Rabu, 17 Maret 2010

Kepemimpinan Transformasional dalam penyelenggaraan POLMAS


Orasi Ilmiah Sespati Polri G 13 Disampaikan oleh Kombes Djoko Susilo,pada penutupan pendidikan Sespati angkatan 13 dan Sespim angkatan 45,Lembang Kamis 13 Desember

Reformasi Polri menuju polisi sipil dalam masyarakat yang modern dan demokratis tidaklah semudah membalik telapak tangan. Reformasi merupakan proses dan upaya panjang, sehingga tidak mungkin dilaksanakan secara instan. Dengan kata lain, reformasi harus dilakukan secara konsisten dan berkesinambungan, ada komitmen dan integritas yang tinggi. Untuk melakukan berbagai perubahan yang mendasar, paling penting untuk berubah secara kultural. Polisi melaksanakan tugasnya melalui pemolisian. Pemolisian (Policing), pada dasarnya adalah segala usaha atau upaya untuk memelihara keamanan, pencegahan, dan penanggulangan kejahatan, melalui pengawasan atau penjagaan dan tindakan untuk memberikan sanksi atau ancaman hukum. Polisi sebagai sebuah pranata merupakan sistem antar-hubungan berbagai norma dan peranan yang berfungsi dalam masyarakat yang membutuhkannya.

Hubungan antara polisi dengan masyarakat dilaksanakan melalui pemolisian (policing) yang terwujud dalam program dan strategi untuk menciptakan rasa aman, memelihara keamanan dan keteraturan kehidupan sosial, menegakkan hukum untuk pengayoman kepada masyarakat dan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat yang dilayaninya. Pemolisian yang menjadi acuan dalam masyarakat modern dan demokratis adalah community policing. Dalam penyelenggaraan tugas Polri, istilah yang dikenal adalah Polmas. Polmas adalah sebuah kebijakan dan strategi mengenai hubungan polisi dengan warga komuniti menjadi dekat dan adanya peran serta warga dalam menciptakan rasa aman maupun memelihara keamanan di lingkungannya. Yang dilaksanakan proaktif dan berupaya untuk menyelesaikan berbagai masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat khususnya yang berkaitan dengan keamanan.

Hubungan polisi dengan masyarakat adalah saling mempengaruhi dan saling menyesuaikan sehingga pola-pola pemolisiannya bervariasi antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Implementasi Polmas sebagai strategi Polri dalam menyelenggarakan tugasnya merupakan suatu langkah penting dan mendasar untuk mengubah paradigma konvensional menjadi paradigma kontemporer yang lebih menekankan pada kemitraan, pemecahan masalah (problem solving), upaya pencegahan, dan peningkatan kualitas hidup masyarakat. Kebijakan dan strategi Polmas terwujud dalam bentuk operasi kepolisian yang mencakup kegiatan rutin, operasi kepolisian ataupun operasi kontijensi/insidentil. Masing-masing dari ketiga operasi tersebut dilaksanakan pada tingkat manajemen dan tingkat operasional atau tingkat petugas pelaksana. Polmas tingkat manajemen berhubungan dengan cara merumuskan tingkat operasional dan cara-cara tindakan kepolisian dilaksanakan. Adapun Polmas tingkat operasional, atau tingkat petugas pelaksana, adalah tindakan untuk melayani atau merespon kebutuhan masyarakat, selain menangani berbagai masalah sosial yang berkaitan dengan keamanan. Penerapan Polmas merupakan perubahan paradigma yang mendasar dan merupakan perubahan kultural. Perubahan kultural yang mendasar yaitu perubahan dari pemolisian yang konvensional, reaktif, menunggu, lebih mengedepankan crime fighter dan low enforcement menjadi pemolisian yang proaktif dan memecahkan masalah.

Untuk mengimplementasikan Polmas, diperlukan petugas yang profesional. Artinya, petugas kepolisian yang memiliki kemampuan atau keahlian yang diperoleh dari pendidikan atau berdasar pada pengetahuan yang diperoleh dari suatu proses belajar dan latihan. Sekarang ini hampir semua pekerjaan ditangani dalam tim yang saling berhubungan dan terkait satu dengan lainnya. Mengapa dalam masyarakat yang modern dan demokratis mengadopsi community policing (Polmas)? Jawaban dan pertanyaan tersebut adalah karena keterbatasan kemampuan polisi dan polisi tidak tahu kapan dan dimana kejahatan terjadi, serta siapa pelakunya. Untuk itu polisi perlu mendapatkan dukungan atau bantuan dari masyarakat, dibangun melalui komunitas dari hati ke hati antara polisi dengan warga masyarakat (komuniti).

Sehingga polisi dapat menjadi mitra yang dipercaya oleh masyarakat sehingga dapat bersama-sama untuk menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Polisi dapat memahami apa yang dibutuhkan atau yang di inginkan oleh masyarakatnya, sehingga polisi dapat memberikan respon yang dapat diterima oleh masyarakat. Dan polisi dapat bertindak sebagai pengayom, pelindung, serta menjadi panutan bagi masyarakatnya. Community Policing (Polmas) menurut Robert Blair (1992); Dalam Bayley 1995; As a Philoshopy of policing, it embodies a number of principles or ideas that guide the structure of policing toward goal attainment. Community Policing (Polmas) Dapat didefinisikan sebagai
gaya pemolisian di mana polisi bekerja sama dengan masyarakat setempat (tempat ia bertugas) untuk mengidentifikasi, menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam masyarakat dan polisi sebagai katalisator yang mendukung masyarakat untuk membangun/menjaga keamanan di lingkungannya. Pemolisian ini tidak dilakukan untuk melawan kejahatan, tetapi mencari dan melenyapkan sumber kejahatan. Polmas juga dijadikan dasar pada usaha bersama antara masyarakat dengan kepolisian dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada dalam masyarakat setempat yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dalam meningkatkan keamanan dan kualitas hidupnya.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam Polmas antara lain bimbingan dan pendidikan masyarakat tanpa paksaan baik melalui perorangan atau kelompok untuk menumbuhkembangkan kemampuannya dalam menciptakan dan menjaga keamanan di lingkungannya. Bay Ley 1995 menyebutkan: The community policing officer assists the residents by meeting with them individually and in groups in hopes that communication will lead to some consensus of accepted action will be agreed upon and implemented by the residents. The major considerations in community policing are: citizen input into defining problems to be solved, citizen involvement in planning and implementing problem solving activities, and citizens determining if their felt needs have been met. Community policing is critical social science in action and is based on the assumptions of normative sponsorship theory. Di negara modern dan demokratis, saat ini diterapkan Polmas (community policing) sebagai alternatif pemolisiannya, yang dilaksanakan secara proaktif dan memecahkan masalah, serta berorientasi pada masyarakat, dalam memelihara keteraturan sosial. Pemolisian komuniti dilakukan dengan strategi polisi bersama dengan masyarakat mengidentifikasi dan menyelesaikan berbagai masalah di dalam masyarakat, senantiasa berupaya mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan gangguan kriminalitas, mengedepankan pencegahan kejahatan (crime prevention: National Crime Prevenlion Bailey; 1995) dan berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakatnya.

