Perlindungan dan Pengelolaan Ekowisata Mangrove Wonorejo
Oleh : Ninuk Dyah Ekowati (Guru SMAK ST Hendrikus Surabaya)
Tanggal : Rabu, 12 Mei 2010
SURABAYA terletak di 7 derajad LS � 7 derajad 30' LS dan 112 derajad 30' BT � 113 derajad BT. Di bagian utara dibatasi oleh selat Madura. Oleh karena itu, Surabaya merupakan wilayah yang strategis yang memungkinkan untuk didirikan pelabuhan Tanjung Perak. Pendirian pelabuhan memberikan kemungkinan dalam pengembangan wilayah Surabaya sehingga berpengaruh juga sebagai factor pendorong untuk didirikankan bandara Juanda. Dengan kedua sarana transportasi tersebut memperlancar perdagangan dan interaksi antarkota. Tingkat interaksi antar kota yang tinggi dan perdagangan yang lancar selanjutnya memberikan pengaruh perubahan perekonomian Surabaya mengacu pada industrialisasi.
Sementara itu, Surabaya merupakan wilayah yang subur karena Surabaya merupakan wilayah endapan delta. Delta tersebut berasal dari endapan yang dibawa oleh sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Keadaan ini sebenarnya memberikan kemungkinan bagi pertanian karena Surabaya merupakan wilayah yang subur.
Dalam sejarahnya Surabaya juga berpotensi dalam pertambangan yaitu minyak bumi. Namun dalam perkembangannya ternyata cebakan minyak bumi di Surabaya tidak mendukung dalam eksploitasi guna pemenuhan kebutuhan hidup.
Posisi Surabaya juga mempunyai potensi dalam matapencaharian nelayan dan pariwisata karena Surabaya membujur pantai utara selat Madura.
Berdasarkan uraian potensi Surabaya tersebut memberikan peluang terjadinya interaksi antara wilayah Surabaya dengan wilayah yang lain. Salah satu dampak interaksi dari interaksi tersebut adalah dinamika perkembangan dan pertumbuhan perekonomian yang pada akhirnya menuju pada industrialisasi yang terjadi di Surabaya. Dampak yang lain adalah adanya migrasi penduduk yang besar-besaran menuju kota Surabaya.
Migrasi penduduk menuju Surabaya merupakan sebuah gejala terjadinya keseimbangan antara jumlah manusia dan kapasitas potensi lingkungan alam. Kondisi lingkungan Surabaya yang tereksploitasi dari tahun-ke tahun memberikan pengaruh terhadap kapasitas alam yang semakin minim. Sementara laju migrasi penduduk tidak dapat ditahan. Kedua kondisi inilah yang menyebabkan ketidakseimbangan alam yang pada akhirnya menimbulkan masalah lingkungan.
Masalah lingkungan dari waktu ke waktu semakin mempengaruhi kualitas lingkungan hidup. Kualitas lingkungan hidup yang merosot dapat dibuktikan dengan adanya berbagai polusi; polusi air, polusi tanah, dan polusi udara. Berbagai polusi tersebut memberikan pengaruh lanjutan yaitu global warming dan berkurangnya habitat di permukaan bumi.
Pengaruh-pengaruh tersebut akan terus menggerogoti kapasitas lingkungan alam. Salah satu kapasitas alam yang semakin merosot adalah keberadaan hutan bakau. Banyaknya perumahan yang tumbuh di daerah pesisir pantai membawa dampak yang sangat besar terhadap kondisi lingkungan hutan bakau. Pesatnya perkembangan pemukiman dan kota telah meningkatkan jumlah sampah baik padat maupun cair yang merupakan sumber pencemaran pesisir dan laut yang sulit dikontrol.
Demikian juga yang terjadi di hutan bakau Wonorejo. Penumpukan sampah terjadi di daerah muara sungai yang dibawa oleh Kali Jagir Surabaya sebagai aliran sungai dari Sungai Brantas. Pada dasarnya tumpukan sampah disebabkan oleh perumahan disekitar bantaran Kali Jagir. Perumahan yang padat dan kumuh serta tidak dilengkapi pembuangan sampah sehingga sampah dibuang langsung ke Kali Jagir. Ternyata kondisi ini diperparah dengan adanya sampah akibat kiriman dari berbagai wilayah yang dilalui oleh Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Jadi walaupun kita berada jauh dari wilayah sungai maka setiap sikap dan perilaku kita terhadap lingkungan contohnya dalam pembuangan sampah yang kurang benar dapat memberikan pengaruh dampak buruk terhadap kondisi di wilayah di Wonorejo.
Surabaya sebagai kota industrialisasi tentu menghasilkan limbah kimia (berupa sianida, timah, nikel, khrom, dan Iain-lain) yang dibuang dalam jumlah besar ke aliran sungai sangat potensial mencemari perairan pesisir dan laut, terlebih bahan sianida yang terkenal dengan racun yang sangat berbahaya.
Baik polusi padat maupun cair dapat mempengaruhi kerusakan lingkungan hidup. Kerusakan lingkungan hidup ini ditunjukkan dengan berkurangn populasi hutan bakau. Bibit hutan bakau tidak mempunyai kesempatan untuk tumbuh dengan baik karena terkena sampah padat maupun cair. Sementara, kebutuhan manusia akan kayu juga mengancam keberadaan hutan bakau di wilayah Wonorejo. Hal ini terbukti dengan berkurang populasi hutan bakau seluas 2.5 ha. Berdasar kondisi ini tentu sangat mempengaruhi habitat sungai yang terdapat di Wonorejo. Secara tidak langsung kondisi ini akan mengurangi penghasilan para nelayan karena semakin berkurangnya populasi ikan di daerah Wonorejo.
Jika kondisi ini berlanjut maka menurut Bengen, 2001 menyatakan bahwa hutan mangrove mempunyai fungsi sebagai berikut:
- Sebagai penahan dari gelombang laut sehingga mencegah penyempitan daratan
- Sebagai penahan dari angin badai karena dengan adanya hutan mangrove tidak terjadi perbedaan yang mencolok antara suhu di daratan dan lautan sehingga menyebabkan perbedaan tekanan udara yang mencolok yang pada akhirnya memunculkan badai
- Pelindung pantai dari pengaruh abrasi yang berfungsi untuk menahan seluruh endapan yang dikembalikan oleh gelombang laut
- Pelindung bagi habitat udang, kepiting yang secara umum melindungi biota laut.
Intrusi air laut juga menyebabkan korosi bagi fondasi bangunan yang terdapat di daratan. Keberadaan bangunan akan cepat runtuh karena fondasi bangunan digerogoti oleh air asin.
Kerusakan hutan bakau yang terjadi di Wonorejo perlu dihindari sebelum bencana alam terjadi di permukaan bumi khususnya di Surabaya. Langkah pengelolaan secepat mungkin harus diambil demi penyelamatan lingkungan.
Berdasarkan ketetapan Pemerintah Indonesia pada tanggal 7 Mei 1999 berupa UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan motivasi bagi penduduk di kelurahan Wonorejo yang peduli terhadap lingkungan untuk dapat mengelola wilayah hutan bakau dengan benar. UU no. 22 tahun 1999 merupakan pendorong dan dasar berdirinya ekowisata Mangrove Wonorejo.
Ekowisata Mangrove Wonorejo mencoba merangkak untuk melalukan pengelolaan wilayah bantaran Kali Jagir sampai wilayah Wonorejo secara terpadu. Setiap sistem dalam masyarakat dikerahkan dalam upaya penyelamatan lingkungan dan kelestarian hutan mangrove.
Dalam pengelolaan Ekowisata Mangrove Wonorejo pada mulanya mengalami kesulitan. Hal ini disebabkan pemerintah harus melakukan sosialisasi pada penduduk yang tinggal di bantaran kali Jagir sampai sepanjang wilayah Wonorejo untuk pindah dari pemukiman di sepanjang bantaran tersebut. Tentu saja hal ini mengalami hambatan yang cukup berat. Namun, langkah pemindahan pemukiman liar di wilayah tersebut harus dilakukan dengan pertimbangan kesinambungan Surabaya untuk waktu yang akan datang. Para penduduk yang dapat menunjukkan sebagai penduduk asli Surabaya maka diberikan jalan keluar dengan menyediakan rumah susun yang letaknya di wilayah Wonorejo. Sementara itu, mereka yang menjadi migran diminta untuk kembali ke daerah masing-masing atau menyewa rusun di daerah Wonorejo.
Proses ini tentu membutuhkan waktu yang sangat panjang, melalui tahap sosialisasi dan penyadaran. Pada akhirnya sampai ditempuh langkah dengan cara memaksa penduduk secara paksa untuk pindah dari pemukiman. Nampaknya hal ini kurang manusiawi, namun langkah ini harus ditempuh sebelum secara keseluruhan potensi alam dan keadaan lingkungan Surabaya mengalami proses ketidakmampuan dalam mendukung kehidupan seluruh penduduk di Surabaya.
Setelah melalui proses yang sangat berat dengan pembersihan pemukiman di sekitar bantaran Kali Jagir sampai wilayah Wonorejo maka mulailah disusun inventarisasi masalah sesuai dengan fakta yang terdapat diwilayah tersebut, kendala yang terjadi, langkah strategis dalam pengelolaan wilayah tersebut. Langkah tersebut nampaknya belum cukup jika tidak diikuti dengan kontrol dan evaluasi.
Permasalahan yang terjadi di wilayah ini adalah:
- Sampah yang mengalir disepanjang Kali Jagir
- Hutan bakau yang jumlahnya semakin menipis. Sepanjang sejarah lima tahun terakhir, ternyata telah terjadi pengurangan luas hutan bakau karena pembalakan sebesar 2.5 ha.
- Pembalakan liar hutan bakau, karena kayu bakau merupakan kayu bakar yang kualitasnya baik .
- Kesadaran para nelayan untuk melakukan perubahan terhadap langkah kelestarian lingkungan.
- Keikutsertaan masyarakat Surabaya dalam upaya pertanggungjawaban kelestarian Surabaya. Keikutsetaan masyarakat Surabaya dalam upaya pertanggungjawaban kelestarian lingkungan masih sekitar 25%, bahwa dari sekitar 2500 Rukun Warga hanya berkisar 300 Rukun Warga yang peduli terhadap tindakan kelestarian lingkungan.
- Habitat Bio laut yang junlahnya mengalami penurunan.
- Kesadaran masyarakat secara umum khususnya masyarakat yang tinggal di sepanjang Sungai Brantas dan Sungai Bengawan Solo dalam upaya kedisplinan pembuangan sampah dan pelestarian lingkungan.
- Kesadaran masyarakat nelayan untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitar.
- Adanya sekelompok masyarakat yang sering kali menggunakan wilayah ini untuk hal-hal yang kurang baik; contohnya mencoba membangun pemukiman di sekitar bantaran Kali Jagir sampai wilayah Wonorejo, membuka caf� untuk tujuan yang kurang benar yang pada akhirnya jika dibiarkan berkembang menjadi tempat prostitusi.
- Sumber daya manusia yang ditugaskan secara khusus untuk menangani konservasi hutan mangrove.
- Sarana dan biaya dalam pengelolaan wilayah Wonorejo.
1.Langkah preservasi yaitu langkah pengembangan biota laut yang menjadi endemic wilayah tersebut. Langkah ini telah diambil oleh EMW (Ekowisata Mangrove Wonorejo) dengan mengikutsertakan lembaga pendidikan untuk berperan serta dalam peningkatan kesadaran anak didik dalam pelestarian lingkungan dengan melakukan penanaman hutan mangrove di wilayah tersebut. Langkah ini dinilai efektif karena penerus bumi ini adalah generasi muda, dengan mengajak para anak didik melihat fakta yang terjadi, memprediksikan akibat yang terjadi jika tidak terdapat tindakan penyelamatan terhadap lingkungan alam, melakukan penanaman hutan mangrove, maka anak didik akan lebih peka, peduli dan bertanggungjawab terhadap kondisi di sekitar.
2.Langkah konservasi yaitu langkah yang menunjuk bahwa wilayah Wonorejo diperuntukan bagi kegiatan pembangunan. Kegiatan pembangunan ini dimaksudkan untuk mengembangkan kawasan hutan mangrove dan habitat monyet untuk kegiatan wisata alam. Langkah konsevasi di Wonorejo dilakukan dengan melakukan penanaman hutan bakau di wilayah pasang-surut sebagai pengganti dari hutan bakau yang telah musnah. Pengembangan penanaman hutan bakau dengan menggunakan bambu yang didalamnya telah dimasuki bibit bakau selanjutnya ditancapkan atau ditanam di daerah pasang-surut. Dalam langkah ini pihak EMW telah menjalin kerjasama dengan pemerintah setempat dan PT. GIA dalam mengembangkan hutan mangrove dan populasi monyet.
3.Tingkatan pemanfaatan yaitu langkah pembangunan yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Kegiatan pembangunan ini juga dikembangkan sebagai wilayah pertambakan dan industry pariwisata pemancingan dan jet ski. Namun kegiatan tersebut masih membutuhkan pengelolaan lebih lanjut karena kondisi sekarang ini masih dalam taraf menuju pada langkah konservasi. Dibutuhkan uluran tangan bagi yang peduli dalam pelestarian lingkungan baik biaya, waktu dan tenaga. Usaha yang sedang dikembangkan adalah wisata naik perahu menyusur Kali Jagir sampai muara sungai.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka EMW telah berusaha mewujudkan pembangunan yang menjangkau bidang social, ekonomi dan ekologis. Dalam bidang social EMW telah mengajak segenap system dalam masyarakat untuk mewujudkan penataan wilayah Wonorejo. EMW telah mengajak pemerintah, lembaga pendidikan dan terlebih masyarakat sekitar yang terdiri dari para nelayan untuk memelihara hutan bakau untuk mempertahankan biota laut.
Secara ekonomi; EMW telah mengajak masyarakat nelayan disekitar untuk membaharui kondisi pesisir, jika kondisi pesisir pantai penuh dengan hutan bakau maka habitat laut akan berkembang dan akan meningkat perekonomian nelayan, usaha wisata yang berkembang akan memberikan pengaruh bagi kondisi perekonomian nelayan. Hal ini ditunjukkan dengan kepedulian masyarakat sekitar terhadap oknum-oknum pembalakan liar hutan bakau. Masyarakat sekitar yang terdiri dari para nelayan melakukan penangkapan terhadap pelaku pembalakan liar hutan mangrove.
Kegiatan inipun membawa dampak ekologis; membaharui hutan bakau, mengurangi abrasi, mengurangi intrusi, meningkatkan biota laut, usaha pencegahan penyempitan daratan, dan sebagainya.
Pembangunan yang berjalan di Wonorejo adalah pembangunan yang menyertakan masyarakat sekitar, merupakan pembangunan yang menitikberatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan yang memberikan peluang bagi para nelayan untuk lebih berkembang dan meningkatkan kesejahteraan tidak saja pada sektor perikananan,wisata namun juga sektor konservasi. Pembangunan yang mengaspirasi masyarakat kecil dan pembangunan yang mengaspirasi lingkungan hidup.(*)
Sumber: Mediaindonedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar