Sabtu, 16 Januari 2010

Artikel Arief Santosa di Jawa Pos

Awal tahun 2010, kawasan pamurbaya merupakan spot yang paling banyak disorot media. Berikut ini adalah tulisan dari Wartawan Jawa Pos, Arief santosa di Harian Jawa Pos edisi hari Sabtu, 16 Januari 2010.

Menggarap Wisata Wonorejo


Surabaya punya satu lagi objek wisata baru: Ekowisata Mangrove Wonorejo (EMW). Setelah tiga tahun beroperasi, kemarin (15/1) kawasan wisata berobjek hutan bakau itu ''diresmikan''. EMW diharapkan menjadi tempat rekreasi alternatif yang memperkaya khazanah pariwisata Surabaya.

Situs wisata itu terdapat di pesisir timur Surabaya. Secara geografis, letaknya di wilayah Kelurahan Wonorejo, Kecamatan Rungkut. Dari pusat kota, pengunjung hanya memerlukan waktu 45 menit hingga sejam (naik motor atau mobil) untuk sampai di tujuan.

Memang, belum semua akses menuju lokasi beraspal. Ada sekitar 2,5 km jalan yang masih dibiarkan seperti aslinya alias jalan tanah. Meski begitu, tetap bisa dilalui kendaraan.

Yang jelas, begitu tiba di lokasi, pengunjung akan langsung mendapat suasana berbeda. Seperti bukan di Surabaya. Hawanya terasa segar dengan angin pesisir yang bertiup semilir. Tak ada keriuhan. Tak ada polusi udara dari asap pabrik maupun knalpot kendaraan. Benar-benar alami.

Wisata itu menawarkan pemandangan alam yang menyegarkan mata dan pikiran. Lebih dari lima hektare hutan bakau (mangrove) membentang di tepian Selat Madura tersebut. Kawasannya meliputi dua kanal sungai besar Surabaya, yakni Sungai Wonokromo dan Sungai Kebon Agung. Juga ada Boezem Wonorejo sebagai dermaga awal pemberangkatan perahu wisata.

Ya, wisata itu dinikmati menggunakan perahu motor berkapasitas 40 orang. Pengelola EMW, Forum Komunikasi Polisi Masyarakat (FKPM) Wonorejo, mempunyai satu unit perahu yang akan mengangkut pengunjung menyisiri hutan bakau. Saat itulah pengunjung merasakan sensasi wisata alternatif ini.

Di sepanjang rute (ada dua rute yang ditawarkan: panjang dan pendek), pengunjung akan disuguhi pemandangan menakjubkan. Ada tanaman bakau yang akar-akarnya mencuat eksotis. Ada aneka burung yang beterbangan kian-kemari. Ada berbagai binatang air yang menyambut di pinggir-pinggir pantai. Pokoknya asyik.

Dari pos pantau satu ke pos pantau dua, pengunjung juga bisa melaluinya dengan berjalan kaki. Pengelola telah membuatkan ''jalan'' dari anyaman bambu yang berkelok-kelok di tengah ''hutan'' itu. Ada juga tambak ikan bandeng, udang, dan kepiting yang bisa dipancing atau dijaring (tentu tidak gratis).

Di pos dua, pengunjung mendapat jamuan makan siang dengan menu khas EMW: bandeng sampit dan bandeng lempung dengan sambal terasi yang nikmatnya bukan main ketika disantap dengan nasi yang masih kemebul.

***

Memang masih banyak catatan yang perlu dibenahi pengelola untuk ''menyempurnakan'' fasilitas EMW. Mulai jalan akses yang masih berupa tanah (makadam) dan sempit, tebaran sampah yang ''menghiasi'' di sana-sini, dan belum adanya sarana-prasarana tempat wisata lainnya. Misalnya, stan-stan penjual suvenir dan makanan. Juga, papan penunjuk lokasi yang minim, sehingga sering membingungkan orang yang bermaksud menuju objek wisata alam itu. Intinya, EMW masih kurang ''ramai'' sebagai tempat wisata.

Tapi, bisa jadi, setelah ''diresmikan'' kemarin, EMW akan menjadi jujukan wisata masyarakat Surabaya dan sekitarnya. Nah, kalau sudah begitu, pasti pengelolanya akan kewalahan menghadapi luberan pengunjung. Taruhlah, misalnya, yang datang seratus orang hari itu. Mau tak mau, lebih dari separo pengunjung harus menunggu giliran perahu yang akan mengangkut mereka berwisata.

Sebab, pengelola baru memiliki satu unit perahu dengan kapasitas 40 orang. Padahal, untuk satu trip, dibutuhkan waktu 2-4 jam perjalanan. Akankah yang 60 orang disuruh menunggu selama itu?

Belum lagi pada hari-hari tertentu, misalnya libur sekolah atau Lebaran. Pasti pengunjung ''membeludak''. Karena itu, pengelola tempat wisata EMW harus bersiap-siap menerima banyaknya pengunjung. Selain harus menambah personel yang bertugas di titik-titik tertentu, pengelola mesti menyiapkan sarana-prasarana yang memadai, terutama menambah perahu agar mampu mengakomodasi luberan pengunjung.

Nah, sudah selayaknya Pemkot Surabaya cq dinas pariwisata kota memberi perhatian serius soal potensi wisata barunya itu. Sebab, EMW cukup menjanjikan dan menarik bagi para pencinta wisata alam yang mungkin sudah bosan dengan tempat-tempat wisata yang ada. Apalagi bagi turis manca yang gemar mengunjungi objek-objek wisata yang masih alami, EMW sangat cocok jadi tujuan wisata mereka.

Menurut survei Lembaga Kutilang Surabaya, di kawasan EWM terdapat 84 burung resident (menetap), 44 jenis burung migrant (pendatang), dan 12 jenis burung yang dilindungi. Yang paling menarik adalah banyaknya burung migrant dari berbagai negara yang mampir sejenak di EWM, silih berganti. Karena itu, di tempat tersebut sering ada turis asing yang secara khusus meneliti atau mengambil gambar burung-burung cantik yang hinggap di pohon-pohon mangrove di situ.

Kini tinggal menunggu turun tangan pemkot dan stakeholder di bidang kepariwisataan lain di kota ini untuk mengoptimalkan potensi wisata yang satu ini. Surabaya Tourism Board, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), asosiasi travel agen (biro perjalanan), dan pengelola wisata EWM harus bahu-membahu ngopeni ''yang kecil'' ini. Promosi, penyiapan infrastruktur, pemasaran, hingga optimalisasi pelayanannya perlu digarap bersama. Sebab, kalau dibiarkan apa adanya, hasil yang diperoleh juga apa adanya.

Toh, di EWM, pemkot sudah tidak perlu bersusah payah menyulap kawasan di situ menjadi kawasan wisata. Pemkot tinggal memoles beberapa bagiannya agar kawasan itu pantas disebut objek wisata. (*)

Oleh: Arief Santosa, Wartawan Jawa Pos
Artikel ini diambil dari sini

Jumat, 15 Januari 2010

Artikel dari Surabaya.go.id

15/01/2010 16:20:10

Pemkot Bersih-Bersih Sungai dan Tanam Mangrove di Pamurbaya

Dinkominfo – Sebagai upaya peningkatan ekowisata dikawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya), Pemerintah Kota Surabaya melalui Dinas Pertanian mengadakan bersih-bersih sungai dan penanaman mangrove, Jum’at (15/1) di Boozem Wonorejo Kecamatan Rungkut.

Kegiatan dibagi menjadi tiga yakni upacara, bersih-bersih pantai dan penanaman mangrove. Bersih-bersih pantai dilakukan disepanjang muara sungai Jagir Wonorejo sedangkan penanaman mangrove dilakukan di sisi kanan sungai Jagir Wonorejo.

Dalam jumpa pers yang dilakukan Kamis (14/1), Kasi. Kehutanan Dinas Pertanian Kota Surabaya, Suzi Irawati Fauziah mengatakan bahwa saat ini sampah dimuara sungai Jagir Wonorejo mulai menumpuk dan semakin lama semakin meningkat.

Pada kegiatan yang menanam 5000 pohon ini, Walikota Surabaya Bambang DH berharap Pamurbaya dapat menjadi kawasan hutan lindung, dan diarahkan menjadi pusat edukasi, wisata serta riset flora dan fauna.

Pada kesempatan tersebut, selain Walikota Surabaya Bambang DH dan Wakil Walikota Surabaya Arif Afandi juga dihadiri Gubernur Jawa Timur Soekarwo serta Ketua DPRD Kota Surabaya Wisnu Wardhana. (*)



Sumber: Surabaya.go.id

Selasa, 12 Januari 2010

Kisah Fathoni sang Pembalak

Fathoni, Petani, mantan pembalak Mangrove, dan kini merupakan anggota aktif FKPM Ne, dikupas profilnya dalam Harian Jawa Pos, edisi Senin, 11 januari 2010. Harian terbesar di Jawa Timur tersebut menggambarkan Fathoni sebagai petani yang Merelakan Lahan Garapan untuk Wisata Mangrove Wonorejo. Berikut Tulisan lengkapnya.

Dulu Membalak Seenaknya, Sekarang Ikut Membudidayakan



Keberadaan Ekowisata Mang­rove Wonorejo tak bisa lepas dari pengorbanan orang-orang peduli lingkungan di kawasan itu. Salah satunya, pengorbanan Fathoni, petani yang merelakan 3 hektare lahan garapannya untuk lokasi wisata bahari tersebut.

---

LELAKI 52 tahun itu tampak bersemangat setiap kali diajak berbicara soal wisata hutan mangrove (bakau) Wonorejo. Dia begitu menguasai dan menjiwai. ''Sejak 1994 saya menanam mangrove. Jadi, ya sudah nglothok,'' ungkap Fathoni, lelaki yang rambutnya mulai memutih itu.

Keahliannya menanam mangrove merupakan bakat alam. Baru belakangan Fathoni mendapat banyak wawasan dari dinas pertanian yang memberi pelatihan. Dia memang memiliki tanah garapan di pesisir pantai timur Surabaya itu. Surat bukti objek pajak yang menyebut namanya sebagai pembayar pajak untuk tanah tersebut menjadi alasan pengakuannya. Tapi, bukan tanah milik.

Semula ada sekitar 5 hektare lahan yang digarap bapak tiga anak itu. Lahan tersebut dikelilingi hutan mangrove. Dia membuat berpetak-petak tambak di sela-sela hutan. Di samping menambak, Fathoni dulu kerap menebangi tanaman mangrove itu untuk dijual.

Dalam perkembangannya, lahan tersebut sedikit demi sedikit terkena abrasi air laut sehingga sekitar 2 hektare tanahnya terkikis. Beberapa petak tambaknya pun rusak. Hutan mangrove-nya juga mulai ''gundul''.

''Sebenarnya saya juga menanam mangrove untuk peremajaan. Tapi, pertumbuhannya kalah cepat daripada kerusakannya,'' ujar petani yang rumahnya tak jauh dari kawasan wisata mangrove itu.

Pada 2008 aktivitas penebangan liar mangrove yang dilakukan Fathoni terendus polisi. Dia pun dibawa ke Mapolsek Rungkut untuk dimintai keterangan. Awalnya dia heran, mengapa dirinya ditangkap karena memanen tanaman di lahan sendiri. Petugas lalu menjelaskan bahwa tanaman mangrove termasuk tumbuhan yang dilindungi. Dengan demikian, pembalakan dengan alasan apa pun di tepi laut Wonorejo tidak diperbolehkan.

Fathoni tersadar, penebangan mangrove yang dilakukannya salah dan merusak lingkungan. ''Sejak itulah saya merelakan 3 hektare lahan garapan saya dipakai menjadi bagian dari proyek pelestarian lingkungan di Wonorejo ini,'' tuturnya.

Tidak hanya itu. Fathoni juga berjanji mengganti setiap 200 pohon mangrove yang pernah ditebang dengan seribu pohon baru. Janji itu kini sudah terbukti. Di lahan yang pernah dibabatnya dulu, kini tampak ribuan pohon mangrove baru. Tangannya ternyata cukup ''sakti'' untuk menanam tanaman bakau tersebut. Pasalnya, untuk menanam mangrove, dibutuhkan ketelatenan dan kesabaran yang luar biasa.

''Menanam mangrove itu ibarat membina rumah tangga, harus penuh perhatian dan kasih sayang," ujarnya lantas tersenyum.

Selain lahan mangrove, Fathoni mengikhlaskan sisa-sisa tambaknya untuk dijadikan fasilitas Ekowisata Mangrove Wonorejo. Di tambak itu, para pengunjung bisa memancing atau menjala aneka ikan. Ada bandeng, udang, kepiting, dan jenis ikan lain.

Dia berharap, Ekowisata Mangrove Wonorejo akan menjadi tempat wisata alternatif Surabaya yang menarik perhatian masyarakat. Di tempat itu, menurut rencana, akan didirikan stan-stan pusat jajanan dan kerajinan khas Wonorejo. ''Dengan begitu, warga sekitar sini bisa berwirausaha,'' tandasnya. (rio/upi/alb/ari)

Sumber: JawaPOS edisi Senin 11 januari 2010

Senin, 11 Januari 2010

Artikel Dari Jawa Pos Edisi Januari 2010

Ekowisata Mangrove Wonorejo, Wisata Alternatif Surabaya


Wisata alam itu kini pengelolaannya dipegang Lembaga Ekowisata Wonorejo, Forum Komunikasi Polisi Masyarakat (FKPM) Kecamatan Rungkut. Di lokasi itu, selain bisa menikmati segarnya hawa pesisir, pengunjung bisa berkeliling menyusuri pantai berhutan bakau tersebut.
Pengelola telah menyiapkan sebuah perahu motor berkapasitas maksimal 40 orang untuk menikmati keindahan lokasi itu. Untuk pengamanan, pengelola juga menyediakan pelampung dan fasilitas wisata lainnya. ''Harga sewa perahunya murah kok. Cuma Rp 350 ribu. Padahal bisa dinaiki 40 orang,'' ujar Irvan Widyanto, camat Rungkut, yang kemarin mendampingi tim Jawa Pos menyusuri hutan bakau di Wonorejo.
Perahu akan bergerak dari dermaga Sungai Wonokromo menuju Selat Madura. Sepanjang perjalanan itu pengunjung menikmati rimbunnya hutan mangrove dan vegetasinya. Di kanan dan kiri sisi sungai terlihat akar-akar bakau yang mencuat di sana-sini.
Dari dermaga, perahu menuju pos pantau pertama yang letaknya berdekatan dengan pos pantau Gunung Anyar yang terletak di atas Sungai Kebon Agung. ''Waktu tempuhnya sekitar 10 menit,'' tutur Irvan.
Selama perjalanan menuju pos pantau mangrove itu, pengunjung akan disuguhi pemandangan nan indah dengan burung-burung yang beterbangan dan hinggap di ranting-ranting pohon mangrove. ''Wah, Surabaya ternyata punya pemandangan alam yang begitu indah, ya,'' kata Omar Faruq, salah seorang pengunjung.
Perahu yang ditumpangi Jawa Pos kemarin berisikan sekitar 15 orang. Selain keluarga Omar, juga ada keluarga Indra Budi Hermawan yang tinggal di kompleks Wiguna. Pengunjung kebanyakan masih asing, sekaligus terperangah dengan keindahan Ekowisata mangrove Wonorejo. Dari pos pantau satu ke pos pantau dua, pengunjung bisa berjalan kaki menyisiri jalan setapak dari bambu yang membelah hutan mangrove. Jaraknya tak lebih dari 30 meter. Di pos pantau dua, pemandangan lebih bagus lagi. Pengunjung bisa menikmati view Selat Madura dari gazebo di situ.
Di pos itu pula pengelola menyiapkan sajian makanan. Ada bandeng sapit dan bandeng lempung khas Wonorejo. Rasanya pedas campur asam. ''Ini, khas makanan pesisir,'' tutur Irvan.
Pagi hari merupakan waktu yang tepat untuk berkunjung ke Ekowisata Mangrove Wonorejo. Udara yang sejuk serta aktivitas penghuni habitat di situ bisa ditemui, termasuk para nelayan yang sedang melaut. ''Kalau pagi, biasanya airnya surut,'' tutur Djoko Suwondo, ketua Lembaga EMW.
Menurut dia, saat pagi itulah banyak burung yang hinggap di ranting-ranting pohon mangrove. Burung-burung itu kebanyakan merupakan burung migrasi dari berbagai dunia seperti Tiongkok, Finlandia, dan Australia. ''Banyak turis asing datang untuk melihat burung-burung di sini,'' tuturnya.
Menurut penelitian Lembaga Kutilang Surabaya, ada 84 jenis burung resident (menetap), 44 jenis burung migran (pendatang), dan 12 jenis burung yang dilindungi yang mampir di Ekowisata Mangrove Wonorejo. ''Yang paling banyak kunthul putih,'' tuturnya.
Sumber : JawaPos

Selasa, 22 Desember 2009

Artikel dari Unesa.ac.id

KENALKAN BATIK SERU KEKANCAH INTERNASIONAL


[ 22 Desember 2009 ]

LULUK SRI YULIANI (ALUMNI UNESA)

Senin (26/10) di Gramedia Expo Lulut memajang hasil kreasinya batik khas Suroboyo yang lebih dikenal dengan sebutan batik Seru, yakni batik yang berasal dari sisa limbah mangrove. Bahan dasar batik ini memiliki makna tersendiri yaitu sebuah gerakan sosial cinta lingkungan melalui batik. Inovasi batik berjajar di antara puluhan batik lain yang berasal dari kota-kota di Jawa Timur.

Penamaan batik Seru berasal dari kependekan kata ”Seni Batik Mangrove Rungkut Surabaya”. Selain kependekan dari frasa Seni batik Mangrove Rungkut Surabaya, nama itu saya anggap mudah diingat dan lagi pembuatan ini menggambarkan bahwa batik adalah karya seni yang seru,” ungkap Lulut yang pernah bercita-cita sebagai biarawati. Berawal dari kekhawatiran dan empati yang besar terhadap lingkungan, Lulut berupaya menjaga kelestarian lingkungan mulai dari dirinya.

Batik Seru ini memang ekslusif karena dibuat hanya berdasarkan pesanan para pelanggannya. Para pelanggannya itu kebanyakan berasal dari kalangan atas. Harganya yang ditawarkan berkisar antara enam ratus ribu hingga satu juta rupiah. Harga ini memang sepadan dengan proses pembuatannya yang rumit dan membutuhkan waktu satu bulan. Harga tersebut diprediksi akan mengalami kenaikan pada awal 2010 karena Batik Seru mulai memasuki pangsa pasar internasional. Awal 2010 nanti, Bambang D.H., mengajak Lulut yang juga alumnus bahasa Jawa Unesa ini ke Kanada dan Amerika Serikat untuk mempromosikan Batik Seru sebagai batik khas Surabaya. Selain itu, di dua negara besar itu, Lulut akan mendemonstrasikan kepiawaiannya dalam melukis batik.
Lulut memang patut diteladani sebagai perempuan teladan yang mampu berjuang mengentaskan kemiskinan melalui batik dengan berbagi ilmu dan pengalaman kepada warga Rungkut Surabaya. Saat ini telah ada enam puluh orang yang sudah mendapat penyuluhan di bawah binaannya. Berdasarkan ide kreatif dan cerdasnya, limbah mangrove itu ternyata tidak hanya dibudidayakan menjadi bahan pembuatan batik. Produk lain yang juga dihasilkannya adalah limun, sabun khusus untuk perawatan batik, dan pencuci tangan.

Tak hanya itu, pengabdian kepada masyarakat yang telah ditasbihkan semenjak ia sembuh dari lumpuh adalah pembinaan pengembangan potensi anak. Aktivitas rutin yang dilakukan di Wisma Kedung Asem Indah, RT 7/RW 5 Kelurahan Kedung Baruk, Kecamatan Rungkut tersebut adalah membina anak-anak sekolah dasar hingga pendidikan tinggi yang tergabung dalam kelompok Seni Batik Animasi Anak (Sitania). Kelompok binaan ini, dipimpin Nadia Chirssanty Halim, putri Lulut yang berusia 11 tahun. Dalam kegiatan-kegiatannya Lulut akan dibantu oleh Sos Comunity dan beberapa tim perusahaan terkenal.

”Saya sangat cinta dengan batik. Seni membatik merupakan karya seni dan ilmu pengetahuan yang wajib disalurkan kepada orang lain agar masyarakat dapat kreatif sekaligus mengentaskan kemiskinan,” ungkap Lulut menutup wawancara dengan reporter Humas Unesa.

[Humas_Wahyu/Lucky]
http://www.unesa.ac.id/unesa.php?s=berita&xkd=209

Sabtu, 19 Desember 2009

Artikel dari Erabaru.net

Pemberdayaan Mangrove



Epoch Times Sabtu, 19 Desember 2009

alt

SURABAYA - Minggu, 13 Desember kemarin, radio Suara Surabaya, Pemkot Surabaya, Sampoerna untuk Indonesia, mahasiswa dari beberapa universitas di Surabaya dan komunitas pecinta lingkungan mengadakan acara yang bertujuan untuk membersihkan dan menanam mangrove dengan mengambil lokasi di hutan mangrove Wonorejo Surabaya.

Dalam acara tersebut para peserta diminta untuk menyatakan kesediaannya dalam kegiatan penanaman bibit mangrove dan pembersihan sampah di kawasan konservasi hutan mangrove Wonorejo Surabaya. Bersedia menjaga dan mengawasi kelangsungan hidup mangrove beserta ekosistemnya. Memberikan bantuan untuk disumbangkan bagi pengembangan kawasan tersebut.

Dalam kesempatan ini pula, bapak Muchson atau yang lebih sering disapa Soni pelopor pemberdayaan tanaman mangrove, menunjukkan beberapa hasil pangan olahan dari buah Bogem, salah satu jenis dari tanaman mangrove. Pangan tersebut antara lain dodol, sirup, permen dan masih beberapa lagi. Dari jenis bakau lain bahkan ada yang dapat menjadi bahan pengganti beras, dijadikan tepung, garam dan cendol.

“Saya sejak 1998 sudah mulai melakukan pembersihan, pengamatan, meneliti dan mencoba mengolah buah hasil tanaman mangrove ini. Saya mencoba untuk menjadikannya panganan. Seperti sirup, dodol dan permen. Sampai saat ini pemasarannya cukup baik dan mulai banyak dikenal masyarakat. Selain itu yang terpenting kami berusaha terus untuk menjadikan daerah konversi ini terbebas dari pencemaran atau sampah, serta memberdayakan untuk kesejahteraan terutama masyarakat sekitar konversi.”

Dari kelompok lain ibu Lulut merupakan kelompok pemberdayaan perempuan, yang memanfaatkan limbah-limbah dari bahan olahan yang dimanfaatkan kelompok pak Soni. Antara lain memanfaatkan daun, akar, kulit buah dan buah yang masih muda sebagai bahan pewarna kain. Yang tepatnya untuk bahan pewarna batik, dikenal sebagai batik mangrove.

“Saya berawal dari pemerhati lingkungan, saya mulai mencoba untuk berusaha memanfaatkan juga limbah mangrove yang ada. Selain itu kami berusaha mengolah bahan-bahan yang ada untuk sabun cuci, ragi tempe, krupuk ikan, minuman, snack dan pewarna batik.”

Kegiatan yang dimotori oleh radio SS ini menurut Errol Jonathans, Operational Director SS, merupakan salah satu kepedualiannya pada hal-hal yang kurang mendapat perhatian dari khalayak. Diharapkan dengan mengangkat masalah ini, dapat menarik perhatian yang lebih luas. Masyarakat lebih peduli dengan lingkungan yang ada di sekitarnya.

“Kami berusaha mengangkat hal-hal yang kurang diminati oleh masyarakat padahal ini masalah sangat penting bagi lingkungan. Seperti dengan adanya kegiatan ini maka sebagai media kami mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk lebih peduli dengan lingkungan sekitarnya.” (ET_Sby/Amelia)


Sumber: erabaru.net

Rabu, 02 Desember 2009

Rekam Jejak Polmas; Dari Gagasan Menuju Perubahan

Tokoh masyarakat Cirebon dan Kepolisian Cirebon sedang mendiskusikan  penanganan kasus trafiking yang terjadi di Cirebon beberapa waktu yang lalu.Sistem perpolisian Jepang, misalnya, muncul dari konteks budaya samurai, satu sistem yang sangat militeristik. Jepang memulai community oriented policing dengan sistem koban dan chuzaicho di masa Meiji, sekitar 110 tahun yang lalu. Kata koban dalam bahasa Jepang berarti sebuah “kotak terbuka”. Koban adalah sebuah “kotak polisi” atau “pos polisi” yang terbuka selama 24 jam untuk melindungi masyarakat. Kata yang secara harfiah berarti “terbuka”, itu juga mengandung makna bahwa pos polisi tersebut digunakan sebagai “tukar pendapat secara bebas” antara polisi dengan masyarakat. Bentuk lain dari Koban di daerah pedesaan adalah chuzaiso, yaitu sebuah pos polisi yang dihuni.

Chuzaiso berarti “tinggal di sana”. Ini adalah pos polisi di daerah pedesaan yang “terbuka”, dalam arti bahwa seorang petugas polisi ada di sana, di tengah masyarakat selama 24 jam. Di bagian depan ada ruang kantor untuk polisi dan di bagian belakang ada kamar-kamar untuk tempat tinggal. Kedua jenis pos polisi ini (koban dan chusaizo) melakukan kegiatan yang sama, yaitu perpolisian dengan pelayanan penuh kepada masyarakat.

Di negara Barat, model community oriented policing muncul karena kepolisian menyadari bahwa sebagian besar upaya mereka untuk “memerangi kejahatan” tidaklah efektif. Model patroli preventif, reaksi cepat terhadap tindak kejahatan, dan kegiatan tindak lanjut investigasi kriminal di polisi “tradisional” diteliti dan didapati bahwa kegiatan-kegiatan polisi tradisional semacam itu diperlukan, tetapi kalau hanya hal-hal tersebut yang dilakukan ternyata tidaklah cukup efektif untuk memerangi kejahatan. Lebih jauh lagi, penggunaan teknologi tinggi untuk memerangi kejahatan, merupakan hal yang membantu dan penting. Tetapi tidaklah cukup dengan itu saja, karena anggaran dan sumberdaya kepolisian seringkali tidak cukup untuk mendukung penggunaan “teknologi tinggi”, guna memerangi kejahatan.

Lalu bagaimana dengan konsep community oriented policing di negeri ini? Konsep community oriented policing Polisi Republik Indonesia (Polri), juga disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat Indonesia serta dengan cara dan dengan nama Indonesia. Tanpa mengenyampingkan kemungkinan penggunaan penerjemahan istilah yang berbeda terutama bagi keperluan akademis, secara formal oleh jajaran Polri, model tersebut diberi nama “Perpolisian Masyarakat”. Selanjutnya, secara konseptual dan operasional disebut “Polmas”.

Kamtibmas, Tanggung Jawab Masyarakat

Polmas dalam penyelenggaraan tugas Polri adalah sebagai filosofi, kebijakan dan strategi organisasional yang mendorong terciptanya suatu kemitraan baru antara masyarakat dengan polisi. Di sini polisi dan masyarakat bekerja sama sebagai mitra untuk mengidentifikasi, menentukan skala prioritas dan memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, seperti tindak kejahatan, narkoba, ketakutan akan tindak kejahatan, ketidaktertiban sosial dan ketidaktertiban fisik, dan kekurangan/persoalan masyarakat secara keseluruhan dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup di wilayah di mana Polmas diterapkan. Polmas menuntut adanya komitmen dari keseluruhan jajaran organisasi kepolisian pada filosofi Polmas.

Kini, pemikiran Polmas terus dikembangkan oleh banyak pihak termasuk di Indonesia. Asumsi dari perpolisian masyarakat yaitu, pertama keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas) adalah tanggung jawab masyarakat. Kedua, adanya institusi polisi tidak menghilangkan tanggung jawab masyarakat terhadap pemeliharaan kamtibmas, dan ketiga perlu kemitraan polisi dengan warga dalam pemolisian dan pemecahan masalah warga, terutama pada masalah-masalah sosial.

Dari berbagai literatur yang ada maupun penyimpulan yang dikemukakan dalam Skep Kapolri Nomor 737 Tahun 2005 tentang penyelenggraan Polmas, maka pengertian yang ada bisa disimpulkan pada tiga poin utama, yaitu membangun kemitraan dengan masyarakat, melakukan pemecahan masalah, dan perubahan internal polisi yaitu sikap pro aktif polisi sendiri dalam memberikan dukungan bagi keberhasilan Polmas. Berdasarkan Skep Kapolri prinsip-prinsip Polmas adalah, transparansi dan akuntabilitas, partisipasi dan kesetaraan, personalisasi, penugasan permanen, serta desentralisasi dan otonomisasi.

Memang selama ini kita telah mengenal program Kamtibmas semacam Siskamling dan Pamswakarsa. Begitu juga dengan terbentuknya Babinkamtibmas, yang meniru model Babinsanya TNI, namun sepertinya tidak cocok lagi di era sekarang. Karena tujuannya adalah hanya membuat masyarakat yang “patuh” pada aturan-aturan Kamtibmas, bukan masyarakat yang “sadar” akan pentingnya Kamtibmas.

Pada awalnya, pengertian Polmas belum menjadi kesepakatan bersama. Para pakar, instansi pemerintah maupun Polri sendiri, masih menafsirkan pengertian dan konsep Polmas sendiri-sendiri sehingga sangat membingungkan bagi anggota di lapangan. Ada yang mengartikan sebagai pemolisian masyarakat dan pembinaan kamtibmas maupun Community Oriented Policing (COP). Namun setelah dikeluarkan Surat Keputusan (Skep) Kapolri No. 737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan Tugas Polri, maka sebutannya menjadi perpolisian masyarakat (Polmas).

Dengan berbekal Skep tersebut, Bagian Bina Mitra menjadi ujung tombak kemitraan dengan masyarakat. Polri di tingkat Polres, merancang dan mendesain kegiatan Polmas dengan merangkul berbagai lapisan masyarakat, secara kewilayahan maupun sektoral. Terbentuknya sejumlah Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) merupakan wadah bertemunya aparat kepolisian dan masyarakat dalam ruang yang mengedepankan kebersamaan baik dalam pembahasan maupun tindakan. Tidak melulu dalam soal Kamtibmas, tetapi dalam isu-isu sosial lainnya. FKPM dalam proses berikutnya, tidak mesti melembaga bernama FKPM, tetapi bisa menggunakan perkumpulan atau organisasi kemasyarakatan yang sudah ada, semisal Karang Taruna, Lembaga Pemberdayaan Masyarakat, PKK, warga siaga dan lain sebagainya.

Dalam hal inilah pentingnya program Polmas atau dulu dikenal dengan COP (Civilian Oriented Policing), polisi yang berbasis masyarakat sipil. Program ini merupakan salah satu wujud dan arah polisi Indonesia masa depan sesuai yang diamanatkan dalam Tap MPR No.VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang Kedudukan TNI dan Polri. Berdasarkan dua TAP MPR tersebut Polri telah dinyatakan terpisah dari TNI. Diperkuat dengan keluarnya Keppres No 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Polri yang menyatakan Polri berkedudukan langsung di bawah Presiden. Diperkuat juga UU No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik Indonesia.

Deteksi Dini

Polri yang saat ini sedang melaksanakan proses reformasi untuk menjadi kepolisian sipil, harus dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan kehidupan masyarakat dengan cara mengubah paradigma dari menitik-beratkan pada pendekatan yang reaktif dan konvensional (kekuasaan) menuju pendekatan yang proaktif dan mendapat dukungan publik dengan mengedepankan kemitraan dalam rangka pemecahan masalah-masalah sosial (Sutanto, 2006). Polmas merupakan jalan untuk menuju kepolisian sipil, yaitu cara bertindak polisi yang humanis, mengedepankan hak asasi manusia, dan selalu berorientasi pada kepentingan masyarakat. Dalam rangka implementasi Polmas, salah satu kemampuan yang harus dipunyai oleh petugas Polmas adalah kemampuan deteksi dini.

Kemampuan deteksi dini dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan bahan keterangan atau informasi, agar bisa dipergunakan oleh pimpinan dalam proses pengambilan keputusan. Tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh petugas Polmas hanyalah pelaksana fungsi intelijen terbatas, yaitu melakukan deteksi, identifikasi, dan analisis terhadap gejala awal suatu kegiatan yang belum terjadi seiring dengan dinamika dan perubahan masyarakat.

Implementasi Polmas melalui optimalisasi deteksi dini oleh petugas polmas dan masyarakat merupakan langkah yang tepat dalam situasi seperti sekarang ini. Karena petugas Polmas akan bisa secara intensif berfungsi melakukan pengumpulan bahan keterangan terhadap dinamika dan perubahan masyarakat yang meliputi aspek statis dan dinamis dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk bisa menemukan gejala awal yang dapat menimbulkan gangguan keamanan baik dari sumber terbuka maupun tertutup. Deteksi dini menjadi sangat penting karena informasi awal akan adanya peluang konflik apabila tidak dihambat bisa menimbulkan gangguan keamanan.

Menciptakan Rasa Aman

Dalam rangka melakukan antisipasi untuk mengatasi konflik melalui deteksi dini, maka yang dilakukan Polri adalah melakukan tindakan proaktif. Hal ini dilakukan agar potensi-potensi yang ada dalam setiap komunitas diaktifkan sebagai mitra polisi dalam menciptakan rasa aman pada setiap warga dan kehidupan sosial. Kegiatan ini selanjutnya dapat digunakan untuk mendorong terciptanya kegiatan-kegiatan kondusif bagi produktivitas masyarakat. Jika melihat proses ini, maka akan tampak adanya keterkaitan antara implementasi Polmas dalam upaya mengatasi konflik. Terdapat tiga pilar dalam Polmas yaitu kesetaraan (partnership), pemecahan masalah (problem solving) dan pro aktif.

Optimalisasi deteksi dini menunjukkan tiga hal tersebut, yaitu melalui informasi yang diperoleh petugas Polmas akan ditindak lanjuti dengan sikap pro aktif polisi untuk mengaktifkan potensi pada tingkat lokal. Potensi tersebut akan menimbulkan partisipasi masyarakat untuk mau menjadi mitra Polri yang merupakan partnership. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah dalam hal mengatasi konflik, bagian proses ini merupakan bentuk dari problem solving. Deteksi dini diperlukan agar apabila ada potensi konflik berupa penolakan atas perbedaan, bisa diantisipasi sebelumnya. Antisipasi ini akan merupakan kebijakan atau kegiatan oleh Polri untuk menciptakan situasi kondusif dalam kerangka Kamtibmas. (disarikan dari berbagai sumber)


(Tulisan ini dimuat dalam Buletin Blakasuta Edisi 24 bulan Oktober atau di sini)