Kamis, 28 Mei 2009

Artikel Hutan Mangrove Wonorejo dari Jawa Pos

[ Kamis, 28 Mei 2009 ]
Hutan Mangrove Wonorejo, Ikon Baru Tamasya Surabaya

Rangkul Karang Taruna, Bikin Bandeng Jadi Wisata Kuliner



Tidak lama lagi Surabaya menambah tempat wisata alam baru. Tempatnya di kawasan pantai mangrove (bakau), timur Surabaya. Wawali Arif Afandi menyebutnya Wisata Safari Mangrove. Jika itu terwujud, image Surabaya yang disebut tak punya potensi wisata alam bisa pupus.

GUNAWAN SUTANTO

---

''REKREASI'' bareng Wawali Arif Afandi itu dilakukan Minggu pagi (24/5). Dia bersama puluhan Pramuka Penegak Surabaya menanam mangrove di Boezem Wonorejo. Saat itu juga Arif menyempatkan menyisir pantai timur Surabaya untuk melihat konservasi bakau di kawasan tersebut.

Arif lantas berhenti di pos pantau mangrove. Di sana dia dijamu beberapa kuliner khas warga setempat. Salah satunya adalah bandeng. Merasakan kondisi tempat dan perjalanan yang mengasyikkan, Arif langsung menggagas konservasi mangrove itu sebagai tujuan wisata baru di Surabaya. Dia menyebutnya Wisata Safari Mangrove.

Untuk bisa berwisata safari mangrove, sebenarnya cukup mudah. Setidaknya perlu waktu sekitar 10 menit dari Jembatan MERR II C (Middle East Ring Road) sampai jalan masuk boezem. Rutenya, lewat Jalan Kedung Baruk, menuju Jalan Wonorejo Timur, mengikuti setren Kali Jagir.

Sampai ujung Jalan Wonorejo Timur, terdapat tanda Menuju Boezem Wonorejo. Tanda itu menunjuk ke arah kanan. Perlu sekitar 5 menit lagi untuk sampai bisa ke boezem melalui jalanan makadam.

Dari boezem itu biasanya terdapat perahu nelayan yang bisa mengantarkan pengunjung menyusuri hutan mangrove sampai pusat konservasi yang dinamakan Pusat Energy Mangrove. Di tempat itulah Kecamatan Rungkut membangun sebuah pos pantau yang cukup menarik. Rumah panggung itu dibuat dari bambu yang dirakit.

''Harus dibuat seperti rumah panggung. Sebab, jika laut pasang, air tidak masuk ke pos,'' ujar Camat Rungkut Irvan Widyanto yang mendampingi Jawa Pos menyusuri pos pantau, Minggu itu. Pos pantau tersebut rencananya menjadi pusat rekreasi safari mangrove.

Nuansanya memang cukup mengasyikkan. Pada waktu tertentu disediakan perahu karet maupun perahu motor dari Boezem Wonorejo menuju Pusat Energy Mangrove. Namun, jika tidak ada perahu karet, masih ada perahu nelayan warga setempat. Jika menggunakan transportasi air, dari boezem butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke lokasi tersebut.

Menurut Irvan, jarak boezem hingga pusat energi sekitar 3 kilometer. ''Jika tidak hujan, bisa juga ditempuh dengan sepeda motor. Harus muter dulu kalau pakai motor, jadi agak lama. Jaraknya mencapai 5 kilometer," terang Irvan.

Berwisata ke hutan mangrove lebih menarik jika dilakukan pagi hingga siang. Sebab, saat-saat itulah biasanya air laut sedang pasang. Saat air laut pasang, ombak di sekitar Sungai Wonokromo pun cukup besar, sehingga mampu menggoyang-goyangkan perahu. Menurut Irvan, selama ini selalu disediakan rompi pelampung bagi orang yang ingin menyusuri kawasan tersebut.

Jika perjalanan dilakukan menggunakan perahu, pengunjung bisa menyusuri hutan mangrove hingga pantai timur Surabaya. Kalau beruntung, misalnya tidak ada kabut, pengunjung bisa melihat bentangan Jembatan Suramadu di arah utara.

Nah, kalau mandek di pos pantau, pengunjung bisa tidur-tiduran di lantai bambu, dibelai semilir angin laut. Di tempat itu juga bisa dibaca beberapa informasi tentang ekosistem di sekitar hutan tersebut.

Mantan lurah Ampel itu menjelaskan, saat ini dirinya sedang mematangkan konsep Wisata Safari Mangrove. Irvan berjanji melibatkan warganya sepenuhnya untuk konsep Wisata Safari Mangrove. Saat ini, dia menyiapkan karang taruna di wilayah Kelurahan Wonorejo sebagai guide. ''Kami sedang cari trainer-nya. Jadi, mereka akan mendampingi pengunjung,'' ungkapnya.

Kecamatan juga sedang melakukan sosialisasi kepada nelayan yang tinggal di sekitar Wonorejo. Tujuannya, warga bersedia menjadi penyedia transportasi bagi wisatawan. ''Jadi, semua memberdayakan warga sekitar,'' tegasnya.

Bahkan, pemilik tambak di sekitar pos pantau sedang dijajaki untuk diajak menjadi penyedia wisata kuliner.

Irvan mengungkapkan, salah satu kuliner khas masyarakat sekitar adalah bandeng lumpur. Cara memasaknya, bandeng dimatangkan dengan bakaran lumpur di sekitar tambak.

Soal pos pantau itu, kata dia, ceritanya cukup unik. Sekitar 2006, terjadi pembalakan mangrove di wilayah Wonorejo. Ternyata, pembalakan itu dilakukan warga Wonorejo sendiri. Namanya Fathoni. ''Pak Fathoni itu merupakan tersangka sekaligus pahlawan,'' ujar Ridwan Mubarun, sekretaris Kecamatan Rungkut.

Menurut dia, akibat ulah Fathoni tersebut, ekosistem mangrove yang terancam mulai menjadi perhatian orang. ''Banyak yang menggalakkan penanaman kembali,'' jelas Ridwan. Perhatian pemkot, swasta, masyarakat, LSM, dan akademisi mulai berdatangan.

Untuk membalas rasa bersalahnya, Fathoni waktu itu merelakan tambak bandengnya ditanami mangrove. Hingga sekarang, sekitar 15 hektare lahan sudah ditanami mangrove. Karena itu, kecamatan dan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat berinisiatif membangun pos pantau. ''Sebab, kami merasa wajib mengawasi dan memelihara mangrove yang ditanam beberapa pihak itu,'' lanjut Irvan.

Sebelum dicetuskan Wawali sebagai tempat wisata baru, beberapa orang di luar Surabaya sudah berdatangan ke lokasi tersebut. Irvan menuturkan, hutan mangrove tersebut pernah diteliti oleh ilmuwan dari Jerman. Selain itu, Yayasan Kutilang pernah melakukan penelitian di lokasi tersebut.

Hasilnya, ternyata ada sekitar 144 jenis burung yang hanya terdapat di sekitar wilayah konservasi mangrove Wonorejo. ''Berarti benar layak jadi tempat wisata,'' ujarnya bangga. Dia menambahkan, berkat pengelolaan hutan mangrove itulah Kelurahan Wonorejo menjadi juara I kelurahan berhasil se-Surabaya. (*/dos)

Sumber: jawapos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar