Rabu, 20 Januari 2010

Tulisan Pengembangan Hutan mangrove Probolinggo

EKOWISATA HUTAN MANGROVE BERBASIS MAYARAKAT DI KOTA PROBOLINGGO


Oleh : * Rendra Eka A
Kawasan hutan mangrove (mangrove forest) atau yang lebih dikenal dengan hutan bakau akhir-akhir ini ramai dikembangkan untuk digunakan sebagai sebuah objek wisata alternatif (alternative tourism) untuk menarik minat wisatawan dengan nuansa yang berbeda. Hutan mangrove adalah hutan tropis yang hidup dan tumbuh di sepanjang pantai berlumpur, berpasir atau pada kawasan estuary, dimana ekosistemnya merupakan daerah transisi yang di penaruhi oleh faktor-faktor darat dan laut didalamnya terdapat komponen flora dan fauna yang beragam (Pramudji, 2000).
Komponen flora yang hidup pada hutan mangrove adalah tumbuh-tumbuhan seperti bakau (Rhizophora sp.), api-api (Avicennia sp., pedada (Sonneratia Sp.) ( Dahuri dkk, 2008) dan dari hasil penelitian sepanjang Patura Jawa Timur telah ditemukan lebih dari 25 jenis tumbuhan mangrove (Prigi Arisand, 2009). Komponen fauna didalamnya termasuk berbagai hewan air seperti kepiting bakau, kepiting renang (Scylla serrata), udang (Acetes), dan berbagi ragam ikan yang hidup di kawasan mangrove. Selain terdapat berbagai jenis burung yang sering kita jumpai seperti kuntul (Egrettaalba), Bangau Tongtong (Leptoptilos javanicus), Belibis kembang (Dendrocygna arquata), Pecuk ular (Anhinga melanogaster), dan jenis burung lainnya dan berbagai serangga seperi kupu-kupu salmonara, lebah penghasil madu dan serangga lainnya.
Dengan berbagai karakteristik dan kekhasan yang dimiliki hutan mangrove sangatlah menarik untuk dimanfaatkan sebagai ekowisata alam dengan membuat resort – resort atau homestay sehinga dapat menikmati ragam jenis flora dan fauna hutan mangrove, berperahu, memancing, nursery, spawning, resto dan di tambah dengan menikmati nuansa pesisir yang alami serta melihat lalu lalang kapal nelayan menangkap ikan.
Mewujudkan sektor pariwisata yang berbasis wisata bahari dan pantai yang menyenangkan di Kota Probolinggo telah lama di idamkan oleh Pemkot Probolinggo. Keinginan ini telah di masukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPMJD) tahun 2006 - 2009 dan hingga saat ini belum terwujud sepenuhnya. Di awal tahun ini Pemkot Probolinggo kedatangan investor - PT Beejay Sarana Hiburan- untuk berniat mengembangkan dan mengonsep kawasan hutan mangrove untuk di jadikan ekowisata di Kota Probolinggo ( Radar Bromo, 16/01/2010).
Hal ini merupakan suatu peluang yang sangat menarik yang harus di wujudkan segera karena konsep ekowisata hutan mangrove sangatlah unik bukan hanya sebagai tempat hiburan saja tetapi juga sebagai tempat pengembangan lingkungan yang berbasis pada pendekatan pemeliharaan dan konservasi alam karena hutan mangrove mempunyai karaktreristik dan kekhasan tersendiri. Bahkan di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) telah di kembangkan Ekowisata Mangrove Wonorejo (EWM) yang mendapatkan banyak apresiasi oleh masyarakat, bahkan Gubernur Jawa-Timur (Metropolis, 16/01/2010 ).
Jika melihat potensi hutan mangrove di Kota Probolinggo yang memiliki luas kurang-lebih 585 hektar (Herrukmi S. R, www.balitbangjatim.com) sangatlah tepat untuk di jadikan ekowisata meski kebutuhannya diawali dari 1,5 hektar saja untuk membuka ekowisata ( Radar Bromo, 16/01 2009). Dengan demikian konservasi hutan mangrove akan tetap terjaga kelestarian ekologinya dan memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat secara terus-menerus. Tujuan ekowisata tersebut dapat tercapai dengan baik jika dilakukan pengelolahan yang secara tepat.
Berdasarakan definisi bebas wikipedia (ensiklopedi bebas) ekowisata dapat diartikan salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial, budaya, ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Dari definisi tersebut sangatlah jelas bahwa dalam mengelolahan konservasi lingkungan hutan mangrove harus selalu melibatkan aspek pemberdayaan masyarakat lokal karena merekalah yang terdepan akan menjaga dan melestarikannya sehingga terciptanya ekowisata yang berkelanjutan. Tampa melibatkan mereka konservasi mangrove dengan konsep ekowisatanya tidak akan terwujud dengan baik dan bahkan di kuatirkan akan berdanpak negatif yaitu rusaknya kawasan hutan mangrove.
Di Kota Pobolinggo laju kerusakan hutan mangrove di perkirakan sebesar empat persen per tahun (Herrukmi S. R, www.balitbangjatim.com), dan dari kajian Peneliti Balitbang Provinsi Jawa Timur oleh Herrukmi S. R, pada umumnya kerusakan hutan mangrove di Kota Probolinggo tidak berbeda jauh dengan kerusakan hutan mangrove di daerah lainnya di Indonesia. Adapun kerusakan hutan mangrove di pesisir Kota Probolinggo disebabkan antara lain karena adanya penebangan liar oleh masyarakat sekitar baik untuk kayu bakar, arang maupun dengan tujuan komersial/diperdagangkan sebagai bahan bangunan; perubahan lahan dari hutan mangrove lahan pertanian/sawah dan lainnya.
Kebiasaan dan adat istiadat masyarakat sekitar juga turut andil dalam kerusakan hutan mangrove, di antaranya yaitu menjala ikan yang menyebabkan bibit/benih mangrove tersangkut dan tercabut sewaktu jala diangkat dari air. Selain itu orang yang menjala ikan secara tidak sengaja dapat menginjak tanaman mangrove yang masih kecil. Kebiasaan lain yaitu menyundu udang dengan alat sundu yang dapat mencabut/merusak tanaman mangrove yang masih kecil. Kegiatan mencari kepiting pada siang hari dengan membangun lubang kepiting juga tidak jarang dapat merusak tanaman mangrove.
Ini makin diperparah oleh pencarian cacing laut untuk makanan ikan hias. Biasanya masyarakat pencari cacing terlebih dahulu menebang/merusak pohon mangrove. Kebiasaan para nelayan mendaratkan perahu-perahu di sekitar tanaman mangrove serta jalan masuk atau keluar yang dibuat untuk jalan perahu dapat merusak tanaman di samping budaya membuang sampah dan polutan lain secara sembarangan di wilayah pesisir yang mengakibatkan tercemarnya hutan mangrove.
Dengan melihat hal tersebut masyarakat lokal merupakan variabel penentu dari kelestarian hutan mangrove, sehingga jika Pemkot Probolinggo membuka ekowisata hutan mangrove harus melakukan upaya pengelolahan secara terpadu serta melibatkan seluruh stakeholders yang terkait, mulai dari level komunitas, masyarakat lokal, pemerintah, dunia usaha atau investor dan organisasi non pemerintah (LSM dll). Hal ini diharapkan akan terbangunnya struktur jaringan untuk menjalankan suatu kemitraan yang baik sesuai peran dan keahlian masing-masing dalam pengelolahan ekowisata hutan mangrove.
Berkaitan dengan pengelolahan ekowisata hutan mangrove secara terpadu dengan melibatkan masyarakat lokal dibutuhkan suatu strategi yang tepat agar bisa berjalan sesuai dengan tujuan ekowisata tersebut. Pengelolahan ekowisata yang berbasis masyarakat (community based ecotourism) merupakan pilihan yang tidak bisa di elakkan dalam membangun ekowisata hutan mangrove di Kota Probolinggo.
Ekowisata berbasis masyarakat merupakan ekowisata yang menitik beratkan peran aktif komunitas lokal. Hal tersebut di dasarkan kepada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam, sejarah serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata, sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak bahkan partisipasi masyarakat di artikan secara lebih luas yaitu harus dilibatkan dalam taraf perencanaan, pelaksanaan dan pemanfaatan (Mubyarto & Sartono, 1988).
Ekowisata hutan mangrove berbasis masyarakat juga dapat menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat dan mengurangi kemiskinan, di mana ekowisata dapat meningkatkan taraf hidup dari jasa-jasa wisata untuk turis misalnya sebagai pemandu; sewa perahu, ongkos transportasi, menjual alat tangkap ikan, menjual kerajinan, dll. Ekowisata juga membawa dampak positif terhadap pelestarian lingkungan dan budaya asli setempat yang pada akhirnya diharapkan akan mampu menumbuhkan jati diri dan rasa bangga antar penduduk setempat yang tumbuh akibat peningkatan kegiatan ekowisata.
Untuk menciptakan ekowisata yang berbasis masyarakat (community-based ecotourism) perlu stimulasi agar peran masyarakat meningkatkan dalam ekowisata ini, hal ini bisa dilakukandengan pola pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) yang merupakan metode pendekatan partisipatif yang menekankan pada upaya-upaya peningkatan partisipatif masyarakat lokal dalam mengkaji lingkungan sekitarnya untuk melakukan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi khususnya yang terkait dengan pelestarian ekosistem hutan mangrove. Sehingga dengan metode tersebut diharapkan pelaksanaan pembangunan ekowisata hutan mangrove di Kota Probolinggo tersebut cepat diterima oleh masyarakat lokal dan segera dapat di wujudkan. Dan ini merupakan tugas bersama kita, baik pemerintah kota dan masyarakat Kota Probolinggo pada umumnya
Model mengelolahan ekowisata hutan mangrove berbasis masyarakat dengan melibatkan peran aktif masayarakat lokal bukan berarti meninggalkan peran dunia usaha atau pihak swasta. Pihak swasta juga sebagai unsur pembentuk pengelolahan ekowisata secara terpadu. Tampa pihak swasta pengelolahan ekowisata ini akan lemah, karena pihak swasta mempunyai keungulan dalam mengelola industri pariwisata secara profesional dan mempunyai managemen modern dalam mengembangkan industri kepariwisataan disamping itu pihak swasta juga memiliki modal yang memadai dalam mengonsep ekonowisata yang menarik dari mulai membangun pencitraan (branding), pemasaran (marketing), promosi hingga pengembangan (developing).
Sementara peran serta pemerintah kota dapat sebagai fasilitator, regulator dan stimulator pembangunan ekowisata yang berkelanjutkan, Dan yang tidak kalah penting membangun kesepakatan dan kerjasama pihak-pihak yang terkait dalam mengelolah ekowisata hutan mangrove atas dasar manfaat, proporsional dan keadilan, tidak ada pihak yang di rugikan dalam pengelolaan tersebut. Sedangkan pihak non pemerintah dapat ditempatkan sebagai fungsi kontrol dalam pelaksanaan ekowisata yang telah berjalan.
Dengan demikian upaya mewujud kan ekowisata hutan mangrove di Kota Probolinggo sebagai sektor pariwisata yang berbasis wisata bahari dan pantai harus kita dukung bersama. Pengelolahan ekowisata yang berbasis masyarakat sangat diperlukan dalam pelaksanaan industri pariwisata ini. Sehingga eksploitasi atas kawasan mangrove di Kota Probolinggo dapat berdampak positif bagi masyarakat sekitar dan lingkungan ekologi kawasan mangrove itu sendiri sehingga konservasi hutan mangrove sebagai Kawasan Lindung tetap terjaga secara berkelanjutan.
Dengan datangnya investor - PT Beejay Sarana Hiburan- yang akan mengembangkan hutan mangrove sebagai ekowisata di Kota Probolinggo sebagai angin segar dalam upaya mewujudkan industri pariwisata bahari. Sebelum itu terlaksana mulailah kita bertanya apakah nantinya dalam pelaksanaannya akan melibatkan masyarakat lokal ? dan apakah pengelolahannya menggunakan model pengelolahan ekowisata yang berbasis masyarakat atau sebaliknya?. Kita hanya berharap agar semuanya terwujud dan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat lokal Kota Probolinggo.
* Pemerhati Kelautan & Perikanan Probolinggo.
Alumnus Fakultas Teknologi Kelautan ITS

Sumber: biru-lautku.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar