Selasa, 12 Januari 2010

Kisah Fathoni sang Pembalak

Fathoni, Petani, mantan pembalak Mangrove, dan kini merupakan anggota aktif FKPM Ne, dikupas profilnya dalam Harian Jawa Pos, edisi Senin, 11 januari 2010. Harian terbesar di Jawa Timur tersebut menggambarkan Fathoni sebagai petani yang Merelakan Lahan Garapan untuk Wisata Mangrove Wonorejo. Berikut Tulisan lengkapnya.

Dulu Membalak Seenaknya, Sekarang Ikut Membudidayakan



Keberadaan Ekowisata Mang­rove Wonorejo tak bisa lepas dari pengorbanan orang-orang peduli lingkungan di kawasan itu. Salah satunya, pengorbanan Fathoni, petani yang merelakan 3 hektare lahan garapannya untuk lokasi wisata bahari tersebut.

---

LELAKI 52 tahun itu tampak bersemangat setiap kali diajak berbicara soal wisata hutan mangrove (bakau) Wonorejo. Dia begitu menguasai dan menjiwai. ''Sejak 1994 saya menanam mangrove. Jadi, ya sudah nglothok,'' ungkap Fathoni, lelaki yang rambutnya mulai memutih itu.

Keahliannya menanam mangrove merupakan bakat alam. Baru belakangan Fathoni mendapat banyak wawasan dari dinas pertanian yang memberi pelatihan. Dia memang memiliki tanah garapan di pesisir pantai timur Surabaya itu. Surat bukti objek pajak yang menyebut namanya sebagai pembayar pajak untuk tanah tersebut menjadi alasan pengakuannya. Tapi, bukan tanah milik.

Semula ada sekitar 5 hektare lahan yang digarap bapak tiga anak itu. Lahan tersebut dikelilingi hutan mangrove. Dia membuat berpetak-petak tambak di sela-sela hutan. Di samping menambak, Fathoni dulu kerap menebangi tanaman mangrove itu untuk dijual.

Dalam perkembangannya, lahan tersebut sedikit demi sedikit terkena abrasi air laut sehingga sekitar 2 hektare tanahnya terkikis. Beberapa petak tambaknya pun rusak. Hutan mangrove-nya juga mulai ''gundul''.

''Sebenarnya saya juga menanam mangrove untuk peremajaan. Tapi, pertumbuhannya kalah cepat daripada kerusakannya,'' ujar petani yang rumahnya tak jauh dari kawasan wisata mangrove itu.

Pada 2008 aktivitas penebangan liar mangrove yang dilakukan Fathoni terendus polisi. Dia pun dibawa ke Mapolsek Rungkut untuk dimintai keterangan. Awalnya dia heran, mengapa dirinya ditangkap karena memanen tanaman di lahan sendiri. Petugas lalu menjelaskan bahwa tanaman mangrove termasuk tumbuhan yang dilindungi. Dengan demikian, pembalakan dengan alasan apa pun di tepi laut Wonorejo tidak diperbolehkan.

Fathoni tersadar, penebangan mangrove yang dilakukannya salah dan merusak lingkungan. ''Sejak itulah saya merelakan 3 hektare lahan garapan saya dipakai menjadi bagian dari proyek pelestarian lingkungan di Wonorejo ini,'' tuturnya.

Tidak hanya itu. Fathoni juga berjanji mengganti setiap 200 pohon mangrove yang pernah ditebang dengan seribu pohon baru. Janji itu kini sudah terbukti. Di lahan yang pernah dibabatnya dulu, kini tampak ribuan pohon mangrove baru. Tangannya ternyata cukup ''sakti'' untuk menanam tanaman bakau tersebut. Pasalnya, untuk menanam mangrove, dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran yang luar biasa.

''Menanam mangrove itu ibarat membina rumah tangga, harus penuh perhatian dan kasih sayang," ujarnya lantas tersenyum.

Selain lahan mangrove, Fathoni mengikhlaskan sisa-sisa tambaknya untuk dijadikan fasilitas Ekowisata Mangrove Wonorejo. Di tambak itu, para pengunjung bisa memancing atau menjala aneka ikan. Ada bandeng, udang, kepiting, dan jenis ikan lain.

Dia berharap, Ekowisata Mangrove Wonorejo akan menjadi tempat wisata alternatif Surabaya yang menarik perhatian masyarakat. Di tempat itu, menurut rencana, akan didirikan stan-stan pusat jajanan dan kerajinan khas Wonorejo. ''Dengan begitu, warga sekitar sini bisa berwirausaha,'' tandasnya. (rio/upi/alb/ari)

Sumber: JawaPOS edisi Senin 11 januari 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar