Selasa, 22 Desember 2009

Artikel dari Unesa.ac.id

KENALKAN BATIK SERU KEKANCAH INTERNASIONAL


[ 22 Desember 2009 ]

LULUK SRI YULIANI (ALUMNI UNESA)

Senin (26/10) di Gramedia Expo Lulut memajang hasil kreasinya batik khas Suroboyo yang lebih dikenal dengan sebutan batik Seru, yakni batik yang berasal dari sisa limbah mangrove. Bahan dasar batik ini memiliki makna tersendiri yaitu sebuah gerakan sosial cinta lingkungan melalui batik. Inovasi batik berjajar di antara puluhan batik lain yang berasal dari kota-kota di Jawa Timur.

Penamaan batik Seru berasal dari kependekan kata ”Seni Batik Mangrove Rungkut Surabaya”. Selain kependekan dari frasa Seni batik Mangrove Rungkut Surabaya, nama itu saya anggap mudah diingat dan lagi pembuatan ini menggambarkan bahwa batik adalah karya seni yang seru,” ungkap Lulut yang pernah bercita-cita sebagai biarawati. Berawal dari kekhawatiran dan empati yang besar terhadap lingkungan, Lulut berupaya menjaga kelestarian lingkungan mulai dari dirinya.

Batik Seru ini memang ekslusif karena dibuat hanya berdasarkan pesanan para pelanggannya. Para pelanggannya itu kebanyakan berasal dari kalangan atas. Harganya yang ditawarkan berkisar antara enam ratus ribu hingga satu juta rupiah. Harga ini memang sepadan dengan proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan waktu satu bulan. Harga tersebut diprediksi akan mengalami kenaikan pada awal 2010 karena Batik Seru mulai memasuki pangsa pasar internasional. Awal 2010 nanti, Bambang D.H., mengajak Lulut yang juga alumnus bahasa Jawa Unesa ini ke Kanada dan Amerika Serikat untuk mempromosikan Batik Seru sebagai batik khas Surabaya. Selain itu, di dua negara besar itu, Lulut akan mendemonstrasikan kepiawaiannya dalam melukis batik.
Lulut memang patut diteladani sebagai perempuan teladan yang mampu berjuang mengentaskan kemiskinan melalui batik dengan berbagi ilmu dan pengalaman kepada warga Rungkut Surabaya. Saat ini telah ada enam puluh orang yang sudah mendapat penyuluhan di bawah binaannya. Berdasarkan ide kreatif dan cerdasnya, limbah mangrove itu ternyata tidak hanya dibudidayakan menjadi bahan pembuatan batik. Produk lain yang juga dihasilkannya adalah limun, sabun khusus untuk perawatan batik, dan pencuci tangan.

Tak hanya itu, pengabdian kepada masyarakat yang telah ditasbihkan semenjak ia sembuh dari lumpuh adalah pembinaan pengembangan potensi anak. Aktivitas rutin yang dilakukan di Wisma Kedung Asem Indah, RT 7/RW 5 Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut tersebut adalah membina anak-anak sekolah dasar hingga pendidikan tinggi yang tergabung dalam kelompok Seni Batik Animasi Anak (Sitania). Kelompok binaan ini, dipimpin Nadia Chirssanty Halim, putri Lulut yang berusia 11 tahun. Dalam kegiatan-kegiatannya Lulut akan dibantu oleh Sos Comunity dan beberapa tim perusahaan terkenal.

”Saya sangat cinta dengan batik. Seni membatik merupakan karya seni dan ilmu pengetahuan yang wajib disalurkan kepada orang lain agar masyarakat dapat kreatif sekaligus mengentaskan kemiskinan,” ungkap Lulut menutup wawancara dengan reporter Humas Unesa.

[Humas_Wahyu/Lucky]
http://www.unesa.ac.id/unesa.php?s=berita&xkd=209

Sabtu, 19 Desember 2009

Artikel dari Erabaru.net

Pemberdayaan Mangrove



Epoch Times Sabtu, 19 Desember 2009

alt

SURABAYA - Minggu, 13 Desember kemarin, radio Suara Surabaya, Pemkot Surabaya, Sampoerna untuk Indonesia, mahasiswa dari beberapa universitas di Surabaya dan komunitas pecinta lingkungan mengadakan acara yang bertujuan untuk membersihkan dan menanam mangrove dengan mengambil lokasi di hutan mangrove Wonorejo Surabaya.

Dalam acara tersebut para peserta diminta untuk menyatakan kesediaannya dalam kegiatan penanaman bibit mangrove dan pembersihan sampah di kawasan konservasi hutan mangrove Wonorejo Surabaya. Bersedia menjaga dan mengawasi kelangsungan hidup mangrove beserta ekosistemnya. Memberikan bantuan untuk disumbangkan bagi pengembangan kawasan tersebut.

Dalam kesempatan ini pula, bapak Muchson atau yang lebih sering disapa Soni pelopor pemberdayaan tanaman mangrove, menunjukkan beberapa hasil pangan olahan dari buah Bogem, salah satu jenis dari tanaman mangrove. Pangan tersebut antara lain dodol, sirup, permen dan masih beberapa lagi. Dari jenis bakau lain bahkan ada yang dapat menjadi bahan pengganti beras, dijadikan tepung, garam dan cendol.

“Saya sejak 1998 sudah mulai melakukan pembersihan, pengamatan, meneliti dan mencoba mengolah buah hasil tanaman mangrove ini. Saya mencoba untuk menjadikannya panganan. Seperti sirup, dodol dan permen. Sampai saat ini pemasarannya cukup baik dan mulai banyak dikenal masyarakat. Selain itu yang terpenting kami berusaha terus untuk menjadikan daerah konversi ini terbebas dari pencemaran atau sampah, serta memberdayakan untuk kesejahteraan terutama masyarakat sekitar konversi.”

Dari kelompok lain ibu Lulut merupakan kelompok pemberdayaan perempuan, yang memanfaatkan limbah-limbah dari bahan olahan yang dimanfaatkan kelompok pak Soni. Antara lain memanfaatkan daun, akar, kulit buah dan buah yang masih muda sebagai bahan pewarna kain. Yang tepatnya untuk bahan pewarna batik, dikenal sebagai batik mangrove.

“Saya berawal dari pemerhati lingkungan, saya mulai mencoba untuk berusaha memanfaatkan juga limbah mangrove yang ada. Selain itu kami berusaha mengolah bahan-bahan yang ada untuk sabun cuci, ragi tempe, krupuk ikan, minuman, snack dan pewarna batik.”

Kegiatan yang dimotori oleh radio SS ini menurut Errol Jonathans, Operational Director SS, merupakan salah satu kepedualiannya pada hal-hal yang kurang mendapat perhatian dari khalayak. Diharapkan dengan mengangkat masalah ini, dapat menarik perhatian yang lebih luas. Masyarakat lebih peduli dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.

“Kami berusaha mengangkat hal-hal yang kurang diminati oleh masyarakat padahal ini masalah sangat penting bagi lingkungan. Seperti dengan adanya kegiatan ini maka sebagai media kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya.” (ET_Sby/Amelia)


Sumber: erabaru.net

Rabu, 02 Desember 2009

Rekam Jejak Polmas; Dari Gagasan Menuju Perubahan

Tokoh masyarakat Cirebon dan Kepolisian Cirebon sedang mendiskusikan  penanganan kasus trafiking yang terjadi di Cirebon beberapa waktu yang lalu.Sistem perpolisian Jepang, misalnya, muncul dari konteks budaya samurai, satu sistem yang sangat militeristik. Jepang memulai community oriented policing dengan sistem koban dan chuzaicho di masa Meiji, sekitar 110 tahun yang lalu. Kata koban dalam bahasa Jepang berarti sebuah “kotak terbuka”. Koban adalah sebuah “kotak polisi” atau “pos polisi” yang terbuka selama 24 jam untuk melindungi masyarakat. Kata yang secara harfiah berarti “terbuka”, itu juga mengandung makna bahwa pos polisi tersebut digunakan sebagai “tukar pendapat secara bebas” antara polisi dengan masyarakat. Bentuk lain dari Koban di daerah pedesaan adalah chuzaiso, yaitu sebuah pos polisi yang dihuni.

Chuzaiso berarti “tinggal di sana”. Ini adalah pos polisi di daerah pedesaan yang “terbuka”, dalam arti bahwa seorang petugas polisi ada di sana, di tengah masyarakat selama 24 jam. Di bagian depan ada ruang kantor untuk polisi dan di bagian belakang ada kamar-kamar untuk tempat tinggal. Kedua jenis pos polisi ini (koban dan chusaizo) melakukan kegiatan yang sama, yaitu perpolisian dengan pelayanan penuh kepada masyarakat.

Di negara Barat, model community oriented policing muncul karena kepolisian menyadari bahwa sebagian besar upaya mereka untuk “memerangi kejahatan” tidaklah efektif. Model patroli preventif, reaksi cepat terhadap tindak kejahatan, dan kegiatan tindak lanjut investigasi kriminal di polisi “tradisional” diteliti dan didapati bahwa kegiatan-kegiatan polisi tradisional semacam itu diperlukan, tetapi kalau hanya hal-hal tersebut yang dilakukan ternyata tidaklah cukup efektif untuk memerangi kejahatan. Lebih jauh lagi, penggunaan teknologi tinggi untuk memerangi kejahatan, merupakan hal yang membantu dan penting. Tetapi tidaklah cukup dengan itu saja, karena anggaran dan sumberdaya kepolisian seringkali tidak cukup untuk mendukung penggunaan “teknologi tinggi”, guna memerangi kejahatan.

Lalu bagaimana dengan konsep community oriented policing di negeri ini? Konsep community oriented policing Polisi Republik Indonesia (Polri), juga disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Indonesia serta dengan cara dan dengan nama Indonesia. Tanpa mengenyampingkan kemungkinan penggunaan penerjemahan istilah yang berbeda terutama bagi keperluan akademis, secara formal oleh jajaran Polri, model tersebut diberi nama “Perpolisian Masyarakat”. Selanjutnya, secara konseptual dan operasional disebut “Polmas”.

Kamtibmas, Tanggung Jawab Masyarakat

Polmas dalam penyelenggaraan tugas Polri adalah sebagai filosofi, kebijakan dan strategi organisasional yang mendorong terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi. Di sini polisi dan masyarakat bekerja sama sebagai mitra untuk mengidentifikasi, menentukan skala prioritas dan memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, seperti tindak kejahatan, narkoba, ketakutan akan tindak kejahatan, ketidaktertiban sosial dan ketidaktertiban fisik, dan kekurangan/persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayah di mana Polmas diterapkan. Polmas menuntut adanya komitmen dari keseluruhan jajaran organisasi kepolisian pada filosofi Polmas.

Kini, pemikiran Polmas terus dikembangkan oleh banyak pihak termasuk di Indonesia. Asumsi dari perpolisian masyarakat yaitu, pertama keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah tanggung jawab masyarakat. Kedua, adanya institusi polisi tidak menghilangkan tanggung jawab masyarakat terhadap pemeliharaan kamtibmas, dan ketiga perlu kemitraan polisi dengan warga dalam pemolisian dan pemecahan masalah warga, terutama pada masalah-masalah sosial.

Dari berbagai literatur yang ada maupun penyimpulan yang dikemukakan dalam Skep Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 tentang penyelenggraan Polmas, maka pengertian yang ada bisa disimpulkan pada tiga poin utama, yaitu membangun kemitraan dengan masyarakat, melakukan pemecahan masalah, dan perubahan internal polisi yaitu sikap pro aktif polisi sendiri dalam memberikan dukungan bagi keberhasilan Polmas. Berdasarkan Skep Kapolri prinsip-prinsip Polmas adalah, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi dan kesetaraan, personalisasi, penugasan permanen, serta desentralisasi dan otonomisasi.

Memang selama ini kita telah mengenal program Kamtibmas semacam Siskamling dan Pamswakarsa. Begitu juga dengan terbentuknya Babinkamtibmas, yang meniru model Babinsanya TNI, namun sepertinya tidak cocok lagi di era sekarang. Karena tujuannya adalah hanya membuat masyarakat yang “patuh” pada aturan-aturan Kamtibmas, bukan masyarakat yang “sadar” akan pentingnya Kamtibmas.

Pada awalnya, pengertian Polmas belum menjadi kesepakatan bersama. Para pakar, instansi pemerintah maupun Polri sendiri, masih menafsirkan pengertian dan konsep Polmas sendiri-sendiri sehingga sangat membingungkan bagi anggota di lapangan. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun setelah dikeluarkan Surat Keputusan (Skep) Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas).

Dengan berbekal Skep tersebut, Bagian Bina Mitra menjadi ujung tombak kemitraan dengan masyarakat. Polri di tingkat Polres, merancang dan mendesain kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat, secara kewilayahan maupun sektoral. Terbentuknya sejumlah Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak melulu dalam soal Kamtibmas, tetapi dalam isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, tidak mesti melembaga bernama FKPM, tetapi bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada, semisal Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, warga siaga dan lain sebagainya.

Dalam hal inilah pentingnya program Polmas atau dulu dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan sesuai yang diamanatkan dalam Tap MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Kedudukan TNI dan Polri. Berdasarkan dua TAP MPR tersebut Polri telah dinyatakan terpisah dari TNI. Diperkuat dengan keluarnya Keppres No 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Polri yang menyatakan Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden. Diperkuat juga UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia.

Deteksi Dini

Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara mengubah paradigma dari menitik-beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial (Sutanto, 2006). Polmas merupakan jalan untuk menuju kepolisian sipil, yaitu cara bertindak polisi yang humanis, mengedepankan hak asasi manusia, dan selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dalam rangka implementasi Polmas, salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh petugas Polmas adalah kemampuan deteksi dini.

Kemampuan deteksi dini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan bahan keterangan atau informasi, agar bisa dipergunakan oleh pimpinan dalam proses pengambilan keputusan. Tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh petugas Polmas hanyalah pelaksana fungsi intelijen terbatas, yaitu melakukan deteksi, identifikasi, dan analisis terhadap gejala awal suatu kegiatan yang belum terjadi seiring dengan dinamika dan perubahan masyarakat.

Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi dini oleh petugas polmas dan masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam situasi seperti sekarang ini. Karena petugas Polmas akan bisa secara intensif berfungsi melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap dinamika dan perubahan masyarakat yang meliputi aspek statis dan dinamis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk bisa menemukan gejala awal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan baik dari sumber terbuka maupun tertutup. Deteksi dini menjadi sangat penting karena informasi awal akan adanya peluang konflik apabila tidak dihambat bisa menimbulkan gangguan keamanan.

Menciptakan Rasa Aman

Dalam rangka melakukan antisipasi untuk mengatasi konflik melalui deteksi dini, maka yang dilakukan Polri adalah melakukan tindakan proaktif. Hal ini dilakukan agar potensi-potensi yang ada dalam setiap komunitas diaktifkan sebagai mitra polisi dalam menciptakan rasa aman pada setiap warga dan kehidupan sosial. Kegiatan ini selanjutnya dapat digunakan untuk mendorong terciptanya kegiatan-kegiatan kondusif bagi produktivitas masyarakat. Jika melihat proses ini, maka akan tampak adanya keterkaitan antara implementasi Polmas dalam upaya mengatasi konflik. Terdapat tiga pilar dalam Polmas yaitu kesetaraan (partnership), pemecahan masalah (problem solving) dan pro aktif.

Optimalisasi deteksi dini menunjukkan tiga hal tersebut, yaitu melalui informasi yang diperoleh petugas Polmas akan ditindak lanjuti dengan sikap pro aktif polisi untuk mengaktifkan potensi pada tingkat lokal. Potensi tersebut akan menimbulkan partisipasi masyarakat untuk mau menjadi mitra Polri yang merupakan partnership. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah dalam hal mengatasi konflik, bagian proses ini merupakan bentuk dari problem solving. Deteksi dini diperlukan agar apabila ada potensi konflik berupa penolakan atas perbedaan, bisa diantisipasi sebelumnya. Antisipasi ini akan merupakan kebijakan atau kegiatan oleh Polri untuk menciptakan situasi kondusif dalam kerangka Kamtibmas. (disarikan dari berbagai sumber)


(Tulisan ini dimuat dalam Buletin Blakasuta Edisi 24 bulan Oktober atau di sini)

Senin, 23 November 2009

Artikel dari jawa Pos Edisi November 2009

Lurah Wonorejo Hastiadi Terinspirasi Kembangkan Wilayah setelah Belajar dari Tiongkok

Promosi Wisata Hutan Mangrove, Ajak RW Kunjungan Tiap Minggu


Lurah Wonorejo Hastiadi kini sedang bersemangat mengembangkan hutan mangrove di wilayahnya menjadi daerah wisata. Dia menyatakan banyak mendapatkan inspirasi baru setelah menimba ilmu dari Tiongkok. Seperti apa?
ASTANTO AL BUDIMAN, Wonorejo

---

HASTIADI ditunjuk mewakili lurah se-Surabaya untuk mengikuti seminar World Oceans Weeks (WOW) di Tiongkok pada 5-10 November lalu. Dia dipilih setelah menjadi juara pertama lomba Kelurahan Berhasil Tingkat Kota Surabaya pada Agustus lalu. Dia datang bersama Kepala Dinas Pertanian Pemkot Samsul Arifin. ''Ini anugerah sekaligus amanah agar membawa manfaat bagi Kelurahan Wonorejo,'' katanya.

Seminar itu memang memberikan semangat baru bagi Hastiadi untuk memaksimalkan potensi hutan mangrove di wilayahnya.

Seminar WOW adalah pertemuan rutin yang diselenggarakan oleh pemerintah Tiongkok. Pertemuan itu membahas tentang bagaimana memanfaatkan potensi kelautan di masing-masing negara. Dalam subtopik, dibahas tentang potensi hutan mangrove. Lebih dari 15 negara menjadi peserta workshop. Mereka, antara lain, Filipina, Myanmar, Malaysia, Etiopia, dan Amerika Serikat.

Hastiadi mengungkapkan memperoleh banyak pengalaman berharga setelah mengikuti seminar itu. Dia kini mengetahui, banyak negara yang memiliki mangrove, namun tidak dirawat. Misalnya, Ghana, Nigeria, dan Filipina. Tiga negara itu malah menggusur hutan mangrove untuk dijadikan gedung-gedung bertingkat. ''Mereka baru menyadari pentingnya melestarikan hutan mangrove dan menjaga ekosistem pantai,'' ujarnya. Sementara itu, di Wonorejo, hutan mangrove ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Dalam acara yang diadakan di Kota Xiamen tersebut, Hastiadi juga mengunjungi beberapa tempat wisata kawasan pantai. Dia menjelaskan, pantai di sana menjadi jujukan wisata bagi warga sekitar sekalipun tidak banyak fasilitas yang disediakan. Yang ada di kawasan itu hanyalah bicycle track di sepanjang pantai dan jalur pedestrian untuk berolahraga. Sedangkan pembatas pantai yang dipasang untuk menahan ombak menggunakan bongkahan-bongkahan bekas bangunan. ''Yang patut diacungi jempol adalah kebersihan pantai dan fasilitas umum di sana,'' imbuh suami Umi Rachmawati itu.

Terinspirasi dari kunjungan tersebut, dia ingin memanfaatkan potensi alam di Kelurahan Wonorejo. ''Hutan mangrove di Wonorejo punya lebih banyak potensi keberagaman yang bisa dijual untuk pariwisata,'' ujarnya.

Bapak dua anak itu lantas membeberkan potensi alam di hutan mangrove Wonorejo. Selain bisa menikmati keindahan alam, pengunjung hutan mangrove Wonorejo bisa bermain-main dengan kerang dan aneka ikan. Kelurahan Wonorejo, menurut Hastiadi, memiliki flora dan fauna tersendiri yang tidak dimiliki wilayah lain di Surabaya. ''Orang bisa melihat hewan nyambik, monyet, hingga buaya,'' ujarnya, seperti berpromosi.

Kelurahan Wonorejo juga memanfaatkan mangrove menjadi produk-produk yang memiliki nilai jual. Mulai batik mangrove, jenang mangrove, hingga tempe dan krupuk mangrove. ''Unit usaha kecil dari warga ini nanti bisa menjadi ikon untuk oleh-oleh,'' tuturnya.

Setelah mengikuti seminar tersebut, lurah kelahiran 4 Oktober 1963 itu meminta perangkat kelurahan -RT, RW, dan lainnya- rajin mengunjungi hutan mangrove bersama warga setempat. ''Saya ingin semua warga Wonorejo tahu potensi alam kita,'' tandasnya. Waktu kunjungan disepakati pada Sabtu atau Minggu. Karena perahu hanya sebuah, Hastiadi membagi kunjungan menjadi per RW. ''Tiap kunjungan maksimal diikuti 40 orang,'' terangnya.

Hastiadi menjelaskan, dalam waktu dekat, pemkot akan membangun jalur bicycle track di Wonorejo. Panjangnya sekitar 25 kilometer. Mulai Boezem Wonorejo, Medokan, hingga Gununganyar Tambak. ''Tunggu tanggal peresmiannya saja,'' ujarnya. ''Mohon dukungan dari pemerintah kota dan provinsi, agar nanti hutan mangrove Wonorejo bisa menjadi ekowisata di Surabaya,'' imbuh Hastiadi.

Taken from Jawapos, Nov 23, 2009

Rabu, 11 November 2009

Artikel dari Blog Lombok

Dimakan Monyet, Diminum Orang



Penemuan sirup bogem dari bakau jenis Soneratea alba oleh Mochson benar-benar mengejutkan semua orang. Selama ini mangrove hanya dikenal sebagai tanaman penjaga daratan dari abrasi. Namun di tangan Soni, panggilan Mochson, hutan mangrove bisa diminum.

Soni mengaku prihatin pada buah bogem yang hanya terbuang percuma, selain dimanfaatkan untuk reboisasi. Buahnya yang jatuh hanya dibuat main lempar-lemparan oleh anak-anak.

Warga sekitar juga enggan terus-terusan ngerujak buah bogem karena rasanya yang sangat masam. Malah cenderung pahit saking masamnya.

Lama merenung sambil memandangi hutan mangrove, ia melihat sekumpulan kera di rerimbunan hutan mangrove. Awalnya Soni mengira primata-primata itu hanya bercengkrama saja. "Setelah saya amati, kok ada yang memakan buah bogem." katanya.

Soni bersimpulan buah bogem aman dikonsumsi. Rasa penasarannya membuat kakek satu cucu ini mencari informasi tentang pemanfaatan buah Soneratea alba. "Bogem ternyata dimakan juga oleh orang Kalimantan dan Bali. Ada yang dibuat rujak." tuturnya.

Ia ingin membuat sesuatu yang berbeda dari pemanfaatan bogem. Kalau dibuat rujak, tentu sudah biasa. Lalu dimulailah sejumlah eksperimen dengan buah eksotis ini. Membuat sari buah atau jus pernah dicobanya. Menurut Soni, rasanya segar. sayangnya jus tidak mampu bertahan lama.

Dasar penjuang, semangat Soni tidak patah. Ia lalu mencoba mengolah buah bogem jadi sirup. Hasilnya luar biasa. Rasa masam dan manis bersekutu di lidah membuat kerongkongan segar begitu dialiri hutan cair ini. Aroma mangrove yang khas dengan rasanya yang berani, sangat cocok untuk iklim tropis. "Ini oleh-oleh khas Surabaya." klaim Soni.

Kini pemanfaatan buah bogem tidak hanya untuk sirup saja. Dua produk olahan lain telah dihasilkan Soni. Antara lain jenang atau dodol bogem, dan cuka bogem. Jenang bogem bernuansa masam dan sepat yang menghiasi rasa manis jenang. Bagi yang suka pengalaman baru, ada baiknya mencicipi jenang khas Surabaya ini.

Sumber: Blog Lombok

Jumat, 06 November 2009

Article batik motif mangrove from KOMPAS

Mangrove Batik, Eco-batik from Surabaya
| 6 November 2009 | 05:30

Lulut Sri Yuliani and Mangrove batik (Kompas/Nina Susilo)

Lulut Sri Yuliani and Mangrove batik (Kompas/Nina Susilo)

On October 2, 2009, Indonesian rejoiced from the UNESCO’s acknowledgment on Indonesian batik as a Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity. As addition to this designation, UNESCO insisted that Indonesia preserve their heritage. While Indonesian fashion designers compete in creating batik trends, an environmentalist from Surabaya preserves batik by promoting new, eco-friendly batik.

She is Lulut Sri Yuliani, an eco-activist who concerns on preservation of mangrove forest and the community living around it. Starting from her dream of making her own garden look greener, mother of Nadia Chrissanty Halim was appointed chairperson of Environment Care Forum of Rungkut Sub-district, Surabaya.

After an intimate introduction with mangrove, she began to look after the best solution for preserving mangrove as well as creating its sustainable community. The first solution was Sirvega, liquid soap made of Toga mangrove. She claimed that the soap specially made for washing batik cloths is eco-friendly as made of mangrove from species Jijibus jujuba and two other plant species.

Eventually, mangrove forest gives her brilliant ideas. As former art teacher, she applied her artistry into her latest concern to create Mangrove batik. Leaves, flower, fruit, and other parts of mangrove tree as well as organisms living on the environment become her main inspiration. The result, there are 44 pattern designs of mangrove batik she has created this year.

Each pattern is specifically titled according to both local and latin names of mangrove species it resembled. Pattern of Tanjang putih, for example, is depicting mangrove growth that resembles the species Bruguiera cylindrica of the family Rhizophoraceae. In Mange kasihan pattern, a tree featuring the species Aegicera floridum from the family Myrsinaceae is delicately design with figures of crab, fish, dan shrimph as its decorations.

Apart from the pattern, This new batik style also uses various parts of mangrove tree on its process of production. In coloring process, a mixture made of fruit and flower of Bruguiera gymnorrhiza is used to create red. Shade of yellow is taken from mixture of Turmeric (Curcuma longa) and Calophyllum inophyllum, locally called nyamplung.

As a handmade and eco-friendly art, Mangrove batik has its own exclusive value. Developed within a society with very fluid, flexible art value, each piece of mangrove batik has its own perfection as well as human flaw. Each of 60 batik artists on the society work freely in applying patterns and their combinations. The most important value lies on its eco-friendly processing method. What makes it more special is that it takes a month to make a piece of mangrove batik, three weeks longer than chemically processed batik.


Source: KOMPAS

Kamis, 05 November 2009

Artikel tentang Batik motif mangrove di Kompas

Lulut Sri Yuliani dan Batik Mangrove



KOMPAS/NINA SUSILO
Lulut Sri Yuliani

Oleh Nina Susilo

”Daunnya jangan dibuang,” kata Lulut wanti-wanti kepada seorang pengunjung pameran di Universitas Kristen Petra Surabaya, Jawa Timur, awal Oktober lalu. Beragam daun mangrove yang mulai kering itu tetap berguna. Lulut bisa menyulapnya menjadi pewarna batik.

Tidak hanya daunnya, hampir semua bagian dari berbagai jenis mangrove yang tumbuh di sekitar Kedung Baruk dan Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, bisa dimanfaatkan Lulut. Bahkan, buah bogem (Sonneratia caseolaris) yang patah sebelum matang dan tidak bisa dibuat sirup serta ampas buah yang sudah diolah menjadi sirup pun masih bisa diproses. Sisa buah mangrove itu kemudian dia ramu dengan bahan-bahan lain menjadi sabun cair alami.

Lulut memang tidak bisa diam. Mantan aktivis karang taruna itu juga mengajar tari dan kesenian di sekolah, mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas.

Baru setelah menikah dan pindah ke Wisma Kedung Asem Indah di Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut, pada tahun 1989 aktivitas menari dia kurangi sampai benar-benar berhenti pada 1996. Aktivitasnya bergeser, dia mengurus lingkungan.

”Rungkut waktu itu gersang sekali, jadi saya mulai saja dengan menghijaukan rumah sendiri,” kata perempuan yang sejak kecil gemar memancing dan dekat dengan alam itu.

Penghijauan ditularkan ke tetangganya. Jadilah Lulut senang membawa bibit tanaman ke mana-mana. Ketika ada tetangga menginginkan, dia memberikannya. Ia pun menjadi kader sekaligus Ketua Forum Peduli Lingkungan Kecamatan Rungkut.

Kegiatan kader lingkungan ini menghasilkan bakteri antagonis composting yang bisa menjadi pupuk cair, mempercepat pengomposan, dan menghilangkan bau bangkai.

Sirvega dan batik seru

Lulut juga mencoba membuat sabun alami dari buah-buah mangrove. Pelatihan yang diadakan pemerintah memberinya pengetahuan. Namun, resepnya tetap harus dicari dari berbagai referensi dan eksperimen.

Setelah setahun mencoba-coba, pada 2006 Lulut dan kader lingkungan sekitarnya mulai memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.

Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.

Tahun ini Lulut mendesain pakem batik mangrove. Sebanyak 44 desain seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya (seru) dia siapkan. Semua mengambil bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta makhluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Setiap motif dilengkapi nama jenis mangrove yang spesifik, baik dalam nama Latin maupun nama daerah dan motif tambahannya.

Motif tanjang putih, misalnya, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang-seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.

Motif mange kasihan beda lagi. Gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu, gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu.

Supaya sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.

Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali.

Selain menggunakan pewarna alam, batik mangrove yang diciptakan Lulut bersama perajin di Kedung Baruk sejak Juli 2009 bisa dikatakan eksklusif. Sebab, setiap perajin mengatur komposisi desain sendiri. Lulut hanya menyiapkan pakemnya.

”Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak,” kata Lulut.

Ketika mengajar menggambar, dia kerap mendapati gambar seragam, seperti pemandangan dengan dua gunung, matahari, dan sawah, atau gambar seragam vas dengan dua tangkai bunga.

Perkumpulan perajin batik mangrove yang berpusat di tempat tinggal Lulut, Wisma Kedung Asem Indah, diberi nama Griya Karya Tiara Kusuma. Maksudnya, dari rumah semua bisa berkarya mengharumkan nama bangsa dan memakmurkan keluarga.

Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk, terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.

Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.

Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif sawunggaling dan suroboyo.

Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis mangrove.

Satu-satunya kendala dalam pengembangan batik mangrove adalah permodalan. Untuk membuat contoh batik dari 44 motif itu, Lulut memerlukan dana sekitar Rp 40 juta.

Dari sisi perajin, dia mengatakan, relatif tak ada masalah. Rencananya, tambah Lulut yang sejak tahun 2009 menjadi pendamping Usaha Kecil dan Menengah Dinas Tenaga Kerja Surabaya, akan kembali dilangsungkan pelatihan membatik kepada lebih banyak ibu di Kedung Baruk. Dengan demikian, semakin banyak orang yang bisa membuat kerajinan batik mangrove membuat lingkungan terjaga dan rumah tangga bisa makin sejahtera.

LULUT SRI YULIANI

• Lahir: Surabaya, 24 Juli 1965 • Suami: Budiono Halim • Anak: Nadia Chrissanty Halim (10) • Pendidikan: - SDN Karya Dharma II Surabaya, lulus 1976 - SMPN XII Surabaya, lulus 1980 - SPG Kristen Bersubsidi Pirngadi Surabaya, lulus 1983 - S-1 Bahasa Jawa Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra IKIP Negeri Surabaya, lulus 1987 - S-2 Manajemen Sumber Daya Manusia Magister Manajemen STIE Mahardhika Surabaya, lulus 2004