Kerjasama atau Sama-sama Kerja?
Jika setiap anggota aktif bekerja tidak dalam satu koordinasi, maka dampaknya, kerja mereka tidak berarti bagi lingkungan maupun bagi perkembangan organisasi. Karena yang sesungguhnya terjadi adalah sama-sama kerja, tapi tidak dalam satu bingkai kerja sama.
Pernyataan di atas, spontan membuat seisi ruangan pelatihan tercengang. Pernyataan itu diungkapkan Bambang Budiono, salah satu fasilitator sekaligus narasumber Pelatihan Perpolisian Masyarakat (Polmas) Tahap III, usai mempraktikkan permainan bujur sangkar berantakan. Kalimatnya sederhana, namun tanpa disadari telah membangkitkan tanya dalam diri seorang aktifis. Terutama kualitas mereka dalam menjalankan roda organisasi. Dalam hal ini adalah aktifis Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), yang menjadi peserta pelatihan yang digelar Fahmina-Institute Cirebon, di Hotel Tryas Kota Cirebon, pada Jumat dan Sabtu (19&20/2/09). Selain Bambang Budiono, Direktur Pusat Studi HAM (Pusham) Unair Surabaya, Fahmina-Institute juga menghadirkan AKBP Sri Sudaryani SH dari Kabag Bintibluh Biro Binamitra Polda Jawa Barat, dan Iklillah Muzayanah DF dari Fahmina-Institute.
Seakan tak kehilangan akal membangkitkan semangat peserta, Bambang begitu kreatif menggabungkan materi dengan esensi sebuah permainan (games). Dari beragam referensi permainan, Bambang tak sekadar mengajak peserta menikmati permainan, tapi juga mengambil pelajaran atau makna dibalik permainan tersebut. Dari permainan tersebut, peserta diajak untuk mengetahui perbedaan antara kerja sama dengan sama-sama kerja. Selain itu juga agar peserta menyadari, bahwa sama-sama kerja tidak membawa dampak yang bermakna bagi lingkungan.
“Ketika menyadari bahwa sama-sama kerja bisa mengancam organisasi, maka mereka akan mencari solusi untuk mewujudkan kerja sama yang efektif. Dari permainan ini, juga dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang faktor-faktor yang menunjang dan menghambat kerja sama,” papar Bambang.
Bambang juga tak luput mengasah sejauh mana kemampuan aktifis FKPM sekaligus organizer, terutama dalam menyelesaikan persoalan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dari studi kasus, Bambang juga ingin menyampaikan syarat penting pengorganisasian. Pengorganisasian, menurutnya hanya dapat dilakukan jika ada kepentingan bersama (collective interest) yang ingin diperjuangkan. Kepentingan bersama, dirumuskan dalam bentuk tujuan bersama (collective targets). Dan tujuan bersama, hanya dapat dicapai melalui kegiatan bersama (collective action).
“Sedangkan pelaksanaan kegiatan bersama, itu diatur dalam rumusan rencana tindak (action plan). Dan rencana tindak, dilaksanakan bersama secara kooperatif, dengan mengkontribusikan berbagai sumberdaya individu yang dibutuhkan dalam organisasi atau kelompok,” terangnya. Dalam proses pelatihan, Bambang memang sengaja tidak menggunakan proses andragogi. “Karena kalau tidak begitu, peserta akan mudah mengantuk. Saya hanya ingin agar peserta tidak sekadar obyek, tapi juga subyek. Dan narasumbernya dalam hal ini adalah kita semua,” papar dia usai memberikan permainan.
FKPM Menggalang Modal Sosial, Bukan Modal Ekonomi
Indikasi modal sosial dan ekonomi, lagi-lagi menjadi pembahasan menarik dalam pelatihan Polmas. Bagaimana tidak, persoalan ini erat kaitannya dengan ideologi seorang aktifis FKPM dalam menjalankan aktifitasnya.
Menurut Bambang, indikasi modal sosial di antaranya untuk saling menolong, gotong royong, sukarela, setia kawan, kebersamaan, dan bergerak atas dasar nilai-nilai kemanusiaan, bukan modal ekonomi. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Kapolri No Pol: SKEP/433/VII/ 2006 mengenai Panduan Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas, disebutkan bahwa petugas Polmas diberikan kewenangan yang terbatas untuk menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana ringan dan pertikaian antarwarga melalui musyawarah.