Menurut David Bailey (1998), dalam bukunya Police for ?he Future yang merupakan hasil penelitian kepolisian di lima negara maju Australia, Inggris, Canada, Jepang, dan Amerika Serikat dengan sistem pemerintahan dan kepolisiannya yang berbeda-beda, menyebutkan: “Semua negara tersebut mengutamakan kesatuan kepolisian yang paling dekat dengan masyarakat, dinamakan basic police unit (a basic police unit world be the smallest full service administrative command unit of a police force). Di Amerika Serikat ada District Police, di Inggris itu disebut sub-division, di Jepang police station, di Belanda District politie. Bailey (1998) menyatakan, “Basic Police Unit, would be responsible for delivering all but the most specialized police services their essencial function would be to determind local needs and to devized strategies to meet those needs. “Disadari bahwa tanpa public trust, polisi tidak akan dapat bekerja dengan baik; tanpa public participation yang optimal, lumpuhlah polisi. Sumber informasi pertama mengenai kejahatan ada di tangan publik, dan tanpa informasi ini hampir tidak mungkin bagi polisi mulai bergerak. Menurut Trojanowicz (Dalam Bailey 1998), kepolisian yang berorientasi pada masyarakat memerlukan” An equal commitment to community-oriented government-Community-oriented government adapts the principles of community policing to the delivery of municipal services to neighborhoods”. Dalam orasi ilmiah ini, berupaya untuk menunjukkan Kepemimpinan Transformasional dalam Penyelenggaraan Polmas. Bahasan dalam tulisan ini mencakup Perjalanan Strategi Polmas setelah dua tahun dicanangkan, kendala dalam implementasi Polmas sehingga belum mencapai yang diharapkan, Peran Pimpinan dalam implementasi Polmas, Faktor-faktor penyebab terhambatnya implementasi strategi Polmas, Model kepemimpinan Transformasional sebagai pilihan dalam mengimplementasikan Polmas.

Dan diakhiri dengan kesimpulan serta rekomendasi dalam rangka perbaikan atau langkah yang dapat dijadikan alternatif penerapan Polmas dalam penyelenggaraan tugas Polri. .Perjalanan Strategi Polmas setelah dua Tahun Dicanangkan Polmas sejak dicanangkan pada tahun 2005 hingga saat ini boleh dikatakan belum mencapai sasaran atau sebagaimana yang diharapkan. Implementasi Polmas masih sebatas tindakan yang sifatnya seremonial dan superfisial yang hanya kulit-kulitnya atau bahkan dilakukan karena latah atau agar dibilang loyal atau tidak ketinggalan zaman. Sehingga apa yang diterapkan sebatas pada tindakan-tindakan yang mengejar kuantitatif dan bangunan fisik namun esensi maupun filosofinya boleh dibilang hampir tidak ditangkap. Dalam mengimplementasikan Polmas dalam kegiatan operasional kepolisian merupakan hasil interpretasi oleh pimpinan kesatuan baik dalam menentukan kebijakan-kebijakan maupun program-program yang dikembangkan. sehingga nilai-nilai demokrasi maupun civil society belum menjadi frame work dalam pemolisiannya. Dalam tatanan demokrasi, hak-hak dan kewajiban individu, masyarakat, dan negara dijamin dan dibakukan dalam dan melalui undang-undang.

Oleh karena itu hak-hak perorangan, hak budaya serta kepentingan komunitas, dan kewenangan serta kehormatan negara yang diwakili oleh pemerintah dapat dijaga dalam keseimbangan di antara ketiga unsur tersebut. Salah satu institusi yang menanganinya adalah polisi. Dalam masyarakat demokratis yang diutamakan adalah produktifitas dan menyadari bahwa SDM (Sumber Daya Manusia) sebagai aset utama bangsa. Bagi yang tidak produktif akan menjadi benalu yang dapat menghambat bahkan mematikan produktifitas. Dalam mengimplementasikan Polmas produktifitas dan masalah kemanusiaan (SDM) belum menjadi perhatian utama dan pertama oleh para petugas keolisian. Model pemolisian yang konvensional masih menonjol bahkan dominan. Bahkan masih juga melakukan tindakan-tindakan yang kontra produktif dan mengabaikan kemanusiaan. Dalam membangun Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) masih banyak yang sebatas bangunan fisik atau hanya sebatas pada kuantitas atau jumlah yang dipaksakan. Bahkan FKPM sering dianggap sebagai lahan untuk mencari kekuasan atau penguasaan dan menuntut berbagai fasilitas dari Polri. Dan bila operasionalnya tidak profesional dapat menjadi bumerang bagi Polri. Polmas sekarang ini memang sudah dikenal luas di kalangan kepolisian di semua lapisan dan boleh dikatakan mereka sudah berupaya untuk memahaminya walaupun masih banyak yang latah. Sehingga esensi dari Polmas belum dapat diwujudkan. Selain itu juga ada sikap defensif yang boleh dikatakan ragu atau menganggap Polmas masih seperti yang dulu atau kalau ganti pimpinan dilupakan atau ditinggalkan.

Kendala dalam Implementasi Polmas dan Faktor Penyebabnya Polmas adalah
gaya pemolisian yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang dilayaninya. Pemolisian ini tidak dilakukan untuk melawan kejahatan, tetapi mencari dan melenyapkan sumber kejahatan. Sukses atau keberhasilan Polmas adalah terciptanya keteraturan sosial dan keharmonisan dalam komuniti. Adanya kepercayaan dari masyarakat terhadap polisi, serta adanya hubungan yang harmonis antara polisi dan komuniti atau dengan warga yang dilayaninya: Polmas adalah bentuk polisi sipil untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan: (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Penerapannya bertujuan untuk senantiasa memperbaiki dan menjaga hubungan antara polisi dengan warga komuniti sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing.

Hubungan polisi dengan warga komuniti dibangun melalui komunikasi, artinya dalam lingkungan mereka polisi dapat menggunakan kata hati dan pikirannya untuk memahami berbagai masalah sosial yang terjadi maupun dalam membahas masalah yang bersifat lokal dan adat istiadat masyarakat suku bangsa setempat. Kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan Polmas yang mendasar, antara lain: secara struktural belum ada tempat yang jelas, sementara ini masih dianggap Binamitralah penjurunya, secara instrumental yang berupa aturan, pedoman, petunjuk maupun buku tentang Polmas masih sangat terbatas. Secara kultural institusi Polri masih menerapkan model pemolisian yang konvensional. Faktor-faktor yang memengaruhi dalam implementasi Polmas saat ini, antara lain faktor internal, birokrasi Polri masih berupa birokrasi patrimonial atau birokrasi yang bergantung pada pimpinan atau semua terpusat pada pemimpin. Begitu dominan model top down yang tampak dalam implementasi pemolisiannya. Faktor lain adalah kemampuan SDM yang belum memadai untuk mengimplementasikan Polmas sebagaimana yang seharusnya. Namun, masih ada sikap skeptis dan defensif terhadap Polmas di kalangan pimpinan atau pejabat Polri.

Keterbatasan sarana dan prasarana maupun sistem pendukung (support system) Polmas berakibat, dalam implementasi Polmas tidak diperoleh produk yang dapat digunakan sebagai fooding pimpinan atau untuk upaya pencegahan. Selain itu, penanganan Polmas, masih bersifat parsial, belum integrated system dan tentu belum terlihat program unggulan sebagai kekhasan dan keunggulan setiap bagian, fungsi yang dibangun secara berkesinambungan (sustainable). Kebudayaan organisasi Polri yang masih cenderung militeristik, feodal, belum mampu membangun kesetaraan antara polisi dengan warga komuniti dalam membangun kemitraan sehingga polisi bersama dengan warga berhasil menemukan akar masalah dan solusinya. Polisi belum sepenuhnya memahami kebutuhan akan rasa aman warga komuniti yang dilayaninya, dan sebagai aparat penegak hukum Polisi belum dipercaya sepenuhnya oleh warga masyarakat. Belum lagi perilakunya kadang memalukan, bahkan tidak dapat dijadikan panutan oleh warga yang dilayaninya. Selain itu, Polisi sebagai petugas Polmas masih melakukan tindakan yang sifatnya sektoral dan belum sepenuhnya mampu membangun kemitraan ataupun membentuk jejaring (network) dengan pemangku kepentingan (stakeholder) lainnya. Sementara itu, faktor eksternal yang memengaruhi kinerja Polri antara lain ketidakpercayaan masyarakat kepada Polri. Dengan kata lain, citra Polri yang kurang baik di mata masyarakat.

Walaupun Polri telah banyak berubah dan berprestasi, seperti pengungkapan kasus terorisme, ini yang disebut selebrity case namun, sering dijatuhkan lagi dari yang daily case (tindakan petugas Polmas sehari-hari) sering tanpa sadar terus-menerus dilakukan sehingga apa pun yang dilakukan oleh polisi sering ditanggapi secara sinis dan dianggap mengganggu masyarakat. Peran Pemimpin dalam Implementasi Polmas Sebagai ujung tombak dalam menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat, Polri harus mampu beradaptasi dengan segala perubahan dan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Implikasi dari kemajuan zaman adalah modus kejahatan yang semakin canggih sehingga menuntut Polri untuk berubah dan menyesuaikan diri dengan perkembangan tersebut. Seiring dengan bergulirnya reformasi yang telah menggugah kesadaran semua komponen bangsa untuk melakukan pembenahan dan pembaharuan atas berbagai ketimpangan, kinerja dan hal yang dianggap tidak profesional serta proporsional merubah juga menuju masyarakat sipil yang demokratis.

Polri pun tak lepas dari wacana besar perubahan ini. Sebabnya, kepolisian merupakan cerminan dari tuntutan dan harapan masyarakat akan rasa aman, keamanan, ketertiban, dan ketenteraman yang mendukung produktivitas untuk menyejahterakan wargnya. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan atmosfer baru dalam masyarakat ini, Polri pun dituntut untuk mereformasi dirinya sendiri, melalui berbagai peningkatan sumber daya ada dan perubahan pola pikir para petugas Polri (to change the mind set of police officers) secara berkesinambungan agar Polri dapat mengatasi tantangan masa depan seiring dengan arus globalisasi dan demokratisasi. Salah satu tantangan utama Polri di masa depan adalah menciptakan polisi masa depan, yang mampu secara terus-menerus beradaptasi dengan perkembangan sosial, budaya, ekonomi, dan politik masyarakat. Polisi harus dapat menjadi mitra. Memahami atau cocok dengan masyarakat, menjadi figur yang dipercaya sebagai pelindung, pengayom dan penegak hukum. Di samping itu, sebagai pribadi dapat dijadikan panutan masyarakat dan mampu membangun simpati dan kemitraan dengan masyarakat. Polri dalam hal ini harus membangun interaksi sosial yang erat dan mesra dengan masyarakat, yaitu keberadaannya menjadi simbol persahabatan antara warga masyarakat dan polisi dengan mengedepankan dan memahami kebutuhan akan rasa aman yang lebih mengedepankan tindakan pencegahan kejahatan (crime prevention) Kelahiran kepolisian modern dipandang sebagai proses pembebasan polisi dari cara kerja yang unpolice atau ‘tidak layak polisi' antara lain tidak profesional, sewenang-wenang, otoriter, militeristik, penyalahgunaan wewenang (KKN), dan arogan.

Tindakan tersebut menjadikan polisi tidak dipercaya dan jauh dari warga masyarakat serta citranya buruk. Harapan masyarakat yang demokratis adalah adanya polisi sipil yang profesional, yang lebih mengutamakan kemitraan (partnership) dan pemecahan masalah (problem solving) untuk menunjukkan jati diri polisi sipil yang humanis dan mampu berkomunikasi dari hati ke hati dengan warga masyarakat, serta senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan warga masyarakat akan adanya gangguan kamtibmas. Kata kunci yang dapat menjawab tantangan Polri di masa depan adalah terciptanya Polri yang mandiri dan profesional, yang mengacu pada supremasi hukum, memberikan jaminan dan perlindungan HAM, transparan serta berorientasi pada kepentingan dan kebutuhan masyarakat, dan ada pertanggungjawaban kepada masyarakat. Paradigma barn Polri tersebut menjadi kerangka dalam mewujudkan jati diri, profesionalisme dan modernisasi Polri sebagai pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat, berada dekat masyarakat dan membaur bersamanya. Semua itu peran pemimpin sangat dominan untuk mencapai hal di atas. Tanpa kepemimpinan yang visioner dan mendapat legitimasi baik dari anggotanya maupun masyarakat, mustahil polisi mampu menerapkan, apalagi mencapai dan mengembangkannya.

Pemimpin adalah orang yang mampu menggerakan orang lain untuk melakukan pekerjaan atau kegiatan yang diinginkannya. Kemampuan memengaruhi orang lain untuk mengikuti atau mendukung pemikiran, keinginan maupun kehendaknya. Sementara itu, kepemimpinan dalam pandangan para pakar (dalam Siagian 1990), dapat diartikan sebagai berikut. 1. Kepemimpinan adalah kegiatan dalam mempengaruhi orang lain untuk bekerja keras dengan penuh kemauan untuk tujuan kelompok (George P. Terry) 2. Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum (H.Koontz dan C. O'Donnell). 3. Kepemimpinan sebagai pengaruh antar pribadi yang terjadi pada suatu keadaan dan diarahkan melalui proses komunikasi ke arah tercapainya sesuatu tujuan (R. Tannenbaum, Irving R, F Massarik). 4. Kepemimpinan adalah peningkatan pengaruh sedikit demi sedikit pada dan berada di atas kepatuhan mekanis terhadap pengarahan¬pengarahan rutin organisasi (Katz dan Kahn) 5. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan (Rauch dan Behling) 6. Kepemimpinan adalah proses memberi arti terhadap usaha kolektif yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran. Dari berbagai definisi tersebut, dapat dikatakan bahwa Kepemimpinan adalah hal yang berikut : • Seni untuk menciptakan kesesuaian paham. • Bentuk persuasi dan inspirasi. • Kepribadian yang mempunyai pengaruh. • Tindakan dan perilaku. • Titik sentral proses kegiatan kelompok. • Hubungan kekuatan/kekuasaan. • Sarana pencapaian tujuan. • Hasil dari interaksi. • Peranan yang dipolakan. • Inisiasi struktur Sondang P. Siagian (1990) menyebutkan bahwa seorang pemimpin yang baik harus memiliki dua belas(12) sifat sebagai berikut. 1. Memiliki kondisi fisik yang sehat sesuai dengan tugasnya. Tugas kepemimpinan tertentu menuntut sifat kesehatan tertentu pula. 2. Berpengetahuan dan berpengalaman luas, yang mana hal ini tidak selalu dapat diidentikkan dengan berpendidikan tinggi.
Ada sekelompok orang yang meskipun pendidikan tinggi, pandangannya masih sempit, atau terbatas pada bidang keahliannya saja. Sebaliknya, banyak orang yang tidak berpendidikan tinggi tetapi karena pengalamannya luas dan memiliki kemauan keras untuk mengembangkan diri, mereka memiliki pengetahuan yang luas. 3. Mempunyai keyakinan bahwa organisasi akan berhasil dan mencapai tujuan yang telah ditentukan melalui dan berkat kepemimpinannya. Kepercayaan pada diri sendiri merupakan modal yang sangat besar dan penting artinya bagi seorang pemimpin. Tanpa keyakinan itu dalam tindakannya, dia akan sering ragu-ragu. 4. Mengetahui dengan jelas sifat hakikat dan kompleksitas dari pada tujuan yang hendak dicapai. 5. Memiliki stamina/daya kerja dan antusiasme yang besar. Pekerjaan pemimpin pada dasarnya adalah pekerjaan mental yang tidak mulai pada waktu dia tiba di tempat kerjanya dan dapat dihentikan pada waktu dia pulang kerumahnya. 6. Di samping itu, stamina bekerja sangat diperlukan karena frustasi yang dihadapi oleh seseorang yang menjadi pelaksana biasa pada umumnya kurang dari/lebih kecil bila dibandingkan dengan frustasi yang dihadapi oleh seorang yang menduduki jabatan pemimpin. 7. Gemar dan cepat mengambil keputusan. Oleh karena tugas terpenting dari seorang pemimpin adalah mengambil keputusan yang harus dilaksanakan oleh orang lain, maka dia harus mempunyai keberanian untuk mengambil keputusan dengan cepat, terutama dalam keadaan darurat yang tidak dapat menunggu. Penundaan pengambilan keputusan pada hakekatnya merupakan suatu kelemahan yang tidak boleh dimiliki oleh seorang pemimpin yang baik. 8. Objektif dalam arti dapat menguasai emosi dan lebih banyak mempergunakan rasio. Seorang pemimpin yang emosional akan kehilangan objektivitasnya karena tindakannya tidak lagi didasarkan pada akal sehat, tetapi lebih sering didasarkan pada pertimbangan personal likes and dislikes, baik terhadap seorang maupun terhadap penggunaan alat yang diperlukan. 9. Adil dalam memperlakukan bawahan. Keadilan di sini dimaksudkan sebagai kemampuan memperlakukan bawahan berdasar kapasitas kerja bawahan itu, terlepas dari masalah primordialisme, seperti pandangan kedaerahan, kesukuan, kepartaian, dan ikatan keluarga. Keadilan di sini juga berarti kesanggupan untuk mengenal dan mengompensasikan pelaksanaan tugas yang baik oleh bawahan dan kemampuan memberikan koreksi dan bimbingan kepada bawahan yang kurang cakap. 10. Menguasai prinsip human relations, karena prinsip ini merupakan inti kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik harus dapat memusatkan perhatian, tindakan, dan kebijaksanaannya pada pembinaan tim kerja. Hal ini berarti kemampuan untukmembedakan manusia dengan alat/benda. 11. Menguasai teknik berkomunikasi. Berkomunikasi dengan pihak lain seperti sesama atasan, bawahan, dan pihak luar, baik secara tertulis maupun lisan adalah sangat penting. Melalui saluran komunikasilah instruksi, nasihat, saran, ide, berita, informasi, dan bimbingan disampaikan. Teknik berkomunikasi berarti pula penguasaan terhadap bahasa yang biasa dipergunakan dalam organisasi. Seseorang yang gugup merupakan manifestasi ketidakmampuan berkomunikasi dengan orang/pihak lain. 12. Dapat dan mampu bertindak sebagai penasihat, guru, dan kepala terhadap bawahannya, bergantung pada situasi dan masalah yang dihadapi. Dalam hubungan ini harus diperhatikan pula sifat bawahan yang dihadapi. 13. Mempunyai gambaran yang menyeluruh tentang semua aspek kegiatan organisasi.

