Kamis, 21 Januari 2010

Artikel Burung Wonorejo dari jawa Pos

[ Kamis, 21 Januari 2010 ]
Para Pencinta Burung Sensus Populasi di Wonorejo

Bertemu ''Tracy Trinita'' di Tengah Tambak



Sebagian wilayah Surabaya merupakan habitat alam bagi kawanan burung liar yang statusnya dilindungi oleh pemerintah. Beberapa komunitas pencinta burung di Surabaya mencoba memantau populasi burung-burung liar itu di kawasan bozem Wonorejo.

ARUM PRIMASTY

---

PULUHAN anak muda tampak menyusuri pematang-pematang tambak di kawasan bozem Wonorejo. Sebagian besar di antara mereka membawa teropong dan kamera digital. Ada yang menenteng clipboard berisi daftar nama. Ada pula yang menyandang semacam teropong besar bernama spotting scope dengan penopang tripod. "Ini fungsinya untuk memperbesar obyek. Kalau mau melihat burung di tengah tambak begini kan susah," kata Agus Satriyono, salah seorang anggota rombongan.

Agus merupakan Koordinator Sarang Burung Indonesia (SBI), sebuah komunitas untuk warga Surabaya yang berminat dengan masalah pelestarian burung di Indonesia. Komunitas tersebut Sabtu lalu (16/1) mengoordinasi acara Asian Waterbird Sensus di kawasan bozem Wonorejo. Dalam acara tersebut, mereka melakukan pendataan terhadap jumlah burung air dan burung-burung liar lain di kawasan timur Surabaya itu.

Asian Waterbird Sensus diikuti oleh sekitar 30 anak muda yang berasal dari beberapa komunitas pencinta burung di Surabaya. Sebagian besar berasal dari kalangan mahasiswa. Antara lain, dari Kelompok Studi Burung Liar (KSBL) Pecuk, Peksia Unair, Anak Burung Indonesia, dan Yayasan Pendidikan Konservasi. Ada pula beberapa pengunjung bozem yang tertarik, kemudian memutuskan untuk bergabung.

Aktivitas mereka dimulai sekitar pukul 07.00. Rombongan itu dibagi menjadi tiga kelompok yang menyusuri pematang sungai utara, tengah, dan selatan dengan berjalan kaki. Jawa Pos bergabung dengan kelompok yang menyisir pematang sungai utara.

Setiap kelompok mencatat jumlah, jenis, dan lokasi burung yang mereka lihat, kondisi burung-burung itu, serta keadaan lingkungan yang mungkin membahayakan populasi hewan bersayap itu. Hasilnya direkap dan dilaporkan ke Wetland International Indonesia Program, lembaga koordinator sensus burung air di Indonesia.

Pengamatan tersebut dilakukan serentak di seluruh negara di Asia. Masing-masing negara melakukan sensus terhadap burung air di wilayah mereka. Pengamatan itu dilakukan dalam kisaran waktu 9 hingga 25 Januari 2010. "Istilahnya, kami menyediakan data suplemen untuk sensus di seluruh Asia itu," kata Agus.

Berbicara soal menyensus burung mungkin gampang. Namun, kenyataannya tak semudah itu. Para pengamat kemarin harus bersabar dan menunggu cukup lama. Baru sekitar pukul 08.00 sekelompok kecil burung terlihat di tengah salah satu tambak.

Teropong Agus dan kawan-kawan langsung terarah pada burung berbulu putih dan bersayap hitam tersebut. "Itu burung gagang bayam. Tapi kami biasa nyebutnya Tracy Trinita," kata alumnus Biologi ITS angkatan 2003 itu.

Ada alasan khusus kenapa burung bernama latin Himantopus leucocephalus itu diberi julukan nama supermodel Indonesia asal Bali tersebut. "Soalnya, badannya putih dan kakinya panjang. Jadi, kurus tinggi langsing, kayak model, ha ha," kelakar Agus.

Sejak ''sang model'' muncul, beberapa kelompok burung lain mulai terlihat. Para peneliti amatir itu pun mulai sibuk. Ketika melihat beberapa ekor burung di tengah tambak, mereka langsung mengambil peralatan. Ada yang mengamati dengan teropong, memotret, serta mencatat nama dan jumlah burung yang mereka lihat.

Sebagian lagi sibuk membuka-buka buku ensiklopedia tentang burung. Buku itu mereka gunakan untuk mencocokkan ciri-ciri burung yang mereka lihat dengan spesiesnya. Setelah spesiesnya ketemu, jumlah burung itu dicatat. "Soalnya, kami kan masih amatir. Begitu lihat, enggak bisa langsung menentukan, itu jenis apa. Makanya, harus buka buku begini," kata Gilang Ramadsyah, salah seorang anggota Peksia Unair.

Ketika burung yang dilihat tidak punya kecocokan dengan informasi dalam buku, ciri-ciri burung itu dicatat dulu. Sepulang dari pengamatan, ciri-ciri tersebut dicocokkan dengan data di internet atau ensiklopedia lain yang lebih lengkap.

Jika tetap tidak ketemu, para pengamat itu akan mendata dengan nama-nama yang lazim dikenal orang. "Misalnya, Cerek Jawa ini. Spesiesnya agak susah dicari di buku. Kalau susah gini, kami data dengan namanya dalam bahasa Jawa. Kami kan wong Jowo," kata Agus.

Namun, saat mengamati aktivitas burung-burung seperti itu, mereka harus hati-hati. Jangan terlalu berharap bisa cepat melihat makhluk-makhluk berkelas Aves itu melenggang di tengah tambak. Sebab, jika terlalu berharap, bisa-bisa salah mengira batang kayu atau batu sebagai burung, kemudian dicatat. "Makanya, kalau pengamatan gini otak harus fresh," tutur Agus.

Selain alasan sulitnya mengamati, habitat burung-burung air di kawasan tersebut memang sempat terganggu. Penyebabnya, aktivitas pembangunan ekowisata Mangrove di kawasan Wonorejo. Kedatangan alat-alat berat untuk membangun kawasan itu, dan penanaman ulang pohon mangrove, membuat habitat alam burung-burung air sempat terganggu. "Beberapa bulan lalu, sempat sedikit sekali jumlahnya. Mungkin burung-burungnya stres karena banyak alat berat waktu pembangunan, makanya lari semua," ujar Iska Desmawati, mahasiswi Biologi ITS angkatan 2006, yang juga mengikuti sensus.

Sensus hari itu sendiri tak sepenuhnya berjalan mulus. Baru pada tengah hari pengamatan burung-burung tersebut berjalan lancar. Para pengamat itu bahkan menemukan kawanan burung Gajahan yang sedang migran dengan jumlah sekitar 60 ekor. Menurut Agus, pergerakan kawanan burung migran itu memang bergantung pada pasang surut air laut. Saat air laut sudah pasang, sekitar tengah hari, kawanan itu baru mulai terlihat.

Kegiatan sensus itu berlangsung hingga sekitar pukul 16.00. Para pengamat amatir itu mencatat ada sekitar 32 spesies burung air dengan jumlah 623 ekor yang terlihat di kawasan bozem Wonorejo. (*/tom)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar