Senin, 08 September 2008

Artikel dari JawaPos

[ Senin, 08 September 2008 ]
Pos Pantau Mangrove, ''Pos Kamling

Ronda Pakai Perahu, Cegah Perusak Tanaman



Biasanya, pos keamanan alias pos kamling didirikan di sudut-sudut kampung atau kawasan rawan. Namun, pos pantau mangrove di Rungkut berbeda. "Pos kamling" khusus perusak bakau itu berdiri di tepi samudera.

TITIK ANDRIYANI

------------

TAK ada orang-orang nongkrong, apalagi bermain catur di pos pantau mangrove Wonorejo, Kecamatan Rungkut. Memang, meskipun berfungsi sebagai "pos kamling", pos itu tak begitu nyaman dijadikan tempat cangkruk. Sebab, lokasinya memang tak memungkinkan.

Pos pantau tersebut berupa gubuk berukuran sekitar 3 x 4 meter persegi. Lokasinya di pinggir laut di timur Surabaya, persis di samping lahan yang baru ditanami ribuan bibit bakau.

Gubuk berbahan bambu itu dibangun atas partisipasi Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) Rungkut, warga Wonorejo, dan instansi lain. Misalnya, PT HM Sampoerna dan PTPN XI.

Pos tersebut memang harus dibangun jauh dari permukiman agar bisa dijadikan tempat strategis untuk mengawasi pohon-pohon bakau di kawasan itu. "Percuma menanam kalau tidak diawasi. Siapa tahu ada yang merusak lagi. Jika demikian, hutan tersebut tidak akan pernah pulih," kata Ketua FKPM Rungkut Djoko Soewodo.

Memang, Djoko adalah pencetus ide pembukaan pos tersebut. Sebab, dia begitu prihatin terhadap kerusakan ekosistem di kawasan pesisir Wonorejo. Hutan bakau di tempat itu rusak parah. Dari 1.180 hektare hutan bakau, sekitar 40 persen (472 hektare) sudah ludes. Bisa dipastikan kerugiannya sangat besar.

Dinas Perikanan, Kelautan, Peternakan, Pertanian, dan Kehutanan (DPKPPK) pernah melansir tingkat kerugian akibat kerusakan hutan bakau yang mencapai ratusan miliar.

Jika dihitung, satu hektare lahan dapat ditanami sekitar 5 ribu batang bakau. Artinya, ada 2,36 juta batang bakau yang rusak. Padahal, harga per batang bakau Rp 100 ribu. Sehingga, kerugian totalnya mencapai Rp 236 miliar.

Pembalakan liar memang pernah merajalela sekitar 2005. Ketika itu, belum ada satu pun instansi yang secara intens mengawasi hutan bakau. Kini, pengawasan hutan bakau di bawah kendali DPKPPK. Sejak itu, secara intensif penanaman bakau rutin dilakukan. Bahkan, atensi Wali Kota Bambang D.H. terhadap persoalan tersebut begitu besar. Dia kerap melakukan sidak dengan menyisir pantai hutan bakau.

Tak hanya mengamati tingkat kerusakan, pejabat nomor wahid di lingkungan pemkot tersebut turut menanam pohon tepi pantai itu. Berbagai instansi swasta pun mulai menaruh perhatian terhadap problem lingkungan tersebut. Pasalnya, secara umum Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki hutan bakau terluas di dunia. Namun, tingkat kerusakannya juga paling parah, termasuk di Surabaya.

Karena itu, lanjut Djoko, mengembalikan fungsi ekosistem pantai tersebut dengan menanam bakau tidaklah cukup. Penanaman itu harus diiringi dengan menjaga penanaman ribuan batang bakau. Itulah yang mendorong kelahiran pos pantau mangrove tersebut Juli lalu.

Setelah pos itu dibangun bersama, para petambak di kawasan tersebut dikumpulkan. Empat orang lantas ditunjuk untuk menjaga tempat itu secara bergiliran. Dua di antaranya adalah Fathoni dan Zainal yang bertugas mulai pagi hingga menjelang magrib. Sedangkan Darmadji dan Sodikin didaulat bertugas mulai magrib hingga subuh.

FKPM mengoordinasi penjagaan itu. Para penjaga pos pantau dibekali HT untuk berkomunikasi. "Nanti, hasil penjagaan tersebut dilaporkan secara tertulis," ujarnya.

Darmadji yang ketika itu berada di sekretariat FKPM bertutur tentang suka duka menjaga pos tersebut. "Tidur juga di pos itu. Kalau pas jaga ya sekalian cari kepiting," imbuhnya. Hasilnya lumayan untuk dijual sebagai penambah penghasilan.

Tak sekadar menjaga, Darmadji harus ronda keliling pantai dengan naik perahu. Siapa tahu ada warga atau orang yang menabrak batang bakau yang sudah ditanam di sekitar pantai. "Mungkin niatnya tidak sengaja merusak. Warga kadang naik perahu untuk mencari kerang. Nah, bisa jadi mereka nggak sengaja menabrak pohon mangrove, terus rusak," ungkapnya. Selain itu, siapa tahu ketika ronda mereka berhasil menangkap pembalak liar. "Tapi, mulai pos tersebut dibuka hingga hari ini, belum ada yang menebang. Mudah-mudahan tidak ada," sambungnya.

Dukanya, menurut pria berusia kepala lima itu, honor yang diterimanya terbilang apa adanya. Honor tersebut dia peroleh dari kantong pribadi Djoko. Sementara itu, Djoko mengakui bahwa saat ini belum ada anggaran khusus untuk memberi para petani tambak tersebut honor. "Rencananya, jika boezem Wonorejo sudah dikelola, kami upayakan honor tetap buat mereka. Bisa cari donatur," terang Djoko.

Selama ini Djoko tidak keberatan merogoh kocek pribadi untuk memberi mereka honor. "Semua harus dimulai dari diri sendiri. Jika kita tidak mau melakukan, siapa lagi? Jika lestari, hutan itu bisa diwariskan kepada anak cucu kita," ucapnya.

Menurut dia, selain mendirikan pos pantau mangrove, warga Wonorejo memasang tiang papan bertulisan pelarangan menebang bakau dan berburu burung. Papan itu ditancapkan di beberapa titik hutan bakau. Tujuannya, tidak ada lagi pembalakan liar. "Supaya warga tahu bahwa penebangan tersebut dilarang secara resmi," tambah pria berusia 58 tahun tersebut. Apalagi, pemkot sudah menyatakan kawasan itu sebagai wilayah konservasi yang wajib dilindungi.

Kini, kawasan tersebut dibidik sebagai mangrove center. Konsep mangrove center meniru Pusat Mangrove di Denpasar, Bali. Dengan dibangunnya mangrove center, tanaman tersebut akan dibudidayakan untuk berbagai hal. Tak hanya diolah sebagai sirup dan dodol, tapi juga kosmetik. (*/dos)

Sumber: JawaPOs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar