Babak baru perjalanan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia dimulai setelah sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang menetapkan TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor VII/MPR / 2000, tanggal 18 Agustus 2000, tentang Pemisahan dan Peran fungsi TNI- POLRI. Polri sebagai alat negara berperan penting dalam pemeliharaan keamanan dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam UU RI No 2 th 2002 Pasal 5 ayat (1).
Sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa selama tahapan terakhir dari sejarah politik dan kenegaraan di Indonesia, telah terjadi pengingkaran terhadap jatidiri Polri yang sebenarnya, yang bermuara pada terbentuknya budaya Polri yang buruk. Bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan. Padahal ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (“Sicherheitspolitizei”). Jadi, kepolisian merupakan subordinasi dari masyarakatnya, sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure) dari kepolisian.
Dengan berdasar tuntutan suara nurani, momentum reformasi ini merupakan peluang bagi Polri untuk terus membangun budaya Polri baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik. Berdasar latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut pembangunan budaya Polri baru yang berorientasi publik, yaitu reorientasi paradigmatik, guna mewujudkan Polri yang dimiliki, dicintai dan dibanggakan oleh masyarakat.
Reorientasi Paradigmatik (Upaya Membangun Budaya Polri yang Berorientasi Publik)
Di Indonesia, faktor yang ikut mempengaruhi fungsi, tugas dan peranan Polri adalah faktor historis, salah satunya yakni karakter kepolisian yang terlanjur dipengaruhi oleh sifat militer. Integrasi kepolisian dalam organisasi ABRI di masa lalu telah mengundang berbagai kritik, karena polisi menjadi lebih sering menggunakan cara berfikir dan bertindak secara militer. Padahal antara polisi dengan militer memiliki karakteristik tugas yang berbeda. Militer berhadapan dengan musuh, sedangkan polisi berhubungan dengan masyarakat. Hal ini menimbulkan kontradiksi oleh karena doktrin kerja dan kekuasaan polisi yang besar, gezagdualisme telah membentuk pola perilaku polisi sebagai penguasa dalam masyarakat. Dampak pemiliteran dan lemahnya kemampuan kepolisian menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi.
Tekad Polri untuk terus membangun budaya Polri baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik ini didasari oleh pemahaman dan kesadaran bahwa perkembangan lembaga kepolisian berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju suatu masyarakat, makin tinggi harapan masyarakat tersebut terhadap kemampuan polisinya. Kata kunci yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat madani adalah Polri yang baru yaitu Polri yang mandiri dan profesional yang berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya. Kemandirian yang ditandai profesionalisme khas kepolisian, yang menjamin tidak akan ada lagi intervensi terhadap tugas-tugas kepolisian utamanya tugas penegakan hukum.
Dalam mensikapi proses reformasi dan tuntutan masyarakat dan sebagai upaya mengembalikan Polri sebagai polisi yang mandiri dan profesional, Polri telah melakukan reorientasi paradigmatik melalui penetapan visi, misi dan tujuan Polri masa depan, yang selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah perubahan, baik pada tataran konsepsi maupun teknis operasional. Melalui paradigma baru ini akan dikembangkan suatu tipe “Perpolisian Berperikemanusiaan (human policing)”, yaitu ruang yang menggunakan “humanistic scenario” yang menggantikan “repressive scenario” yang digunakan selama ini. Dalam operasionalnya akan terimplementasi melalui jati diri yang mempersepsikan diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni.
Salah satu filosofi dan strategi yang sedang diterapkan di berbagai negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah community policing. Setelah cukup lama melakukan uji coba implementasi Polmas di berbagai Polda maka sejak tanggal 13 Oktober 2005 Polmas secara resmi menjadi kebijakan yang harus diterapkan oleh seluruh jajaran Polri. Hal ini dinyatakan dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol. SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri. Puncak implementasi Polmas adalah pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) pada tingkat satuan operasional kewilayahan Polri sebagai wadah komunikasi, konsultasi, transparansi, dan akuntabilitas Polri dengan masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian diharapkan perpolisian akan berorientasi pada kepentingan dan harapan warga, serta mendapat dukungan warga. Hal ini membuktikan bahwa fungsi dan peran FKPM adalah merupakan bentuk akuntabilitas operasional Polri pada masyarakat tingkat Kecamatan/Polsek dan Kelurahan/Desa, yang berarti FKPM merupakan lembaga akuntabilitas Polri yang langsung pada warga masyarakat yang dilayani oleh berbagai operasional kepolisian. Dengan demikian FKPM juga merupakan wujud aktualisasi reformasi Polri dalam rangka mewujudkan kultur polisi sipil.
Mewujudkan POLRI yang Dimiliki, Dicintai dan Dibanggakan Oleh Masyarakat
Upaya perbaikan kinerja Polri dalam hal pemeliharaan Kamtibmas telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, namun berbagai penelitian menyimpulkan hasil yang relatif sama, yaitu belum adanya peningkatan pandangan positif masyarakat terhadap kinerja Polri tersebut. Hal sebaliknya justru semakin berkembang. Masyarakat semakin merasa tidak aman akibat kejahatan yang semakin tidak terkendali. Kepercayaan mereka terhadap keseriusan Polri dalam penegakan hukum dan kamtibmas juga merosot akibat buruknya penanganan terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah oknum kepolisian, seperti backing judi, pungli, pemerasan, salah tembak, dan lain sebagainya. Berbagai peristiwa tersebut menambah buruk citra Polri di mata masyarakat dan sekaligus memperlebar jarak antara masyarakat dan kepolisian. Inilah fakta-fakta yang justru cenderung meningkat intensitasnya dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai hal-hal yang perlu dilakukan guna memperbaiki citra Polri di mata masyarakat dan sekaligus kembali mempererat hubungan kerjasama antara masyarakat dan kepolisian.
1. Community Policing (Perpolisian Masyarakat)
Dalam rangka memelihara dan meningkatkan Kamtibmas ke depan, Polri diminta untuk melaksanakan seluruh tugas-tugas yang disandangnya dengan prioritas yang sama. Akan tetapi, dalam konteks kepolisian modern, menempatkan Polri sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kamtibmas adalah pandangan usang. Terlebih masyarakat saat ini menuntut agar pendekatan preemtif dan preventif menjadi prioritas di dalam proses pemeliharaan kamtibmas ke depan.
Berkaitan dengan pemikiran untuk meningkatkan rasa aman, situasi tenteram dan tertib di tengah-tengah masyarakat, maka perumusan kontrak sosial baru antara para pihak (stakeholder) menjadi suatu hal yang mutlak. Di satu sisi, polisi harus berupaya meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat; di sisi lain, masyarakat harus meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan operasional kamtibmas. Sebagai contoh, pos ronda di setiap kelompok masyarakat harus diaktifkan secara intensif, sementara kerjasama operasional kondusif dalam menangkap pelaku kejahatan juga harus dilakukan. Pemecahan masalah kamtibmas sebisa mungkin harus secara aktif melibatkan masyarakat sebesar-besarnya, di samping juga kepolisian.
Partisipasi publik mengandung pengertian sebagai upaya melibatkan unsur masyarakat secara aktif dalam kegiatan kepolisian. Partisipasi publik ini merupakan cermin dari adanya kepercayaan masyarakat kepada polisi. Harus ada upaya alternatif kegiatan bersama antara polisi dan masyarakat yang tak hanya berkaitan dengan menjaga keamanan dan ketertiban bersama. Pada kegiatan ini, posisi polisi dan masyarakat adalah sejajar. Partisipasi publik dapat pula diwujudkan dalam proses rekrutmen anggota POLRI. Misalnya saja, pada tes-tes tertentu seperti psikotes, polisi dapat melibatkan unsur masyarakat yang ahli dalam bidang tersebut. Adanya partisipasi publik, dapat mendukung prinsip transparansi dan akuntabilitas POLRI terhadap masyarakat. Membentuk kelompok sadar peduli Kamtibmas, dengan posisi yang sejajar dengan polisi. Selama ini, kelompok serupa berada pada posisi ‘di bawah’ koordinasi polisi. Akibatnya, kelompok serupa juga merasa dirinya berada ‘di atas’ dibandingkan masyarakat lainnya, sehingga yang terbentuk adalah sifat arogan, dan mengarah pada adanya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan karena merasa dekat dengan polisi. Padahal seharusnya, kelompok tersebut dapat berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara masyarakat dengan polisi. Adanya kedekatan masyarakat dengan polisi, akan berimplikasi pada terciptanya partisipasi publik.
Polisi dapat dekat dengan masyarakat, jika polisi tahu apa yang diinginkan oleh masyarakatnya (tentunya dalam hal menciptakan rasa aman). Jika dikaitkan dengan fungsi kepolisian, di mana polisi harus mampu menilai berbagai situasi kamtibmas yang terjadi di masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa dalam melakukan pencegahan kejahatan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat. Mengetahui dan memahami gejala sosial ini dapat terwujud jika ada komunikasi timbal balik antara polisi dengan masyarakat. Pada situasi inilah dapat dikatakan adanya kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Menciptakan situasi kedekatan tersebut, tentunya bukan hal yang semudah membalikan telapak tangan. Perlu ada rasa saling percaya yang timbul di antara keduanya di mana masyarakat percaya bahwa polisi dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan sebaliknya, polisi percaya bahwa masyarakat adalah mitra yang dapat diajak bekerja sama dalam mewujudkan tugas dan fungsi kepolisian.
Upaya untuk mendekatkan POLRI dengan masyarakat harus dilakukan dengan adanya keterbukaan dari polisi untuk menerima keluhan dari masyarakat. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kemudahan akses untuk melaporkan apa pun kejadian atau peristiwa yang dialami atau yang terjadi di wilayahnya. Selain itu, perlu ada penanaman pemahaman bahwa menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, adalah merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya polisi.
Hubungan antara masyarakat dengan polisi adalah saling mempengaruhi, atau lebih tepatnya, keberadaan polisi dalam masyarakat adalah fungsional dalam struktur kehidupan. Dapat dikatakan, bahwa sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi, maka ada timbal-balik fungsional antara masyarakat dengan polisi. Pada segi model kepolisian, hal ini sesuai dengan apa yang disebut community policing.
Esensi dari pelaksanaan community policing yang sedang dikembangkan POLRI pada saat ini, seharusnya adalah pada pencegahan kejahatan dan bukan semata-mata menindak kejahatan. Tentunya, pencegahan kejahatan antara lain adalah dengan membantu masyarakat untuk memecahkan masalah yang berpotensi pada munculnya tindak kriminalitas, seperti pengambilan atau penentuan kebijakan kepolisian yang berkaitan atau bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat (misalnya teknis patroli, pelaksanakan operasi kepolisian, razia dan sebagainya).
Dalam konteks pendekatan keamanan dan ketertiban, dapat dilakukan dengan membuat sispamkota/sispamda yang melibatkan perangkat daerah setempat dengan pola yang ‘bernuansa daerah’. Misalnya, membuat jaringan antara polisi dengan aparat keamanan Pemda (polisi pamong praja, hansip/linmas) maupun dengan unsur lainnya yang bersifat in action. Cara ini implikatif dengan bagaimana teknik/taktik/strategi menjalankan metode pemolisian yang berbasis kepada masyarakat.
David Baley (1998) menyatakan bahwa polisi modern, polisi masa depan itu adalah polisi yang mampu mencegah kejahatan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada masyarakat setempat. Jadi, kunci keberhasilannya adalah kemampuan polisi untuk melibatkan masyarakat dalam memerangi dan utamanya mencegah kejahatan. Membentuk polisi seperti itu tak mudah dan mahal. Bila Indonesia menghendaki Polri makin baik dan mampu menurunkan kriminalitas secara bersistem dan penuh keberhasilan, maka semahal apapun polisi semacam itu harus mulai direkrut mulai saat ini juga.
2. Tidak Birokratis dan Beban KKN Polisi
“Tidak birokratis” dimaknai sebagai pelayanan suatu proses penegakan hukum yang memenuhi prinsip sederhana, murah dan cepat. Bila prinsip tersebut disepakati, maka diperlukan indikator atau kriteria yang jelas untuk mengelaborasi prinsip dimaksud. Tentu saja, indikator itu secara implisit dan eksplisit tersebut di dalam teks normatif ketentuan hukum yang mengatur berbagai mekanisme hukum acara. Ada beberapa faktor penting harus diperhatikan untuk memastikan pelayanan tidak birokratis pada para pencari keadilan, yaitu antara lain: (1) ada petunjuk atau informasi yang jelas mengenai mekanisme dan alur pelayanan; (2) informasi itu bersifat “user friendly” sehingga siapapun, khususnya pencari keadilan, akan mudah memahami dan melakukannya; (3) informasi itu berupa: (a) bagaimana mendapatkan informasi; (b) bagaimana cara melaporkan; (c) apa saja yang mesti dilengkapi agar bisa segera diproses; (d) bagaimana mereka bisa mengakses informasi kemajuan dan perkembangan penanganan; (e) kepada siapa mereka bisa menanyakan proses itu; dan (f) ada limitasi waktu yang jelas untuk menyelesaikan setiap tahapan. Tidak birokratis juga berkenaan dengan kepastian mendapatkan respons atas segala soal yang dipertanyakan sesuai kewenangan aparatur penegakan hukum.
Akan tetapi proses pelayanan bagi pencari keadilan sangat rentan terhadap KKN. Di sisi lain, dipahami betul bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan untuk menangani suatu kasus tertentu guna menjalankan proses penegakan hukum memerlukan biaya. Kepolisian mempunyai kemampuan yang terbatas untuk membiayai keseluruhan proses tersebut. Dalam hal ini ada dilema, di satu sisi penegak hukum mempunyai keterbatasan sehingga tak akan mungkin optimal menjalankan segenap kewenangan yang melekat pada tugas pokoknya; sedangkan di sisi lain mereka tak boleh meminta biaya jasa pelayanan. Lembaga penegakan hukum harus menfasilitasi peningkatan penggunaan kewenangan kepolisian.
Untuk menguji tindakan upaya paksa yang dilakukan lembaga kepolisian, atau lembaga lainnya yang punya kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan atau penghentian penyidikan dan penuntutan, bisa dilakukan dengan suatu upaya hukum yang bernama praperadilan. Akan tetapi lembaga praperadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menguji upaya paksa penyegelan dan penyitaan. Ketiadaan kontrol untuk menguji keabsahan tindakan kepolisian akan menyebabkan kian merebaknya potensi KKN. Karena itu harus ada suatu mekanisme yang memungkinkan dilakukannya “pengujian” keabsahan tindakan dari tindakan upaya paksa lembaga penegakan hukum.
3. Solusi Tanpa Kekerasan dan Menjunjung Tinggi HAM
Dewasa ini ada penilaian, salah satunya dari Komnas HAM, bahwa Polri adalah instansi pemerintahan yang melakukan pelanggaran HAM terbesar di Indonesia. Hal itu dimungkinkan terjadi karena banyak faktor, antara lain: (1) para penyidik masih berpola tindak mengejar pengakuan dengan cara melakukan pemukulan/tindak kekerasan yang lain; (2) penyidik seharusnya dididik sampai memiliki kemampuan di atas rata-rata orang yang disidik, sehingga mereka mampu melakukan pembuktian berdasar keunggulan dalam kemampuan berpikir dan berargumentasi (kejahatan di lingkungan perbankan, misalnya, sampai di tangan polisi sudah menjadi sulit dan rumit, setelah penyelesaian secara teknis Perbankan buntu. Sedang penyidik yang ahli tentang seluk-beluk perbankan tidak banyak/relatif sedikit); (3) di lapangan, para Bintara muda Polri sangat mudah terpancing emosi, sehingga mereka sangat peka terhadap kata-kata, cemoohan, tantangan dan lain-Iain, apalagi lemparan batu, pukulan dan sebagainya, langsung membuat mereka marah dan terpancing brutal; dan (4) dalam berbagai proses penggusuran, Polri selalu berada paling depan dalam setiap eksekusi yang sangat sering mengalami perlawanan penghuni. Di sini selalu terjadi pertentangan yang sering menjadi tindak kekerasan yang frontal dan ‘head to head’. Dalam kaitan kekerasan, jarang atau hampir tidak penah dikatakan masyarakat yang melanggar HAM, hingga pelanggar HAM selalu aparat keamanan (polisi).
Akar kelemahan polisi yang membuat dirinya berpotensi untuk melakukan kekerasan (melanggar HAM) adalah: (1) kurangnya pengetahuan pada bidang tugasnya; (2) kurang mantapnya sistem pelatihan, sehingga secara emosional mudah terpancing; (3) Polisi secara tidak sadar dibenturkan pada potensi perlawanan rakyat yang sering bermuatan nuansa ketidakadilan dan berkembang ‘sikap penguasa’ dari polisi kepada masyarakat. Padahal jika polisi dan masyarakat tidak saling memaksakan kehendak, mampu memberi dan menerima pemikiran pihak lain secara rasional dengan penuh pengertian, semua pasti dapat diselesaikan tanpa kekerasan.
Pihak kepolisian harus mengembangkan kemampuan untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi secara lengkap agar mampu mencari, menemukan, serta menerapkan cara bertindak tanpa kekerasan yang berujung pada solusi terbaik. Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai universal HAM perlu dimasukkan pada kurikulum pendidikan Polri pada semua jenjang dan tataran. Terutama bagi calon-calon petugas di lapangan yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat. Dengan memahami, menghayati dan menjunjung tinggi hukum dan HAM, maka akan berdampak langsung terhadap hubungan individu di dalam relasi Polri dan warga masyarakat. Polri yang menjunjung tinggi HAM tidak akan menggunakan kekerasan dalam menciptakan ketertiban yang ditujukan kepada warga masyarakat pada saat berunjuk rasa atau demonstrasi.
Penutup
Pemilahan tugas-tugas pokok Polri dan memberikan prioritas kepada pelayanan masyarakat daripada pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum, ternyata belum sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga Perlu terus dilakukan upaya untuk memperbaiki kinerja Polri dengan:
1. Community Policing yaitu dengan melaksanakan kerjasama polisi-masyarakat dalam berbagai bidang pada umumnya dan penegakan hukum serta menjaga kamtibmas pada khususnya.
2. Tidak bersikap birokratis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menekan beban KKN Polisi yaitu dengan suatu mekanisme yang memungkinkan dilakukannya “pengujian” keabsahan tindakan dari tindakan upaya paksa lembaga penegakan hukum.
3. Solusi Tanpa Kekerasan dan Menjunjung Tinggi HAM dengan tidak saling memaksakan kehendak antara polisi dan masyarakat, mampu memberi dan menerima pemikiran pihak lain secara rasional dengan penuh pengertian, dan pihak kepolisian harus mengembangkan kemampuan untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi secara lengkap, diutamakan adanya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai universal HAM pada kurikulum pendidikan Polri pada semua jenjang dan tataran dengan tujuan agar mampu mencari, menemukan, serta menerapkan cara bertindak tanpa kekerasan yang berujung pada solusi terbaik.
Dengan demikian diharapkan dapat terwujud aktualisasi reformasi Polri dalam rangka mewujudkan kultur polisi sipil, yaitu polri yang dimiliki, dicintai dan dibanggakan oleh masyarakat.
Daftar Referensi :
Undang-Undang Kepolisian Negara (UU RI No. 2 Th. 2002). 2003. Sinar Grafika: Jakarta.
International Organization for Migration/IOM. 2006. Perpolisian Masyarakat, Manual Polmas untuk Petugas Lapangan Polri.
Mabes Polri. 2005. Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005. Mabes Polri: Jakarta.
Peraturan Presiden No 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat.
Hans Z.A., Jen dan Gunawan, Budi. 2006. Kiat Sukses Polisi Masa Depan. Jakarta: Personal Development Training.
Rianto, Bibit Samad. 2006. Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa, dan Dicintai Rakyat. Jakarta: Restu Agung.
Sumber: Blog Aris Sutanto