“Oleh karena itu, ada polisi yang sempat bingung ketika ada FKPM yang terbentuk, meminta uang dari polisi. Kalau itu yang terjadi, maka sosial kapital menjadi tumpuan. Padahal FKPM tidak seperti itu. Dari hal ini, kita akan lebih tahu bahwa FKPM sebagai organizernya. Tapi yang digerakkan bukan usaha ekonomi,” papar Bambang di depan seluruh peserta pelatihan.
Hal ini, tambahnya, seperti yang pernah dilaksakan oleh FKPM di Surabaya. Ada FKPM yang membuat biro jasa SIM kolektif, ini menyalahartikan. “Saya senang sekali jika FKPM di Cirebon tidak melakukan penyalahgunaan itu. Karena menjadi biro bukan hal utama yang harus dimasukkan dalam FKPM. Dan saya melihat apa yang sudah dilakukan FKPM disini, sudah sesuai dengan ideologi Polmas itu sendiri. Kita menggalang modal sosial, bukan modal ekonomi.,” tandasnya.
Terkait kewenangan FKPM, Sri Sudaryani mengungkapkan hal senada. Menurutnya, pengurus FKPM bersama-sama petugas Polmas diberikan kewenangan yang terbatas untuk menyelesaikan berbagai kasus. Seperti tindak pidana ringan dan pertikaian antar warga melalui musyawarah. Persoalan-persoalan yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum, tersebut antara lain yang diatur dalam buku ketiga KUHP tentang pelanggaran, peraturan daerah (Perda), kejahatan ringan yang diatur dalam KUHP, serta pertikaian antarwarga.
Lebih jauh, Sri mengungkapkan keprihatinannya terkait masyarakat yang menggunakan FPKM untuk arogansi. Karena FKPM dibentuk bukan untuk arogansi. “Namun persoalannya adalah dari forum itu sendiri. Penerapan dari masyarakat yang memang menggunakan FKPM sebagai arogansi. Dari kami (Polri) tidak ada keharusan untuk berprilaku arogansi,” jelas perempuan yang mengaku telah empat tahun berturut-turut menjabat Kabag Bintibluh Biro Binamitra Polda Jabar.
Baginya, yang terpenting dari Polmas adalah bagaimana kegiatannya, apa yang dilakukan oleh FKPM-nya. Ini adalah satu program Kapolri sebagai salah satu forum independen, dengan tugas dan peranannya masing-masing. “Jadi ini bukan kesalahan polisi, tapi lebih kepada pemahaman Polmas yang sangat dangkal. Sekali lagi, ngapain kita mengikuti itu. Jika kita sadar, kita tidak akan terbawa dalam persepsi itu. Jadi dasarnya dari Pamswakarsa. Jadi gak perlu ada Skep pun, itu bisa berjalan,” tandasnya.
Sementara itu, Iklillah memberikan pemahaman tentang bagaimana cara penanganan masalah dengan analisis gender. Mengapa FKPM harus menggunakan analisis gender dalam penanganan masalah di masyarakat? Menurutnya, karena pengetahuan latar belakang persoalan yang berbeda, maka perlu pengetahuan yang berbeda dalam penanganannya. Bagaimana kita diperlakukan, bagaimana kita diinternalisasi nilai-nilai dalam kepala kita. Itu harus menjadi kesadaran untuk aktifis FKPM.
“Kasusnya boleh sama, tapi karena latar belakangnya berbeda, maka penyelesainanya pun berbeda. Dan ini yang juga perlu kita sadari dalam kepala kita. Kita memandang orang lain yang juga memiliki kesamaan dengan kita. Laki-laki dan perempuan memiliki cara pandang yang berbeda. Yang ini juga akan berimplikasi dalam pandangan yang berbeda dalam hal yang penting dan tidak penting,” jelas Iklilillah yang akrab disapa Iik.
Itu artinya, lanjut dia, karena pengalaman yang berbeda, menunjukkan cara penyelesaiannya berbeda. Hal yang dianggap penting menurut kita, belum tentu dianggap penting bagi orang lain. Jadi jangan menganggap bahwa kita adalah orang yang paling tahu dalam penanganan masalah, karena itu berarti arogansi. Dan arogansi sangat dilarang dalam analisis gender. Selain itu perlu diketahui, bahwa pengalaman setiap orang itu berbeda. Misalnya, kekerasan seksual itu sama dan banyak, tetapi dalam kasusnya itu berbeda-beda.
“Dari sini, jangan sampai kita merasa bahwa kita serba bisa, ingat bahwa banyak hal yang belum kita ketahui, banyak hal yang juga akan kita temukan dalam setiap kasus di lapangan yang kita ketahui.” Tandas Iik. []
Sumber: Fahmina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar