo.

Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis mangrove.

Satu-satunya kendala dalam pengembangan batik mangrove adalah permodalan. Untuk membuat contoh batik dari 44 motif itu, Lulut memerlukan dana sekitar Rp 40 juta.

Dari sisi perajin, dia mengatakan, relatif tak ada masalah. Rencananya, tambah Lulut yang sejak tahun 2009 menjadi pendamping Usaha Kecil dan Menengah Dinas Tenaga Kerja Surabaya, akan kembali dilangsungkan pelatihan membatik kepada lebih banyak ibu di Kedung Baruk. Dengan demikian, semakin banyak orang yang bisa membuat kerajinan batik mangrove membuat lingkungan terjaga dan rumah tangga bisa makin sejahtera.

LULUT SRI YULIANI

• Lahir: Surabaya, 24 Juli 1965 • Suami: Budiono Halim • Anak: Nadia Chrissanty Halim (10) • Pendidikan: - SDN Karya Dharma II Surabaya, lulus 1976 - SMPN XII Surabaya, lulus 1980 - SPG Kristen Bersubsidi Pirngadi Surabaya, lulus 1983 - S-1 Bahasa Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Surabaya, lulus 1987 - S-2 Manajemen Sumber Daya Manusia Magister Manajemen STIE Mahardhika Surabaya, lulus 2004