Seorang pemimpin yang baik tidak boleh menganakemaskan suatu bagian di dalam organisasi dan menganaktirikan yang lain. Dalam arti inilah seorang pemimpin menjadi seorang generalist. Bila kita kaitkan dengan tugas polisi yang mencakup tugas perlindungan, pengayoman, dan pelayanan di samping tugasnya sebagai alat negara penegak hukum, dan membuka format yang lebih luas ke arah pemberdayaan masyarakat, betapa besar peran kepemimpinan untuk mencapai sukses dalam pemolisiannya. Tanpa pemimpin yang baik, mustahil untuk mencapainya. Dalam hal ini pemimpin, selain cerdas, dituntut untuk peka dan peduli terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan implementasi Polmas.

Peran Pemimpin dalam Implementasi Polmas Perlu disadari bahwa kondisi Polmas yang sekarang ini dikatakan berjalan di tempat. Salah satu penyebabnya adalah peran dan fungsi pemimpin. Pemimpin yang tidak peka dan tidak peduli terhadap Polmas secara tidak sadar akan diikuti dan dijabarkan oleh anak buahnya di lapangan. Sikap skeptis terhadap Polmas, bahkan mencibir, setidaknya menjadi isu utama di lingkungan kerjanya. Ketakutan atau kekhawatiran seorang pemimpin dalam mengimplementasikan Polmas juga menjadi sebab kemacetan Polmas karena yang dilakukan hanya sebatas laporan atau hanya untuk menyenangkan atasannya. Tentu ini dilakukan dengan tergesa-gesa serta sifatnya dangkal dan temporer. Belum lagi pemimpin, yang tidak dapat memahami motif potensial dalam masyarakat, tidak berusaha untuk menemukan kebutuhan yang lebih mendasar dan melibatkan secara utuh pengikutnya. Hasil dari kerjanya, dalam kepemimpinan tidak ada transforming atau hubungan stimulasi timbal-balik dan elevasi yang membuka kemungkinan bagi anak buahnya untuk menjadi pemimpin. Dan ketidakmampuan moral agent merupakan kebangkrutan atau kerusakan dari organisasi yang dipimpinnya. Konsep moral kepemimpinan tersebut mengasumsikan pada tiga hal mendasar. Pertama, Pemimpin dan mereka yang dipimpin tidak semata-mata dipertautkan oleh hubungan kekuasaan, tetapi oleh visi, misi, kebutuhan, aspirasi dan nilai dari kedua belah pihak dan tujuan bersama. Kedua, dalam merespon seorang pemimpin, pengikut memiliki pengetahuan yang memadai mengenai berbagai alternatif memimpin dan program yang ada. Juga memiliki kapasitas untuk memilih di antara alternatif-alternatif yang tersedia. Oleh karena itu pemimpin bertanggung jawab atas komitmennya.

Jika seorang pemimpin menjanjikan sesuatu pada para pengikutnya, maka ia wajib bertanggung jawab untuk mewujudkannya. Hal terakhir ini, tampaknya sederhana. Akan tetapi, kalau kita mau sabar mendengarkan, dengan mudah kita menangkap suara sayup-sayup di tengah anak buahnya, atau masyarakat kita dapat menangkap citra pemimpin atau moralitas dari pemimpin. Kita perlu menyadari bahwa moral kepemimpinan senantiasa tumbuh dan akan kembali pada visi, misi, keinginan, kebutuhan, aspirasi, dan nilai-nilai yang fundamental dari masyarakat yang dipimpinnya. Dalam jargon politis hal ini sering dirumuskan baik sebagai kepemimpinan yang aspiratif maupun sebagai pemimpin yang demokratis. Tanpa ini, pemimpin kehilangan legitimasinya karena legitimasi seorang pemimpin adalah legitimasi moral. Pemimpin Transformasional sebagai Pilihan Kepemimpinan transformasional menunjukpada proses membangun komitmen terhadap sasaran organisasi dan memberi kepercayaan kepada para anggotanya maupun masyarakat untuk mencapai sasaran tersebut. Teori transformasional mempelajari juga bagaimana para pemimpin mengubah budaya dari struktur organisasi agar lebih konsisten dengan strategi-strategi manajemen untuk mencapai sasaran organisasional.

