Surabaya, Bhirawa
Maraknya pemberitaan soal pembalakan hutan mangrove di Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), memunculkan persepsi jika di hutan konservasi tersebut sudah banyak yang dibalak warga. Namun persepsi tersebut langsung dibantah Camat Rungkut Drs Ridwan Mubarun MSi. Menurut dia, hutan mangrove di Wonorejo Kecamatan Rungkut tak ada pembalakan, seperti di Kecamatan Mulyorejo.
"Saya berani jamin jika di Wonorejo tak ada pembalakan. Kesadaran masyarakat Rungkut sudah tinggi untuk menjaga dan merawat hutan mangrove. Sebab dengan adanya ekowisata di hutan mangrove di Wonorejo, warga sekitar sekarang sudah banyak memetik hasilnya, khususnya untuk peningkatan ekonomi," kata Ridwan Mubarun, dikonfirmasi, Minggu (29/5).
Menurut dia, hutan mangrove di Kecamatan Rungkut luasnya mencapai 800 hektare, dan semua pohon yang tumbuh terjaga dengan baik. Sebab warga disekitar khususnya di Kelurahan Wonorejo ikut menjaga hutan mangrove yang ada. "Jika ada orang yang datang dengan membawa senjata atau senapan angin, selalu ditanya warga. Sebab warga mengantisipasi adanya penembakan burung di mangrove," paparnya.
Saat ini kawasan hutan mangrove di Wonorejo ini memang sudah menjadi tempat wisata alam yang menarik untuk dikunjungi. Ekowisata Mangrove Wonorejo (EWM) menawarkan rehabilitasi, edukasi, dan rekreasi. Pengelola setempat telah memberlakukan sistem paket untuk jalur wisata tersebut, sehingga para pengunjung dapat lebih menikmati wisata tersebut dengan nyaman.
Diakui Ridwan, dibentuknya ekowisata mangrove di Wonorejo pada 2009 lalu, memang membawa dampak positif yang luar biasa bagi warga dan hutan mangrove sendiri. Yakni munculnya kesadaran masyarakat untuk ikut bersama-sama merawat hutan mangrove. "Saat ini, baru di Kecamatan Rungkut dan Gunung Anyar yang ada ekowisatanya. Sedangkan di kecamatan lain, yakni Sukolilo dan Mulyorejo belum ada," ungkapnya.
Ditanya apakah warga Kecamatan Rungkut ada yang memiliki sertifikat di lahan hutan Mangrove, seperti kasus di Mulyorejo, Ridwan mengaku, memang ada warganya yang memiliki sertifikat, petok atau surat penguasaan lahan. "Memang ada warga saya yang memiliki sertifikat. Namun saya tak tahu jumlahnya berapa," ungkapnya.
Warga yang memiliki sertifikat tersebut, lanjutnya, umumnya sebelum tahun 1992. Sehingga jika demikian, pemkot harus membeli lahan tersebut. "Kalau nanti memang terbukti sertifikatnya sebelum 1992, pemkot ya harus membeli lahan tersebut," tandasnya. [iib]
Sumber: Harian Bhirawa
Catatan: mari kita terus tingkatkan kampanye media. Pak camat sebagai penguasa wilayah harus terus memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang arti penting ekowisata. Sebagian keuntungan ekowisata, bisa kita pakai untuk kampanye media. Hal paling utama adalah, masyarakat paham dengan maksud kita, dan bukan maksud para aktifis lingkungan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar