FKPM Lima Bulan Selesaikan 1.010 Masalah
Untuk memperkuat keabsahan secarik kertas perjanjian tersebut, Bripka Gatot Siswanto, anggota Polsek Genteng yang menjadi Babinkamtibmas Kelurahan Peneleh, menjadi saksi. Dengan penandatanganan itu, warga Peneleh berharap agar tidak lagi mendengar pertengkaran pasutri tersebut secara vulgar.
Sebelumnya, pasutri itu dibawa warga ke balai RW dan masalahnya diselesaikan oleh FKPM setempat. Gara-garanya, mereka bertengkar di pinggir jalan sehingga mengganggu warga lain.
***
Pasutri Sholeh-Parmi tidak sendiri. Sepanjang Januari-Mei 2009, FKPM di jajaran Polwiltabes Surabaya berhasil menyelesaikan 1.010 masalah sosial. Tahun lalu, catatan penyelesaian masalah sosial oleh konsep perpolisian masyarakat tersebut juga menggembirakan. Jumlahnya mencapai 4.626 penyelesaian masalah sosial.
Itu menunjukkan besarnya partisipasi masyarakat dalam pengamanan, sekaligus mengurangi beban polisi dalam pemrosesan kasus. Masyarakat aman, sekaligus polisi bisa fokus pada penyelesaian kasus-kasus besar.
Konsep perpolisian masyarakat sendiri sebenarnya bukan hal baru dalam masyarakat Indonesia. ''Dulu kita pernah punya sistem seperti itu. Namanya sistem keamanan lingkungan (siskamling),'' kata Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam.
Namun, karena belum terlembaga dengan baik dan minimnya back up dari pemerintah, siskamling pun lama-lama hilang begitu saja. Di sisi lain, kejahatan terus meningkat, secara kualitas dan kuantitas. Pada saat yang sama, Polri sebagai institusi pengaman semakin kedodoran dalam mengantisipasi kriminalitas. Tidak perlu jauh-jauh soal kualitas, soal kuantitas saja sudah tidak memenuhi syarat.
Contohnya di Polwiltabes Surabaya. Perbandingan jumlah polisi dan masyarakat masih sangat timpang. Satu polisi mengawasi lebih dari 1.000 penduduk. Padahal, yang ideal, satu polisi menangani 100 orang. Itu belum termasuk soal beban kasus. Sebagai contoh, tiap bulan, sekitar 200 personel Satreskrim Polwiltabes Surabaya harus menangani lebih dari 300 kasus.
Mengingat itu, Mabes Polri kemudian menyusun konsep perpolisian masyarakat yang lantas dikukuhkan oleh Skep Kapolri nomor 737/X/2005 tertanggal 13 Oktober 2005. Singkatnya, konsep tersebut menjadikan masyarakat sebagai polisi bagi diri sendiri. ''Intinya, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan untuk mengamankan lingkungannya sendiri,'' kata Kapolwiltabes Surabaya Kombes Pol Ronny Franky Sompie.
Karena itu, sejak 2006, polisi melakukan pembenahan internal dan melatih personelnya agar mengerti konsep polmas. Mereka juga harus ''memprovokasi'' masyarakatnya. Sebab, konsep polmas masih ngawang-awang. Dari, situ lahirlah bentuk konkret polmas, yakni Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM).
FKPM adalah wadah bagi sejumlah warga untuk bisa mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah keamanan lingkungannya sendiri. Sebagai penguat, setiap FKPM di-back up oleh seorang bintara pembina keamanan dan ketertiban masyarakat (babinkamtibmas).
Supaya "gigi"-nya lebih kuat, FKPM pun diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah pidana ringan yang lebih cenderung ke masalah sosial. Misalnya, KDRT ringan, penganiayaan ringan, hingga ke pencurian ringan. ''Harapannya, tidak semua kasus ringan yang seharusnya bisa berakhir damai harus diproses polisi. Selain tidak efektif, juga membuat beban kerja kami menjadi sangat tinggi,'' urai orang nomor satu di jajaran kepolisian Surabaya tersebut.
Supaya lebih efektif penetrasinya ke dalam masyarakat, polisi membagi dua jenis FKPM. Yakni, FKPM wilayah dan FKPM kawasan. FKPM wilayah adalah FKPM berdasar letak geografis. Misalnya, FKPM Peneleh dan Nirwana Eksekutif. FKPM kawasan dibagi berdasar aspek demografis, seperti FKPM pelabuhan dan FKPM terminal.
Di Surabaya, polisi mengklaim indikasinya positif. Dalam waktu tiga tahun, telah terbentuk 1.883 FKPM. Menurut juru bicara Polwiltabes Surabaya AKBP Sri Setyo Rahayu, data dan faktanya telah berbicara apa adanya. ''Kami telah berupaya keras untuk itu dan hasilnya telah mulai terlihat,'' kata perwira yang juga menjabat Kabag Binamitra Polwiltabes Surabaya itu.
***
Namun, menyebut Surabaya adalah salah satu kota dengan keberhasilan FKPM tinggi masih harus dilakukan dengan helaan napas tertahan. Jawa Pos mengamati, jumlah FKPM yang mewarnai kehidupan warganya masih relatif sedikit. Meski polisi mengklaim bahwa di antara 1.883 FKPM itu, yang aktif telah mencapai 75 persen. Namun, secara umum, FKPM boleh dibilang belum terlalu mewarnai Surabaya.
Selain itu, yang aktif pun belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Misalnya, kata Nuri Effendi, pegiat FKPM RW IX Medokan Ayu. Secara terbuka, Nuri menyebut sering warga menganggap FKPM adalah mata-mata polisi. ''Beberapa kali, saya dianggap sebagai SP (spion, Red) polisi,'' akunya saat dialog dengan Kapolda Jatim Irjen Pol Anton Bachrul Alam di Medokan Ayu Jumat malam lalu (26/6).
Nuri juga mengeluhkan FKPM yang kurang "bergigi". ''Sering diremehkan oleh warga sendiri. Misalnya, ada warga mengurus izin keramaian. Ternyata dangdutan. Saya sendiri saja tidak tahu. Ketika saya menegur, saya malah dikatain 'Yok opo iki, FKPM kok malah gak ngerti','' ucapnya.
Belum lagi soalnya tidak selalu harmonisnya kemitraan polisi-masyarakat. Nuri mengatakan, beberapa kali masuk kantor polisi, dirinya malah dibentak oleh yang jaga. ''Bagaimana mau bermitra kalau ketemu saja sulit,'' keluhnya.
Juga ada masalah tentang personel. Dari sekitar 485 babinkamtibmas di jajaran Polwiltabes Surabaya, tidak lebih dari 50 personel yang telah mendapatkan pelatihan soal polmas. Kendalanya klasik, yakni cekaknya dana pengembangan SDM untuk polmas. Dengan begitu, tiap tahun, personel yang dilatih pun juga sangat terbatas.
Bahkan, di FKPM yang tergolong aktif pun, pengertian FKPM antara polisi dan masyarakat pun agak berbeda. Ada warga yang mengira dengan aktif di FKPM dirinya bisa mendapatkan gaji.
Anton tidak menampik indikasi-indikasi tersebut. ''Bila ada sejumlah indikasi mengenai kurang maksimalnya akselerasi polmas, itu cukup wajar. Program ini baru berjalan tiga tahun. Memang wajar ada kebingungan-kebingungan di lapangan. Tapi, itu tak boleh membuat patah semangat. Lambat laun pasti akan teratasi,'' kata jenderal polisi bintang dua tersebut. Anton menambahkan, keyakinannya tersebut didasarkan pada hasil. ''Karena yang diuntungkan adalah masyarakat sendiri. Bila ini berjalan baik, yang paling menikmati hasilnya adalah warga sendiri,'' tambahnya.
Khusus untuk tidak selalu selarasnya kemitraan antara polisi-masyarakat, Anton memberikan atensinya. ''Baik, Pak Nuri. Bila sampeyan masuk ke kantor polisi masih dibentak-bentak, silakan laporkan saya. Baik melalui telepon atau SMS. Akan saya beri tindakan khusus,'' kata Anton, kemudian menyebutkan nomor telepon genggamnya.
Kendati sudah banyak indikasi positif terkait perkembangannya, polisi masih harus bekerja sangat keras untuk meyakinkan masyarakat menjadi polisi bagi dirinya sendiri. Jangan sampai konsep yang amat menjanjikan itu berakhir tak tentu arah dan hanya menjadi ajang kumpul-kumpul segelintir warga belaka. (ano/dos)
Sumber: Jawa Pos
Tidak ada komentar:
Posting Komentar