Secara konseptual, kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai kemampuan pemimpin mengubah lingkungan kerja, motivasi kerja, dan pola kerja, dan nilai-nilai kerja yang dipersepsikan bawahan sehingga mereka lebih mampu mengoptimalkan kinerja untuk mencapai tujuan organisasi. Berarti, sebuah proses transformasional terjadi dalam hubungan kepemimpinan manakala pemimpin membangun kesadaran bawahan akan pentingnya nilai kerja, memperluas, dan meningkatkan kebutuhan melampaui minat pribadi serta mendorong perubahan tersebut ke arah kepentingan bersama termasuk kepentingan organisasi. Kepemimpinan transformasional adalah proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan didasarkan atas emosi, seperti keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian. Dengan demikian, antara pimpinan dan bawahan terjadi kesamaan persepsi: mereka dapat mengoptimalkan usaha ke arah tujuan yang ingin dicapai organisasi. Melalui cara ini, diharapkan akan tumbuh kepercayaan, kebanggaan, komitmen, rasa hormat, dan loyal kepada atasan membuat mereka mampu mengoptimalkan usaha dan kinerja mereka sehingga menjadi lebih daripada biasanya. Ringkasnya, pemimpin transformasional berupaya untuk melakukan transforming of visionary yang menjadi visi bersama sehingga mereka (bawahan dan pemimpin) bekerja untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan. Dengan kata lain, proses transformasional dapat terlihat melalui sejumlah perilaku kepemimpinan seperti attributed charisma, idealized influence, inspirational motivation, intelectual stimulation, dan individualized consideration. Secara ringkas perilaku dimaksud adalah sebagai berikut. Attributed charisma.

Bahwa kharisma secara tradisional dipandang sebagai hal yang bersifat inheren dan hanya dimiliki oleh pemimpin¬pemimpin kelas dunia. Penelitian membuktikan bahwa kharisma bisa saja dimiliki oleh pimpinan di level bawah dari sebuah organisasi. Pemimpin yang memiliki ciri tersebut, memperlihatkan visi, kemampuan, dan keahliannya serta tindakan yang lebih mendahulukan kepentingan organisasi dan kepentingan orang lain (masyarakat) daripada kepentingan pribadi. Karena itu, pemimpin kharismatik dijadikan suri tauladan, idola, dan anutan oleh bawahannya, yaitu idealized influence. Idealized influence. Pemimpin tipe ini berupaya memmengaruhi bawahannya melalui komunikasi langsung dengan menekankan pentingnya nilai-nilai, asumsi, komitmen dan keyakinan, serta memiliki tekad untuk mencapai tujuan dengan senantiasa mempertimbangkan akibat moral dan etis dari setiap keputusan yang diambil. Ia memperlihatkan kepercayaan pada cita-cita, keyakinan, dan nilai-nilai hidupnya. Dampaknya adalah dikagumi, dipercaya, dihargai, dan bawahan berusaha mengindentikkan diri dengannya. Hal ini disebabkan perilaku yang menomorsatukan kebutuhan bawahan, membagi resiko dengan bawahan secara konsisten, dan menghindari penggunaan kuasa untuk kepentingan pribadi. Dengan demikian, bawahan bertekad dan termotivasi untuk mengoptimalkan usaha dan bekerja ke tujuan bersama.

Inspirational motivation. Pemimpin transformasional bertindak dengan cara memotivasi dan memberikan inspirasi kepada bawahan melalui pemberian arti dan tantangan terhadap tugas bawahan. Bawahan diberi untuk berpartisipasi secara optimal dalam hal gagasan¬gagasan, memberi visi mengenai keadaan organisasi masa depan yang menjanjikan harapan yang jelas dan transparan. Pengaruhnya diharapkan dapat meningkatkan semangat kelompok, antusiasisme dan optimisme dikorbankan sehingga harapan-harapan itu menjadi penting dan bernilai bagi mereka dan perlu di realisasikan melalui komitmen yang tinggi. Intelectual stimulation. Bahwa pemimpin mendorong bawahan untuk memikirkan kembali cara kerja dan mencari cara-cara kerja baru dalam menyelesaikan tugasnya. Pengaruhnya diharapkan, bawahan merasa pimpinan menerima dan mendukung mereka untuk memikirkan cara-cara kerja mereka, mencari cara-cara baru dalam menyelesaikan tugas, dan merasa menemukan cara-cara kerja baru dalam mempercepat tugas-tugas mereka. Pengaruh positif lebih jauh adalah menimbulkan semangat belajar yang tinggi (oleh Peter Senge, hal ini disebut sebagai “learning organization”). Individualized consideration.

Pimpinan memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. Pengaruh terhadap bawahan antara lain, merasa diperhatian dan diperlakukan manusiawi dari atasannya. Dengan demikian, kelima perilaku tersebut diharapkan mampu berinteraksi memengaruhi perubahan perilaku bawahan. Itu akan mengoptimalkan usaha dan performance kerja yang lebih memuaskan ke arah tercapainya visi dan misi organisasi. Model kepemimpinan yang transformasional dalam mengimplementasikan Polmas, diharapkan dapat melakukan perubahan yang mendasar terutama perubahan kultural. Artinya, pemimpin mampu membawa anggotanya untuk membangun hubungan Polisi dengan warga komuniti dalam tiga posisi, yaitu (1) Posisi seimbang atau setara yaitu polisi dengan masyarakat menjadi mitra saling bekerja sama dalam rangka menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. 2) Posisi polisi yang menganggap seolah-olah masyarakat sebagai atasannya yang berbagai kebutuhan rasa aman yang harus dipahami dan dipenuhi oleh polish Dalam hal ini polisi senantiasa berupaya untuk memahami warga masyarakat yang dilayaninya; (3) Posisi polisi sebagai pelindung, pengayom masyarakat yang sekaligus aparat penegak hukum yang dapat dipercaya. Pemimpin mampu membangun landasan utama yang ditekankan dalam Polmas adalah terwujudnya hubungan baik yang tulus antara polisi dan warga masyarakat. Sehingga dalam mengimplementasikan Polmas mampu untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dan polisi : 1) Dipercaya masyarakatnya, 2) Mengetahui apa yang menjadi keinginan masyarakat, 3) Mendekatkan kepada masyarakat dan 4) Untuk kecepatan merespon keluhan atau laporan masyarakat. Keberhasilan tugas polisi bukan hanya pada menekan angka kejahatan tetapi manakala kejahatan atau gangguan kamtibmas tidak terjadi serta tercipta ketertiban dan keteraturan yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya.

Dan melalui kepemimpinan transformasional setidaknya ada
lima elemen dasar yang dapat diubah agar Polmas berjalan dengan efektif. Elemen-elemen ini merupakan kunci dalam setiap organisasi. Kegagalan menerapkan salah satu dari elemen ini akan menghambat proses tranformasi menuju perubahan. Kelima elemen adalah yang berikut. 1. Memperkuat kerja sama dengan kelompok-kelompok stakeholder eksternal. 2. Merevitalisasi dan merubah sistem operasi untuk mendukung perubahan menuju strategi Polmas. 3. Merestrukturisasi hierarki organisasi untuk meningkatkan keberdayaan dan akuntabilitas seluruh personel kepolisian ke arah tujuan dan filosofi Polmas. 4. Menata sumber daya manusia untuk menserasikannya dengan filosofi dan tujuan Polmas. 5. Mengadopsi perspektif pemecahan masalah ke dalam pelaksanaan operasional sehari-hari demi peningkatan pelayanan yang berkesinambungan. . Penutup Mengimplementasikan Polmas merupakan proses panjang yang memerlukan pemikiran yang komprehensif, holistik, serta pengkajian dari berbagai bidang (antar-bidang) sehingga mulai dari konsep dan pola implementasinya jelas dan tidak rancu atau tumpang tindih. Kepemimpinan yang transformasional merupakan model yang dapat dianggap tepat untuk mengatasi kompleksnya tugas polisi dalam masyarakat.

Di samping itu, model kepemimpinan tersebut mampu membangun profesionalisme dalam institusi kepolisian yang tentu saja dituntut untuk memiliki kemampuan dan keahlian khusus baik dari dirinya maupun para anggotanya. Yaitu pengetahuan dan keahlian yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan secara konseptual dan teoritikal untuk menganalisa maupun memecahkan masalah-masalah sosial maupun isu-isu penting yang terjadi dalam masyarakat. Dan para anggotanya juga dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya. Orang yang profesional adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan khusus dalam suatu bidang tertentu yang dianggap penting dalam kehidupan masyarakat. Polmas sebagai implementasi community policing dalam penyelenggaraan tugas Polri tidaklah semudah membalik tangan namun harus terus menerus ditumbuh kembangkan dan terus diperbaiki berbagai kekurangan dan kelemahannya. Yang perlu menjadi perhatian pokok dalam mengimplementasikan Polmas adalah penyiapan SDM (sumber daya manusia) yang memadai. Karena menjadi petugas Polmas harus dilakukan dengan tutus dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan bertanggung jawab. Selain itu, yang juga dituntut untuk kreatif dan proaktif serta mempunyai kepekaan sosialyang tinggi dalam membangun kemitraan dengan warga masyarakat maupun dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi.

Hal lain yang tak boleh diabaikan adalah perlengkapan atau sarana prasarana sistem-sistem pendukung (support systems) serta tingkat kesejahteraan petugasnya. Keberhasilan Polmas bukan semata-mata pada pengungkapan kasus atau perkara pidana, tetapi manakala tidak terjadi kriminalitas di dalam komuniti yang dilayaninya. Juga adanya kepercayaan dan dukungan warga masyarakat terhadap kinerja polisi. Sejalan dengan pemikiran tersebut, untuk meningkatkan Polri yang profesional dan mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat, merupakan masalah yang kompleks dan saling terkait dan saling mendukung dalam suatu sistem (holistik / sistemik). Salah satu langkah penting yang dilakukan oleh Polri melalui implementasi Polmas, karena tugas polisi dalam masyarakat yang modern dan demokratis, yaitu selain dituntut untuk dapat membantu peningkatan kualitas hidup m.asyarakatnya, dalam melaksanakan pemolisiannya mau tidak mau harus mengacu dari prinsip umum demokrasi. Yang ditunjukkan melalui pemolisian dengan memedomani prinsip demokrasi, antara lain: (1) Supremasi hukum, (2) Mampu memberikan jaminan dan perlindungan HAM, (3) Transparansi, (4) Pertanggungjawaban publik, dan (5) Pembatasan serta pengawasan kewenangan polisi. Dalam masyarakat yang demokratis fungsi polisi adalah sebagai perantara atau wasit yang adil dan beradab dalam mengahadapi konflik yang terjadi dalam masyarakat.

Pola pemolisiannya adalah proaktif untuk meyelesaikan masalah. Yaitu pemolisian yang berupaya untuk: (1) Menciptakan kesejajaran antara polisi dengan masyarakat. Dengan kata lain masyarakat dapat menjadi mitra polisi dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial dalam masyarakat; (2) Polisi berupaya untuk memahami masyarakatnya. Menurut Satjipto Rahardjo (2002) Polisi yang diharapkan dan dapat fungsional dalam masyarakatnya adalah polisi yang cocok dengan masyarakatnya. Dan agar dapat berfungsi sebagaimana seharusnya serta dapat dipercaya oleh masyarakat sebagai institusi pengayom dan penegak hukum, polisi harus profesional untuk dapat memahami corak masyarakat dan kebudayaannya. Jika polisi tidak profesional maka akan menyimpang dari fungsi yang sebagaimana mestinya, yang justru akan menyengsarakan atau menghambat produktivitas masyarakat. Dan Polisi tidak dianggap sebagai bagian dari masyarakat, tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat. Akibatnya polisi tidak dipercaya bahkan dapat dianggap. Benalu yang keberadaannya tak dibutuhkan dan tidak di inginkan.

Untuk mencapai keberhasilan itu, ada beberapa tindakan yang harus dilakukan dan dapat menjadi indikasi awal bagi kemungkinan keberhasilan penerapan Polmas : 1. Implementasi dilakukan dalam ruang lingkup wilayah yang kecil dan terbatas. 2. Terciptanya hubungan serta komunikasi dari hati ke hati antara aparat dengan warga masyarakat. 3. Petugasmampumemahamiberbagaigejalayangadadalammasyarakat dan mampu mendeteksi kemungkinan terjadinya kejahatan. 4. Petugas mampu merencanakan aktifitas, program, tindakan bersama masyarakat untuk mencegah dan mengatasi kejahatan, serta hal-hal lain yang dapat merugikan masyarakat. 5. Terciptanya dan terpeliharanya keteraturan sosial serta rasa aman bagi masyarakat. 6. Petugas mampu mengevaluasi apa yang telah dilakukan untuk dapat mengantisipasi dampak yang ditimbulkan serta sebagai acuan dalam memahami gejala sejenis yang mungkin muncul di masa mendatang atau di kelompok masyarakat lainnya. 7. Petugas mampu memberikan penerangan atau penyuluhan bila diminta oleh warga dalam berbagai permasalahan sosial yang mereka hadapi. 8. Petugas tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan polisi tidak dipercaya oleh masyarakat. 9. Petugas terus berupaya mendapatkan dukungan dan kepercayaan masyarakat dalam melaksanakan tugasnya yaitu ditunjukkan telah terbentuknya berbagai forum kemitraan. 10. Kehadiran dan kinerja petugas mampu meningkatkan produktifitas masyarakat.

Dalam menerapkan Polmas secara internal Polri, terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan : 1. Pembenahan sistem manajemen kepolisian yang mendukung terciptanya sistem kompetisi yang fair, transparan dan sisten kontrol yang dapat menghilangkan atau minimal mengurangi dan mencegah terjadinya penyimpangan. 2. Membuat standardisasi proses kerja, standarisasi hasil kerja dan standarisasi sumber daya manusianya serta formalisasi tugas yang jelas sehingga siapa pun yang menjadi pejabat atau pimpinan, tetap berjalan pada pencapaian tujuan organisasi. 3. Adanya batasan mengenai tindakan diskresi yang jelas sehingga dapat dijadikan pedoman atau penuntun bagi petugas kepolisian, maka dalam melaksanakan tugasnya, senantiasa berpedoman pada norma hukum dan norma yang berlaku di masyarakat, serta etika kepolisian. 4. Adanya sistem Reward and Punishment yang jelas dan tegas. 5. Adanya etika kerja bagi petugas kepolisian yang berisi pedoman¬pedoman tentang apa yang harus dilakukan, apa yang tidak boleh dilakukan, produk apa yang harus dihasilkan dan sangsinya bila melakukan pelanggaran. 6. Meningkatkan kemampuan profesional sumber daya manusianya; melalui pelatihan-pelatihan agar para petugas kepolisian mampu berkomunikasi dengan warga masyarakat/ komuniti dan mampu memahami hal-hal yang menjadi kebutuhan atau tuntutan warganya. 7. Legitimasi bagi pimpinan atau atasan adalah legitimasi moral yaitu dapat dijadikan panutan dan dapat memberikan keteladanan baik bagi anak buahnya atau bagi masyarakatnya. 8. Adanya pertanggungjawaban publik sebagai public service. 9. Mendukung produktifitas pada sesuai peran dan fungsinya masing¬masing . 10. Pengetahuan tentang demokrasi, civil society (masyarakat madani), good governance (tata pemerintahan yang baik). 11. Pemahaman konsep Polmas dan adanya buku-buku referensi atau literatur maupun vademikum polmas yang dapat sebagai pedoman atau acuan.

Di sini tampak bahwa indikator awal bagi keberhasilan Polmas ini merupakan suatu awalan bagi indikator lainnya, yang pada akhirnya bermuara pada suatu indikator utama, yaitu adanya peningkatan kualitas hidup masyarakat. Di mana masyarakat merasa aman dan nyaman untuk menjalankan aktifitas kehidupannya, bekerja dan bersosialisasi tanpa merasa takut akan ancaman kejahatan serta meningkat produktifitasnya. Dalam Implementasi Polmas ini wadah untuk komunikasi dan membangun kemitraan serta pemecahan masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat adalah melalui Forum Kemitraan Polisis Masyarakat (FKPM), yang dibentuk pada tingkat desa/kelurahan.

Mengimplementaskan Polmas merupakan langkah awal yang baik dan membutuhkan proses yang harus terus ditumbuhkembangkan secara konsisten.Yang dibangun dengan sistem terpadu dan berkesinambungan clan legitimasi pemimpinnya adalah legitimasi moral. Demikianlah yang bisa kami sampaikan semoga apa yang menjadi harapan kita, Ke depan Polri dapat menjadi polisi sipil yang profesional, bermoral, cerdas dan taat hukum dalam masyarakat yang demokratis. (sumber : Komisi Kepolisian Nasional dalam polres kota Cimahi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar