Jumat, 20 Mei 2011

Sampai Kapan Pembalakan Mangrove Di Pamurbaya Berakhir?



Pembalakan liar hutan mangrove di kawasan Pantai Timur Surabaya (Pamurbaya) makin merajalela. Selama dua bulan terakhir kawasan mangrove seluas 10 hektar di bibir pantai dan muara Kali Saridamen itu diketahui rusak parah.

Baru-baru ini bahkan ditemukan 100 ribu pohon bakau sudah dipotong berkeping-keping. Anehnya pihak Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya terkesan membiarkan kondisi tersebut berlarut-larut tanpa ada penanganan serius.

Aparat setempat sebetulnya sudah mengetahui hal itu, namun tidak berani melakukan tindakan penertiban, karena pelaku pembalakan jumlahnya banyak.

Camat Mulyorejo M. Safik membenarkan terjadinya pembalakan yang dilakukan sejumlah warga Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo. Hanya saja, ia tidak bisa berbuat banyak terhadap pelaku pembalakan.

Ia hanya sebatas memberikan peringatan pada pelaku untuk menghentikan pembalakan, namun tidak bisa menindak lebih tegas.

"Kita sudah larang, tapi ternyata tetap dilakukan. Daripada luasannya terus bertambah, saya laporkan ke Dinas Pertanian," katanya.

Ia mengakui kawasan mangrove di muara Kali Saridamen di Pantai Timur Surabaya itu sangat penting untuk menangkal abrasi air laut.

Sementara itu, Kabid Pertanian dan Kehutanan Dinas Pertanian Kota Surabaya Alexandre S Siahaya menuturkan, masyarakat setempat menebang ratusan ribu pohon mangrove itu untuk membuka lahan tambak. Pembukaan lahan tambak itu dilakukan oleh sejumlah warga, salah satunya warga Kelurahan Keputih, Kecamatan Sukolilo, Su'ud.

Dalam aksinya, Su'ud membayar 10 orang untuk membuka lahan dan menebang pohon mangrove. Jumlah area yang sudah dibalak lebih dari 10 hektar.

"Pihak kecamatan sempat memberikan larangan pada warga yang membalak, tapi jumlah mereka lebih banyak," katanya.

Pemkot Surabaya menyatakan membutuhkan bantuan pihak kepolisian karena jumlah pembalak yang cukup banyak.

Berdasarkan perhitungan Dinas Pertanian, dari luasan lahan konservasi yang dibalak, sekitar 100 ribu pohon mangrove berusia 15 tahun hilang.

Tidak hanya lahan konservasi yang dirusak, batang pohon mangrove yang ditebang bisa dimanfaatkan untuk bahan dasar kosmetika, semisal sampo dan sabun. Ia juga menjelaskan, personil dari Dinas Pertanian langsung diturunkan ketika Pemkot menerima laporan dari Kecamatan Mulyorejo pada 25 April 2001 yang melaporkan aksi pembalakan.

"Tim kami juga tak mampu menghentikan mereka, jumlah pembalak terlalu banyak," tegasnya.

Lokasi pembalakan memang sangat terpencil, sehingga sulit dilakukan pantauan, posisinya berada di bibir pantai.

Akses menuju lokasi harus ditempuh dengan perahu kecil karena lokasi yang terpencil.

Kesulitan Usut Kapolrestabes Surabaya Kombes Pol Coki Manurung menyatakan sebagian lahan mangrove di Pamurbaya yang dibalak ternyata bersertifikat milik individu atau perseorangan.

"Ada beberapa orang yang ternyata memiliki sertifikat bahwa lahan mangrove itu miliknya. Ini yang menyulitkan kami untuk melakukan penyelidikan lanjutan," ujarnya.

Dalam penyelidikannya, Coki menjelaskan polisi menemukan sejumlah kejanggalan.

Anggota Unit Tipiter Sat Reskrim Polrestabes Surabaya menemukan adanya lahan di kawasan hutan lindung itu yang sudah bersertifikat, seperti H. Sholeh yang merupakan salah seorang pemilik tambak.

Kendati demikian, pihaknya sudah menetapkan empat tersangka dalam kasus pembalakan itu dengan tiga di antaranya adalah pemilik tambak, yakni Sin, Gon, dan Din.

Sin diketahui menguasai empat hektare lahan, Gon 3x235 meter persegi, sedangkan Din 245x160 meter persegi dan Baru 25x160 meter persegi.

"Untuk H. Sholeh kami belum bisa menetapkan sebagai tersangka karena yang bersangkutan menunjukkan sertifikat, sedangkan yang lainnya sudah ditetapkan sebagai tersangka," ucapnya.

Sertifikat itu diperoleh Sholeh dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya pada 1992, sehingga berbekal sertifikat itu, Sholeh meras mempunyai hak untuk membuka kawasan pesisir itu sebagai tambak.

Salah satu tersangka juga mengaku membeli lahan itu dengan disaksikan lembaga kemasyarakatan di Kecamatan Mulyorejo.

Polisi juga menjebloskan tersangka berinisial Am dan Ud ke penjara. Am diketahui sebagai pembuka lahan dan membeli kayu mangrove dari ketiga tersangka dan H. Sholeh, sedangkan Ud membeli lahan yang dikuasai tersangka Sin seharga Rp205 juta.

Para tersangka dijerat dengan UU RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, UU RI Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem serta UU RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Informasi yang dihimpun ANTARA menyebutkan salah satu empat tersangka yang ditangkap polisi memang disebut kerap menjual kayu mangrove hingga beberapa kota di Jawa Timur.

Mereka biasanya menjual kayu-kayu itu ke luar kota, antara lain Jember dan Mojokerto. Seperti di Mojokerto salah satu industri yang membutuhkan ialah pabrik pembuatan batu bata. Di sana kayu mangrove biasanya dibuat untuk bahan bakar.

Pengamanan Diperketat Banyaknya pembalakan liar terebut membuat Pemkot Surabaya memperketat pengamanan hutan mangrove di Pamurbaya. Wakil Wali Kota Surabaya Bambang Dwi Hartono, mengatakan kalau pengawasan hanya mengandalkan petugas dari Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) tidak akan pernah bisa cukup.

"Makanya keputusan untuk mengambil tenaga kontrak adalah pilihan yang tepat," kata Bambang saat ditemui di Balai Kota Surabaya, Rabu.

Untuk itu, lanjut dia, Pemkot Surabaya kini sedang melakukan perekrutan tenaga kontrak untuk bertugas mengawasi aset umum di Surabaya, salah satunya di hutan Mangrove.

"Sudah ada kepastian 300 orang. Senin (16/5) lalu, sudah ada pengumuman rekrutmen tersebut," katanya.

Menurut dia, ratusan tenaga kontrak itu akan ditempatkan di Satpol PP Kota Surabaya untuk melakukan pengawasan secara intensif di beberapa ruas jalan Kota Pahlawan, termasuk di Hutan Mangrove di pesisir timur Kota Surabaya.

Selama ini, lanjutnya, petugas yang ada di Satpol PP tidak mampu melakukan semua pengawasan yang ada di Surabaya. Makanya, keberadaan tenaga kontrak yang direkrut bisa menjadi solusi yang tepat. "Mereka nanti akan kita disebar beberapa titik," katanya.

Selain itu, Bambang pihaknya juga berharap adanya laporan dari masyarakat jika terjadi pembalakan pohon mangrove. Pemkot tidak ingin masyarakat diam saja ketika ada kerusakan fasilitas publik.

Pemkot juga terus menjalin kerjasama dengan pihak kepolisian untuk memproses pelaku pencurin sarana publik. "Jangan sampai mereka (pelaku) lolos. Makanya proses hukum bisa menjerat mereka," katanya.

Sementara itu, Koordinator Komunitas Nol Sampah, Wawan Some menilai, pengawasan aset layanan publik yang dilakukan Pemkot Surabaya masih lemah. Apalagi pada kasus pembalakan hutan mangrove yang sudah terjadi dalam hitungan bulan.

"Harusnya kan bisa dideteksi sejak dini, ini malah baru diketahui setelah berbulan-bulan," katanya.

Akibat pengerusakan lahan milik publik tersebut, satwa yang ada di kawasan pinggir sungai terancam. Pemkot harus bergerak cepat untuk berkoordinasi dengan pihak kepolisian guna menangkap para warga yang jelas-jelas melanggar aturan itu.

"Dulu pelaku pembalakan mangrove tetap bebas berkeliaran, mereka tak pernah mendapatkan hukuman," katanya.

Ia juga menjelaskan, kalau pelaku pembalakan tak mendapatkan hukuman, maka mangrove yang ada di Mulyorejo akan sama seperti di Wonorejo. Bebrapa pohon mangrove yang berusia muda tersapu ombak karena penopangnya sudah ditebang. (ant/mt/ah/sfr)

Sumber: Satu Borneo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar