Sabtu, 11 Juni 2011

Ekowisata Kawal Kawasan Bakau

KOMPAS.com — HAMPIR setiap hari ada saja pengunjung yang ingin melihat langsung kondisi kawasan hutan bakau di Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa Timur. Pada akhir pekan, jumlahnya pun bisa meningkat menjadi 100 orang.

Kawasan konservasi hutan mangrove seluas 800 hektar itu sejak tahun 2008 tidak hanya gencar ditanami bakau oleh berbagai organisasi, perusahaan, dan masyarakat, tetapi wilayah itu juga menjadi tempat wisata sambil belajar tentang lingkungan.

”Pengunjung tidak sekadar menanam bakau, tapi bisa tahu burung atau hewan apa saja yang masih hidup di kawasan ini,” kata penggagas Ekowisata Mangrove Wonorejo, Joko Suwondo (67).

Sebelum tahun 2008, kawasan ini menjadi tempat pembalakan sehingga hutan bakau nyaris punah. Aktivitas pembalakan kini melanda hutan mangrove di Kali Saridamen, Kejawan Putih Tambak, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Sekitar 100.000 pohon bakau di areal seluas 10.000 hektar di Mulyorejo ditebang secara ilegal.

”Wonorejo harus bebas dari pembalakan, apalagi sekarang bakau mulai tumbuh,” kata Camat Rungkut Ridwan. Di kawasan pantai timur Surabaya terdapat hutan bakau seluas 1.180 hektar, 40 persen di antaranya (472 hektar) rusak.

Saat ini di Wonorejo sudah dibangun dua gazebo untuk pengunjung yang hendak menikmati suasana laut dan hutan bakau. Di dalam hutan juga disiapkan jembatan bambu untuk memudahkan pengunjung berkeliling di kawasan itu.

Dinas Pertanian Kota Surabaya juga telah membuat papan jembatan kayu atau lintasan joging sepanjang 500 meter. Walau baru dibangun Desember 2010, saat ini kondisi jembatan itu sudah rusak, papan jebol, paku hilang, dan beton ambles, dan kini tengah diperbaiki. Keberadaan jembatan kayu pun menuai protes dari warga setempat dan aktivis lingkungan karena dinilai merusak lingkungan.

Dalam pertemuan dengan berbagai elemen pencinta lingkungan di Ekowisata Mangrove Wonorejo, Selasa (17/5/2011), pengelola mendapat banyak masukan. Sarannya, antara lain, agar di setiap pohon dipasang label tentang jenis bakau serta fungsinya. Selain itu, perlu ada penjelasan di dermaga tentang hewan serta jenis burung yang masih ada di kawasan tersebut.

Swadaya

Menurut Joemadi, pengurus kawasan wisata tersebut, pengelolaan lokasi masih mengandalkan swadaya warga Wonorejo. Memang ada sumbangan dari beberapa perusahaan, termasuk Pemerintah Kota Surabaya, seperti pembelian perahu dan pembuatan gazebo. Namun, pemeliharaan seluruh fasilitas menjadi tanggung jawab pengelola.

Salah satu cara mengurangi beban biaya itu adalah dengan memberlakukan tiket masuk ke kawasan wisata sebesar Rp 25.000 bagi orang dewasa dan Rp 15.000 untuk anak kecil. Tiket sudah termasuk ongkos pergi-pulang dari dermaga ke gazebo dengan lama perjalanan sekitar 15 menit.

Semua sarana itu untuk menarik minat pengunjung datang ke kawasan tersebut. ”Jika banyak kegiatan di kawasan hutan mangrove, keinginan pihak yang hendak melakukan pembalakan pasti mudah terpantau,” katanya.

Saat ini, yang ikut mengawasi kawasan tidak hanya pengunjung, tetapi juga warga yang mencari kepiting dan udang di sekitar wilayah Wonorejo. Nelayan dari sejumlah daerah juga sering melintas di kawasan hutan bakau menuju laut lepas.

Menurut Daru (34), pencinta lingkungan di Surabaya, dibandingkan dengan 15 tahun lalu, ukuran pohon bakau kini lebih kecil. Melihat kondisinya, pohon-pohon itu umumnya masih berumur 5-10 tahun, namun lingkungannya cocok untuk tempat belajar sambil berwisata.

Jadi, kata ibu dari tiga putri ini, untuk menarik minat pengunjung ke kawasan hutan mangrove, pengelola harus melibatkan warga yang mencari kepiting dan udang serta nelayan. Dengan cara ini, pelajar yang datang ke kawasan itu bisa diajari cara menangkap kepiting dan udang sehingga kegiatannya tidak sekadar wisata.

Misi menjadikan ekowisata di kawasan hutan bakau bisa tercapai karena sejak dini anak-anak sudah tahu bagaimana menanam bakau yang berfungsi untuk menjaga kelestarian alam, terutama untuk menghadang abrasi.

Sarana berwisata sambil belajar di kawasan mangrove itu sudah memadai, hanya perlu dilengkapi pemandu yang andal. Keberadaan pemandu wisata yang paham tentang seluk-beluk hutan bakau beserta isinya sangat penting. Wisatawan bisa mendapat penjelasan selama perjalanan dari dermaga ke gazebo. Kawasan hutan juga perlu dibersihkan dari sampah yang sangat mengganggu pemandangan, terutama ketika air laut surut. Pengelola harus mempersiapkan tempat sampah di beberapa lokasi strategis agar pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.

”Persoalan yang belum ada solusi menyangkut sampah yang terbawa arus air dari segala penjuru, tapi kami terus upayakan agar kawasan lebih bersih dari sampah,” kata Joko yang gencar mengampanyekan kepada pengunjung agar tidak membuang sampah di sembarang tempat. Hutan mangrove Wonorejo kini tak pernah sepi dari berbagai kegiatan pelestarian lingkungan. (Agnes Swetta Pandia)


Agnes Swetta Br. Pandia | I Made Asdhiana | Sabtu, 11 Juni 2011 | 15:26 WIB
Sumber: Kompas