Menggarap Wisata Wonorejo
Surabaya punya satu lagi objek wisata baru: Ekowisata Mangrove Wonorejo (EMW). Setelah tiga tahun beroperasi, kemarin (15/1) kawasan wisata berobjek hutan bakau itu ''diresmikan''. EMW diharapkan menjadi tempat rekreasi alternatif yang memperkaya khazanah pariwisata Surabaya.
Situs wisata itu terdapat di pesisir timur Surabaya. Secara geografis, letaknya di wilayah Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut. Dari pusat kota, pengunjung hanya memerlukan waktu 45 menit hingga sejam (naik motor atau mobil) untuk sampai di tujuan.
Memang, belum semua akses menuju lokasi beraspal. Ada sekitar 2,5 km jalan yang masih dibiarkan seperti aslinya alias jalan tanah. Meski begitu, tetap bisa dilalui kendaraan.
Yang jelas, begitu tiba di lokasi, pengunjung akan langsung mendapat suasana berbeda. Seperti bukan di Surabaya. Hawanya terasa segar dengan angin pesisir yang bertiup semilir. Tak ada keriuhan. Tak ada polusi udara dari asap pabrik maupun knalpot kendaraan. Benar-benar alami.
Wisata itu menawarkan pemandangan alam yang menyegarkan mata dan pikiran. Lebih dari lima hektare hutan bakau (mangrove) membentang di tepian Selat Madura tersebut. Kawasannya meliputi dua kanal sungai besar Surabaya, yakni Sungai Wonokromo dan Sungai Kebon Agung. Juga ada Boezem Wonorejo sebagai dermaga awal pemberangkatan perahu wisata.
Ya, wisata itu dinikmati menggunakan perahu motor berkapasitas 40 orang. Pengelola EMW, Forum Komunikasi Polisi Masyarakat (FKPM) Wonorejo, mempunyai satu unit perahu yang akan mengangkut pengunjung menyisiri hutan bakau. Saat itulah pengunjung merasakan sensasi wisata alternatif ini.
Di sepanjang rute (ada dua rute yang ditawarkan: panjang dan pendek), pengunjung akan disuguhi pemandangan menakjubkan. Ada tanaman bakau yang akar-akarnya mencuat eksotis. Ada aneka burung yang beterbangan kian-kemari. Ada berbagai binatang air yang menyambut di pinggir-pinggir pantai. Pokoknya asyik.
Dari pos pantau satu ke pos pantau dua, pengunjung juga bisa melaluinya dengan berjalan kaki. Pengelola telah membuatkan ''jalan'' dari anyaman bambu yang berkelok-kelok di tengah ''hutan'' itu. Ada juga tambak ikan bandeng, udang, dan kepiting yang bisa dipancing atau dijaring (tentu tidak gratis).
Di pos dua, pengunjung mendapat jamuan makan siang dengan menu khas EMW: bandeng sampit dan bandeng lempung dengan sambal terasi yang nikmatnya bukan main ketika disantap dengan nasi yang masih kemebul.
***
Memang masih banyak catatan yang perlu dibenahi pengelola untuk ''menyempurnakan'' fasilitas EMW. Mulai jalan akses yang masih berupa tanah (makadam) dan sempit, tebaran sampah yang ''menghiasi'' di sana-sini, dan belum adanya sarana-prasarana tempat wisata lainnya. Misalnya, stan-stan penjual suvenir dan makanan. Juga, papan penunjuk lokasi yang minim, sehingga sering membingungkan orang yang bermaksud menuju objek wisata alam itu. Intinya, EMW masih kurang ''ramai'' sebagai tempat wisata.
Tapi, bisa jadi, setelah ''diresmikan'' kemarin, EMW akan menjadi jujukan wisata masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Nah, kalau sudah begitu, pasti pengelolanya akan kewalahan menghadapi luberan pengunjung. Taruhlah, misalnya, yang datang seratus orang hari itu. Mau tak mau, lebih dari separo pengunjung harus menunggu giliran perahu yang akan mengangkut mereka berwisata.
Sebab, pengelola baru memiliki satu unit perahu dengan kapasitas 40 orang. Padahal, untuk satu trip, dibutuhkan waktu 2-4 jam perjalanan. Akankah yang 60 orang disuruh menunggu selama itu?
Belum lagi pada hari-hari tertentu, misalnya libur sekolah atau Lebaran. Pasti pengunjung ''membeludak''. Karena itu, pengelola tempat wisata EMW harus bersiap-siap menerima banyaknya pengunjung. Selain harus menambah personel yang bertugas di titik-titik tertentu, pengelola mesti menyiapkan sarana-prasarana yang memadai, terutama menambah perahu agar mampu mengakomodasi luberan pengunjung.
Nah, sudah selayaknya Pemkot Surabaya cq dinas pariwisata kota memberi perhatian serius soal potensi wisata barunya itu. Sebab, EMW cukup menjanjikan dan menarik bagi para pencinta wisata alam yang mungkin sudah bosan dengan tempat-tempat wisata yang ada. Apalagi bagi turis manca yang gemar mengunjungi objek-objek wisata yang masih alami, EMW sangat cocok jadi tujuan wisata mereka.
Menurut survei Lembaga Kutilang Surabaya, di kawasan EWM terdapat 84 burung resident (menetap), 44 jenis burung migrant (pendatang), dan 12 jenis burung yang dilindungi. Yang paling menarik adalah banyaknya burung migrant dari berbagai negara yang mampir sejenak di EWM, silih berganti. Karena itu, di tempat tersebut sering ada turis asing yang secara khusus meneliti atau mengambil gambar burung-burung cantik yang hinggap di pohon-pohon mangrove di situ.
Kini tinggal menunggu turun tangan pemkot dan stakeholder di bidang kepariwisataan lain di kota ini untuk mengoptimalkan potensi wisata yang satu ini. Surabaya Tourism Board, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), asosiasi travel agen (biro perjalanan), dan pengelola wisata EWM harus bahu-membahu ngopeni ''yang kecil'' ini. Promosi, penyiapan infrastruktur, pemasaran, hingga optimalisasi pelayanannya perlu digarap bersama. Sebab, kalau dibiarkan apa adanya, hasil yang diperoleh juga apa adanya.
Toh, di EWM, pemkot sudah tidak perlu bersusah payah menyulap kawasan di situ menjadi kawasan wisata. Pemkot tinggal memoles beberapa bagiannya agar kawasan itu pantas disebut objek wisata. (*)
Oleh: Arief Santosa, Wartawan Jawa Pos
Artikel ini diambil dari sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar