Rabu, 23 Januari 2013
Kesalahan Fatal Pengurus EWM Wonorejo di Website
Acara Seminar Mangrove yang dibuka oleh Ibu Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, seharusnya berjudul "1st Regional Shared Learning Workshop mangrove as a part of Coastal management in Southeast Asia" malah diplesetkan oleh team web dengan gambar dibawah ini:
Southeast Asia, diplesetkan menjadi South East Java, alias Jawa tenggara. Waduh, parah benar itu bahasa Inggrisnya. Belum lagi tulisan "Welcome To Everyone Who Joins", yang sangat lucu. Dalam bahasa Inggris, tidak dikenal kata sifat jamak, seperti Joins (pake s). Kemudian, kalau dituliskan "Everyone" berarti pembuat publikasi tidak mau mencari tahu informasi sebenarnya seperti apa, main asal tulis. Padahal, kalau mau buka Google dan mencarinya, pasti ketemu. Bisa dibuka disini, atau disini juga bisa.
Dari situs tersebut, dituliskan jelas, sebanyak 50 peserta dari negara-negara ASEAN, diantaranya Brunei, Filipina, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Singapura, Vietnam, Thailand, Timor Leste, dan Indonesia mengikuti seminar yang diselenggarakan JICA (Japan Internasional Cooperation Agency) bekerja sama dengan Kemenhut RI dan Pemkot Surabaya, 5-10 November 2012.
Wah, memang amatir!!
Senin, 03 September 2012
Bersepeda di Wisata Mangrove Wonorejo Surabaya
Seneng.. Kesampaian juga keinginan bersepeda di Surabaya. Di sela-sela waktu acara baralek di Surabaya, Sabtu pagi, 1 September 2012 bertiga dengan mas Wanto dan mas Agung, kami bersepeda ke daerah Eco Wisata Mangrove Wonorejo Surabaya, satu tempat wisata baru Surabaya di tepi pantai Selat Madura. Berangkat dari tempat menginap di Hotel D’Season daerah Jemur Sari sekitar jam 05.30, saat hari baru mulai beranjak terang, gowes ke arah Timur menyusuri jalan di tepi sungai Brantas. Jalan relatif datar dan nyaman berasal. Berangkat pagi sangat nikmat, karena lalu lintas masih belum begitu ramai di jalan raya yang dilalui.
Kira-kira menempuh jalan sekitar sepuluh kilometer, kami tiba di gerbang Selamat Datang di Eco Wisata Mangrove Wonorejo, dan jalan beraspal segera kami tinggalkan dan masuk ke jalan-jalan tanah di antara tambak-tambak di sisi kiri kanan sepanjang jalan, dengan melewati berpuluh jembatan kayu kecil yang melintas di atas sungai kecil yang menghubungkan antar tambak. Beberapa tambak penuh berisi air dan beberapa tambak kurang berarir dan dominan dengan tanah lumpur. Sesekali terlihat gerakan-gerakan ikan di tambak. Juga beberapa tempat pancing dapat di temui di daerah ini.
Ujung dari jalan di perjalanan ini adalah tepi pantai di Selat Madura yang terang dihiasi matahari merah bulat di arah Timur yang gagah bergerak tenang berwibawa untuk lebih menerangi bumi. Terdapat dua buah pondok atau gazebo di tempat itu yang dibuat oleh Pertamina dan Polrestabes.
Daerah wisata ini masih sangat sepi di hari Sabtu, hanya sesekali berpapasan dengan penduduk yang akan mencari ikan di tambak-tambaknya. Sama sekali kami tidak menemui wisatawan atau penyepeda lain di perjalanan ini, kecuali satu orang penyepeda yang kami temui di warung minum, yang ternyata tinggal di dekat daerah Eco wisata ini, dan sering gowes di sini.
Di dalam tempat wisata ini, selain jalan tanah, kami temui juga jalan yang dibuat diatas anyaman bambu, sekitar satu meter di atas ketinggian permukaan tanah, dan juga terdapat jogging track yang terbuat dari papan-papan kayu di sekitar dermaga di tepi sungai Brantas menuju ke satu menara, yang kemungkinan akan digunakan untuk menara pengamat untuk melihat tempat sekitar dengan lebih leluasa.
Saat melihat ke tepi Sungai Brantas, kebetulan sedang ada dua buah perahu nelayan yang sedang bersiap-siap untuk melaut. Sangat menarik melihat kegiatan dan pernak-pernik di atas perahu kecil itu. Di atas perahu terdapat jaring, alat untuk menangkap ikan, kemudian peralatan dapur untuk urusan kampung tengah. Dan mereka saling bahu-membahu mempersiapkan diri, merapikan jaring, menanak nasi dan membersih-bersihkan perahunya. Sangat sederhana dan nampak lemah untuk bertarung di lautan, dan ternyata mereka berani dan bisa.
Track jalur sepedaan, foto-foto lain dapat dilihat di facebook . Dan jika ingin bersepeda di Surabaya, termasuk sewa sepeda, atau sekalian minta dicarikan track dan diantar untuk gowes bareng, bisa menghubungi mas Wanto di 08113405667, visit ke blognya, atau visit ke facebooknya.
Terima kasih Tuhan, Kau beri aku kesempatan mengenal teman-teman baru bersepeda yang baik hati, mas Wanto dan mas Agung, melihat hutan Mangrove yang kecil-kecil pohonnya namun sangat berguna, bersama-sama untuk menahan gerusan ombak di pantai, melihat kesederhanaan perahu nelayan yang harus bertarung dengan laut yang kuat, dan mendapatkan kesegaran di pagi hari dari kegiatan bersepeda. Salam sehat
Kamis, 26 April 2012
Ekowisata Hutan Mangrove Wonorejo Surabaya
Semoga ekowisata mangrove, dapat perhatian dari wali kota surabaya, agar jalan menuju kesana bisa diaspal, dan mengurangi ban bocor. . . .
Perjalanan ke surabaya timur dengan akses jalan yang tidak layak untuk sebuah wisata (dimana pemkot SBY), potensi wisata yang bagus untuk dikembangkan yang juga bisa menanggulangi abrasi, penghijauan juga, juga sebagai penahan ombak. apa kurangnya coba hutan mangrove tersebut. terlebih masyarakat surabaya kekurangan tempat wisata (setelah KBS "akan" tutup).
Yes, sempat mengunjungi Ekowisata yang satu ini. sesungguhnya potensinya bagus, bisa dibuat foto (pre-wedding foto disana asik tuh sepertinya). bisa juga buat mancing. atau sekedar menghirup udara laut yang katanya baik untuk kesehatan CMIIW. asik juga tuh buat lunch sama doi disana, kalo kayaknya dinner asik tapi banyak nyamuknya kalo malem, jadi ane saranin jangan dah maklum namanya juga hutan.
akses kesana kalo naik angkot kayaknya belum ada deh (lha wong jalan kesana kayak bukan mau wisata melepas penat tetapi seperti mau mencari kayu bakar).dari kampus STIKOM surabaya. ente lurus aja mentok ke arah timur. pasti nyampek dah tuh yang namanya Ekowisata. sedikit jepretan ane, jelek karena hanya pake kamera handphone ditambah jelek lagi karena fotographer amatiran.
Sumber: Blog sookogroup
Minggu, 24 Juli 2011
Libatkan Warga, Minimalisir Pembalakan
SURABAYA-Keberadaan ekowisata mangrove Wonorejo ternyata diakui cukup efektif sebagai upaya untuk menangkal adanya pembalakan liar pohon mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya).
Camat Rungkut Ridwan Mubarun mengatakan, keberadaan ekowsiata mangrove selain sangat penting sebagai pencegah abrasi atau bencana lainnya di sekitar pantai, juga ikut mencegah terjadinya pembaakan liat seperti yang terjadi beberapa waktu lalu.
"Dengan adanya ekowisata mangrove, secara tidak langsung masyarakat juga ikut menjaga keberadaan mangrove," kata Ridwan Mubarun, Sabtu (23/7).
Menurut dia, adanya mangrove di Pamurbaya di kecamatan lainnya yang diketahui diambil atau dibalak oleh warga yang tidak bertanggungjawab justru tidak terjadi di Pamurbaya, khususnya di kawasan Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut.
"Dulu di Rungkut banyak mangrove yang diambil, tapi sekang dengan adanya ekowisata masyarakat ikut mengawasi," tuturnya.
Ridwan mengatakan kasus pembalakan mangrove di Kecamatan Mulyorejo yang berhasil diungkap beberapa waktu lalu, akibat kurangnya kesadaran dari masyarakat setempat akan pentingnya mangrove. "Pengawasan mangrove tidak cukup dari aparat keamanan saja, melainkan juga dari masyarakat setempat," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pemanfaatan mangrove tidak bisa dilakukan secara sembarangan atau menebang pohonnya secara liar, melainkan harus dilakukan dengan cermat, seperti halnya yang dilakukan oleh warga Rungkut dalam memanfaatkan mangrove yakni dengan cara hanya mengambil buah dan daunnya saja.
"Biasanya daun mangrove yang diambil untuk memanfaatkan zat pewarnaan alami untuk pembuatan batik. Hal ini yang sudah dilakukan Bu Lulut (penerima penghargaan Kalpataru 2011). Artinya tidak harus menebangi, itu tidak boleh," ucapnya.
Selama ini, lanjut dia, pihaknya sudah memberikan edukasi kepada masyarakat supaya tetap menjaga mangrove serta tidak dibalak secara sembarangan. "Warga sudah tahu, kalau ada warga yang bawa senapan burung di lokasi hutan mangrove maka langsung ditegur," paparnya.
Terkait ini, pemkot terus membangun fasilitas yang disebut Mangrove Information Center (MIC). Fasilitas yang ide awalnya diungkap saat Tri Rismaharini menjabat sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) ini berupa hutan mangrove yang panjang sekitar 22 kilometer dan melalui empat kecamatan, yaitu Gunung Anyar, Rungkut , Mulyorejo, dan Sukolilo. Risma menjelaskan, MIC akan punya beberapa fasilitas. Mulai pendidikan, konservasi, hingga ekowisata. Untuk pendidikan, akan ada laboratorium biologi yang dapat digunakan sebagai sarana penelitian. Sedangkan untuk konservasi, MIC dilengkapi kebun pembibitan bakau. ins, purSumber: Surabaya Post
Catatan: Mari pak camat, FKPMNE selalu berada di balik pak camat, untuk terus mengibarkan bendera ekowisata mangrove. Halangan itu anggap saja gonggongan anjing. Khalifah tetap berlalu.
Sabtu, 23 Juli 2011
Pemkot Surabaya Optimalkan Keberadaan Ekowisata Mangrove
Penulis : Abdul Hakim
Camat Rungkut Ridwan Mubarun di Surabaya, Sabtu, mengatakan, keberadan tanaman mangrove diketahui sangat penting sebagai benteng dari adanya abrasi atau bencana lainnya di sekitar pantai.
"Begitu juga dengan adanya ekowisata mangrove, secara tidak langsung masyarakat juga ikut menjaga keberadaan mangrove," katanya.
Menurut dia, ada sejumlah daerah lain yang diketahui tanaman mangrovenya diambil atau dibalak oleh warga yang tidak bertanggungjawab. Namun, hal itu saat ini tidak terjadi di Pamurbaya, khususnya di Kecamatan Rungkut.
"Dulu di Rungkut banyak mangrove yang diambil, tapi sekang dengan adanya ekowisata masyarakat ikut mengawasi," tuturnya.
Ridwan mengatakan kasus pembalakan mangrove di Kecamatan Mulyorejo yang berhasil diungkap beberapa waktu lalu, akibat kurangnya kesadaran dari masyarakat setempat akan pentingnya mangrove.
"Pengawasan mangrove tidak cukup dari aparat keamanan saja, melainkan juga dari masyarakat setempat," ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, pemanfaatan mangrove tidak bisa dilakukan secara sembarangan atau menebang pohonnya secara liar, melainkan harus dilakukan dengan cermat, seperti halnya yang dilakukan oleh warga Rungkut dalam memanfaatkan mangrove yakni dengan cara hanya mengambil buah dan daunnya saja.
"Biasanya daun mangrove yang diambil untuk memanfaatkan zat pewarnaan alami untuk pembuatan batik. Hal ini yang sudah dilakukan Bu Lulut (penerima penghargaan Kalpataru 2011). Artinya tidak harus menebangi, itu tidak boleh," ucapnya, menegaskan.
Selama ini, lanjut dia, pihaknya sudah memberikan edukasi kepada masyarakat supaya tetap menjaga mangrove serta tidak dibalak secara sembarangan. "Warga sudah tahu, kalau ada warga yang bawa senapan burung di lokasi hutan mangrove maka langsung ditegur," paparnya.
Selain itu, lanjut dia, keberadaan ekowisata yang kian ramai dikunjungi warga menjadi pendapatan tersendiri buat warga setempat. Hal itu dikarenakan, warga setempat dalam hal ini diwakili para pemuda yang tergabung dalam karang taruna bisa menjual pernak-pernik atau minuman seperti sirup, batik dan lainnya yang terbuat dari tanaman mangrove. "Hasil pendapatanya tentunya buat mereka juga," ujarnya.
Untuk itu, Pemkot Surabaya juga mempersiapkan pembangunam pusat informasi mangrove atau yang dikenal dengan "Mangrove Information Center" (MIC). MIC tersebut difungsikan sebagai pusat edukasi seputar mangrove.
Catatan: Ayo pak camat, kita dukung terus. Kita buat para aktifis lingkungan yang hanya peduli uang itu untuk keluar dari Pamurbaya.
Sabtu, 11 Juni 2011
Ekowisata Kawal Kawasan Bakau
KOMPAS.com — HAMPIR setiap hari ada saja pengunjung yang ingin melihat langsung kondisi kawasan hutan bakau di Wonorejo, Kecamatan Rungkut, Surabaya, Jawa Timur. Pada akhir pekan, jumlahnya pun bisa meningkat menjadi 100 orang.
Kawasan konservasi hutan mangrove seluas 800 hektar itu sejak tahun 2008 tidak hanya gencar ditanami bakau oleh berbagai organisasi, perusahaan, dan masyarakat, tetapi wilayah itu juga menjadi tempat wisata sambil belajar tentang lingkungan.
”Pengunjung tidak sekadar menanam bakau, tapi bisa tahu burung atau hewan apa saja yang masih hidup di kawasan ini,” kata penggagas Ekowisata Mangrove Wonorejo, Joko Suwondo (67).
Sebelum tahun 2008, kawasan ini menjadi tempat pembalakan sehingga hutan bakau nyaris punah. Aktivitas pembalakan kini melanda hutan mangrove di Kali Saridamen, Kejawan Putih Tambak, Kecamatan Mulyorejo, Surabaya. Sekitar 100.000 pohon bakau di areal seluas 10.000 hektar di Mulyorejo ditebang secara ilegal.
”Wonorejo harus bebas dari pembalakan, apalagi sekarang bakau mulai tumbuh,” kata Camat Rungkut Ridwan. Di kawasan pantai timur Surabaya terdapat hutan bakau seluas 1.180 hektar, 40 persen di antaranya (472 hektar) rusak.
Saat ini di Wonorejo sudah dibangun dua gazebo untuk pengunjung yang hendak menikmati suasana laut dan hutan bakau. Di dalam hutan juga disiapkan jembatan bambu untuk memudahkan pengunjung berkeliling di kawasan itu.
Dinas Pertanian Kota Surabaya juga telah membuat papan jembatan kayu atau lintasan joging sepanjang 500 meter. Walau baru dibangun Desember 2010, saat ini kondisi jembatan itu sudah rusak, papan jebol, paku hilang, dan beton ambles, dan kini tengah diperbaiki. Keberadaan jembatan kayu pun menuai protes dari warga setempat dan aktivis lingkungan karena dinilai merusak lingkungan.
Dalam pertemuan dengan berbagai elemen pencinta lingkungan di Ekowisata Mangrove Wonorejo, Selasa (17/5/2011), pengelola mendapat banyak masukan. Sarannya, antara lain, agar di setiap pohon dipasang label tentang jenis bakau serta fungsinya. Selain itu, perlu ada penjelasan di dermaga tentang hewan serta jenis burung yang masih ada di kawasan tersebut.
Swadaya
Menurut Joemadi, pengurus kawasan wisata tersebut, pengelolaan lokasi masih mengandalkan swadaya warga Wonorejo. Memang ada sumbangan dari beberapa perusahaan, termasuk Pemerintah Kota Surabaya, seperti pembelian perahu dan pembuatan gazebo. Namun, pemeliharaan seluruh fasilitas menjadi tanggung jawab pengelola.
Salah satu cara mengurangi beban biaya itu adalah dengan memberlakukan tiket masuk ke kawasan wisata sebesar Rp 25.000 bagi orang dewasa dan Rp 15.000 untuk anak kecil. Tiket sudah termasuk ongkos pergi-pulang dari dermaga ke gazebo dengan lama perjalanan sekitar 15 menit.
Semua sarana itu untuk menarik minat pengunjung datang ke kawasan tersebut. ”Jika banyak kegiatan di kawasan hutan mangrove, keinginan pihak yang hendak melakukan pembalakan pasti mudah terpantau,” katanya.
Saat ini, yang ikut mengawasi kawasan tidak hanya pengunjung, tetapi juga warga yang mencari kepiting dan udang di sekitar wilayah Wonorejo. Nelayan dari sejumlah daerah juga sering melintas di kawasan hutan bakau menuju laut lepas.
Menurut Daru (34), pencinta lingkungan di Surabaya, dibandingkan dengan 15 tahun lalu, ukuran pohon bakau kini lebih kecil. Melihat kondisinya, pohon-pohon itu umumnya masih berumur 5-10 tahun, namun lingkungannya cocok untuk tempat belajar sambil berwisata.
Jadi, kata ibu dari tiga putri ini, untuk menarik minat pengunjung ke kawasan hutan mangrove, pengelola harus melibatkan warga yang mencari kepiting dan udang serta nelayan. Dengan cara ini, pelajar yang datang ke kawasan itu bisa diajari cara menangkap kepiting dan udang sehingga kegiatannya tidak sekadar wisata.
Misi menjadikan ekowisata di kawasan hutan bakau bisa tercapai karena sejak dini anak-anak sudah tahu bagaimana menanam bakau yang berfungsi untuk menjaga kelestarian alam, terutama untuk menghadang abrasi.
Sarana berwisata sambil belajar di kawasan mangrove itu sudah memadai, hanya perlu dilengkapi pemandu yang andal. Keberadaan pemandu wisata yang paham tentang seluk-beluk hutan bakau beserta isinya sangat penting. Wisatawan bisa mendapat penjelasan selama perjalanan dari dermaga ke gazebo. Kawasan hutan juga perlu dibersihkan dari sampah yang sangat mengganggu pemandangan, terutama ketika air laut surut. Pengelola harus mempersiapkan tempat sampah di beberapa lokasi strategis agar pengunjung tidak membuang sampah sembarangan.
”Persoalan yang belum ada solusi menyangkut sampah yang terbawa arus air dari segala penjuru, tapi kami terus upayakan agar kawasan lebih bersih dari sampah,” kata Joko yang gencar mengampanyekan kepada pengunjung agar tidak membuang sampah di sembarang tempat. Hutan mangrove Wonorejo kini tak pernah sepi dari berbagai kegiatan pelestarian lingkungan. (Agnes Swetta Pandia)
Minggu, 29 Mei 2011
Camat Rungkut: Tak Ada Pembalakan Liar di Mangrove Wonorejo
Surabaya, Bhirawa
Maraknya pemberitaan soal pembalakan hutan mangrove di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), memunculkan persepsi jika di hutan konservasi tersebut sudah banyak yang dibalak warga. Namun persepsi tersebut langsung dibantah Camat Rungkut Drs Ridwan Mubarun MSi. Menurut dia, hutan mangrove di Wonorejo Kecamatan Rungkut tak ada pembalakan, seperti di Kecamatan Mulyorejo.
"Saya berani jamin jika di Wonorejo tak ada pembalakan. Kesadaran masyarakat Rungkut sudah tinggi untuk menjaga dan merawat hutan mangrove. Sebab dengan adanya ekowisata di hutan mangrove di Wonorejo, warga sekitar sekarang sudah banyak memetik hasilnya, khususnya untuk peningkatan ekonomi," kata Ridwan Mubarun, dikonfirmasi, Minggu (29/5).
Menurut dia, hutan mangrove di Kecamatan Rungkut luasnya mencapai 800 hektare, dan semua pohon yang tumbuh terjaga dengan baik. Sebab warga disekitar khususnya di Kelurahan Wonorejo ikut menjaga hutan mangrove yang ada. "Jika ada orang yang datang dengan membawa senjata atau senapan angin, selalu ditanya warga. Sebab warga mengantisipasi adanya penembakan burung di mangrove," paparnya.
Saat ini kawasan hutan mangrove di Wonorejo ini memang sudah menjadi tempat wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Ekowisata Mangrove Wonorejo (EWM) menawarkan rehabilitasi, edukasi, dan rekreasi. Pengelola setempat telah memberlakukan sistem paket untuk jalur wisata tersebut, sehingga para pengunjung dapat lebih menikmati wisata tersebut dengan nyaman.
Diakui Ridwan, dibentuknya ekowisata mangrove di Wonorejo pada 2009 lalu, memang membawa dampak positif yang luar biasa bagi warga dan hutan mangrove sendiri. Yakni munculnya kesadaran masyarakat untuk ikut bersama-sama merawat hutan mangrove. "Saat ini, baru di Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar yang ada ekowisatanya. Sedangkan di kecamatan lain, yakni Sukolilo dan Mulyorejo belum ada," ungkapnya.
Ditanya apakah warga Kecamatan Rungkut ada yang memiliki sertifikat di lahan hutan Mangrove, seperti kasus di Mulyorejo, Ridwan mengaku, memang ada warganya yang memiliki sertifikat, petok atau surat penguasaan lahan. "Memang ada warga saya yang memiliki sertifikat. Namun saya tak tahu jumlahnya berapa," ungkapnya.
Warga yang memiliki sertifikat tersebut, lanjutnya, umumnya sebelum tahun 1992. Sehingga jika demikian, pemkot harus membeli lahan tersebut. "Kalau nanti memang terbukti sertifikatnya sebelum 1992, pemkot ya harus membeli lahan tersebut," tandasnya. [iib]
Sumber: Harian Bhirawa
Catatan: mari kita terus tingkatkan kampanye media. Pak camat sebagai penguasa wilayah harus terus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti penting ekowisata. Sebagian keuntungan ekowisata, bisa kita pakai untuk kampanye media. Hal paling utama adalah, masyarakat paham dengan maksud kita, dan bukan maksud para aktifis lingkungan itu.