Senin, 23 Mei 2011 | 11:48 WIB
Surabaya – Pemkot meminta polisi mengusut tuntas adanya bukti kepemilikan sertifikat di lahan mangrove. Sebab sejak pertengahan tahun 2002 Pemkot sudah mengirim surat ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya agar tidak mengeluarkan sertifikat di atas lahan mangrove di seluruh pantai di Surabaya. ”Tapi, kalau sertifikat itu terbit sebelum 2002 berarti pihak Lurah Kejawenputih pada era itu yang bermain,” kata Wakil Walikota Bambang DH, Senin (23/5).. Seperti diketahui, sertifikat yang dimiliki M Sholeh, salah satu terperiksa kasus pembalakan di mangrove Wonorejo dari BPN Surabaya diterbitkan tahun 1992. Dari kepemilikan sertifikat dari BPN itulah, Sholeh membuka kawasan pesisir tersebut untuk dijadikan area tambak. Menurut dia, memang ada oknum kelurahan di era sebelum dia menjabat sebagai wakil walikota Surabaya sejak 1999-2002 yang ‘nakal’. Oknum lurah ini mau diiming-imingi duit oleh seorang broker tanah mangrove untuk dijadikan lahan reklamasi. Akhirnya, pembalakan mangrove terus terjadi dan kelurahan mengeluarkan surat keterangan untuk dijadikan dasar pengurusan sertifikat di BPN. Kasus pembalakan mangrove seperti itu, katanya, menjadi modus. Sebab, setelah ada pembalakan dan diterbitkannya sertifikat dari BPN lahan mangrove itu dijual ke pengembang perumahan. Selanjutnya, pengembang menyulap kawasan mangrorev itu menjadi kawasan perumahan elit. “Modusnya seperti itu dan hal itu bisa terjadi pada pembalakan mangrove di Kejawenputih tersebut,” ujarnya, tanpa mau menyebut siapa nama pengembangnya. Terkait dengan ini pemkot juga akan ikut meneliti sertifikat atas nama pembalak di atas mangrove. Paling tidak guna mencari solusi agar kasus serupa tidak terulang kembali seperti yang terjadi saat ini. Bambang mengaku sempat kaget ketika mendengar ada pembalak mangrove telah memegang sertifikat dari BPN Surabaya. Sebab, ia sudah mengirim surat kepada BPN agar tidak mengeluarkan sertifikat tanah di kawasan mangrove sejak 2002. Itu artinya, pemkot sudah melarang kepemilikan lahan mangrove sebagai lahan pribadi, karena lahan mangrove di pantai Surabaya sudah dijadikan kawasan konservasi. Bila saat ini ada pemegang sertifikat tanah di atas lahan mangrove, lanjutnya, polisi bisa menelusurinya tentang terbitnya sertifikat atas nama salah satu pembalak. Terutama kapan diterbitkannya sertifikat tersebut. Sertifikat Asli Sementara Waksatresimkrim Polrestabes Surabaya Kompol Sudamiran mengatakan, sertifikat yang dikantongi M Sholeh salah satu pembalak mangrove asli dekeluarkan BPN. Hasil pemeriksaan wakil dari BPN memang sertifikat yang dimiliki M Sholeh sertifikat itu tidak diragukan keabsahannya. “Sertifikat asli, bukan rekayasa,” katanya. Cuma, kata dia, dia tidak meneliti kapan sertifikat itu diterbitkan. Apakah sebelum 2002 atau sesudah 2002. Kini pemegang sertifikat belum dijadikan tersangka dan tidak ada penahanan. Namun, bila diperlukan pemeriksaan ulang M Sholeh siap datang ke Polrestabes. Disinggung kenapa bisa ada sertifikat atas nama M Sholeh, lanjutnya, yang mungkin salah dalam proses ini adalah pemkot sendiri. Pemkot hanya membuat perda rancana tata ruang wilayah (RTRW) No. 3/2007 tentang Pengaturan Tata Ruang Wilayah, tapi tidak membuat batas-batas yang pasti terhadap kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan mangrove atau konservasi. Akibatnya, banyak kawasan mangrove dicaplok orang-orang yang sengaja ingin menguasainya. Digugat Munculnya kasus pembalakan mangrove ini Pemkot digugat Komunitas Jurnalis Peduli Lingkungan (KJPL). Para aktivis lingkungan hidup mengangggap Pemkot lalai dalam kasus pembalakan mangrove secara liar yang dilakukan warga di kawasan Kejawenputih. Aktivis lingkungan mengajukan Citizen Lawsuit atau gugatan yang lazim digunakan untuk menggugat kebijakan pemerintah dalam kaitan masalah lingkungan hidup. Prigi Arisandi yang juga Founder KJPL) dan dari Tim Konsorsium Rumah Mangrove mengatakan, gugatan itu diajukan karena Pemkot Surabaya lalai dalam menjaga kawasan konservasi mangrove. Selain lalai menjaga kawasan konservasi, pemkot juga tidak punya aturan pengelolaan kawasan konservasi secara khusus. Dengan kejadian di Kejawenputih para aktivis lingkungan di Surabaya, menyimpulkan ada beberapa kesalahan yang dilakukan pemkot, sehingga merugikan warga Surabaya, dan layak untuk diajukannya sebuah gugatan Citizen Lawsuit. Menurut Prigi yang juga Direktur Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton), gugatan yang diajukan itu tidak menuntut secara materiil atau uang pada pemkot, tapi lebih pada tuntutan adanya perbaikan kebijakan untuk masalah lingkungan hidup di Surabaya. Sementara Teguh Ardi Srianto Juru Bicara Tim Konsorsium Rumah Mangrove menyatakan, akibat kelalaian pemkot menjaga kawasan konservasi mangrove, maka hilanglah aset negara berupa mangrove di sana. Mangrove itu dijadikan tanah oloran dan berpetok D yang kemudian muncul sertifikat. Selain itu, adanya pembiaran perusakan mangrove seluas 10 hektar, akan mengganggu fungsi filtrasi polutan dan hilangnya pelindung ombak di pesisir pantai Surabaya. “Paling parah akibat pembalakan liar itu, banyaknya habitat keanekaragaman hayati di kawasan Konservasi Mangrove Mulyorejo yang hilang dan rusak,” ujarnya. Untuk itu ke depan, Konsorsium Rumah Mangrove mendesak pada Pemkot Surabaya, untuk membentuk dan menyusun segera perda pengaturan tentang tata kelola tanah oloran di Surabaya guna melindungi kawasan pesisir pantai di Surabaya, yang rentan dengan perusakan lingkungan. pur
Sumber: Surabaya Post
Catatan FKPM-Ne: Seharusnya Wakil walikota sebagai pejabat publik, tidak memberikan pernyatan yang memperkeruh suasana dan membuat semua pihak saling tuding. " Membuat suasan tidak kondusif pak Bambang DH ini!!" Keluh Djoko Suwondo, ketua FKPM Ne.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar