Sabtu, 06 Juni 2009

Artikel batik motif mangrove dari BeritaJatim.com

Batik Mangrove Jadi Ikon Kecamatan Rungkut

Sabtu, 06 Juni 2009 14:50:42 WIB
Reporter : Anas Pandu Gunawan

Surabaya - Keberadaan hutan Mangrove di Wonorejo Kecamatan Rungkut ternyata memberikan berkah tersendiri bagi warganya. Selain hutan mangrove bisa jadi wisata pendidikan lingkungan, masyarakat juga bisa memanfaatkan buahnya menjadi minuman yang tekenal dengan sirup mangrove.

Yang terbaru dan mungkin satu-satunya di Surabaya atau bahkan Indonesia, Mangrove telah mengilhami sebagian warga untuk berkarya melalu media batik yang motifnya terinspirasi mangrove.

"Setahu saya ya baru kecamatan Rungkut ini yang memiliki batik motif mangrove. Ini kami harapkan bisa menjadi ikon bagi Kecamatan Rungkut yang beda dengan yang lain," ungkap Lulut Sri Yuliani, koordinator Batik SeRU (Seni batik Mangrove Rungkut), Sabtu (06/06/2009).

Meski masih seumur jagung, keberadaan batik bermotif mangrove yang kini tengah berkembang ke arah pewarnaan secara alami ternyata mampu diterima pasar. Puluhan lembar kain batik yang dijual seharga Rp 75 ribu hingga Rp 200 ribu laku dipasaran.

Kreatifitas ini rupanya menarik perhatian Tjahyaning Retno Wilis, ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Deskranada) Surabaya. Bertempat di Kantor Kecamatan Rungkut, istri wakil walikota Surabaya Arif Affandy ini menyerahak stimulus berupa bantuan modal sebesar Rp 2 juta.

"Bantuan ini jangan dilihat besarnya tapi ini merupakan stimulus sekaligus pancingan agar pihak lain juga mau perduli dengan kerajinan tradisional seperti batik ini agar tak punah," ungkap Wilis, sapaan akrabnya. [nas/kun]


http://www.beritajatim.com/detailnews.php/1/Ekonomi/2009-06-06/36373/Batik_Mangrove_Jadi_Ikon_Kecamatan_Rungkut

Kamis, 28 Mei 2009

Artikel Hutan Mangrove Wonorejo dari Jawa Pos

[ Kamis, 28 Mei 2009 ]
Hutan Mangrove Wonorejo, Ikon Baru Tamasya Surabaya

Rangkul Karang Taruna, Bikin Bandeng Jadi Wisata Kuliner



Tidak lama lagi Surabaya menambah tempat wisata alam baru. Tempatnya di kawasan pantai mangrove (bakau), timur Surabaya. Wawali Arif Afandi menyebutnya Wisata Safari Mangrove. Jika itu terwujud, image Surabaya yang disebut tak punya potensi wisata alam bisa pupus.

GUNAWAN SUTANTO

---

''REKREASI'' bareng Wawali Arif Afandi itu dilakukan Minggu pagi (24/5). Dia bersama puluhan Pramuka Penegak Surabaya menanam mangrove di Boezem Wonorejo. Saat itu juga Arif menyempatkan menyisir pantai timur Surabaya untuk melihat konservasi bakau di kawasan tersebut.

Arif lantas berhenti di pos pantau mangrove. Di sana dia dijamu beberapa kuliner khas warga setempat. Salah satunya adalah bandeng. Merasakan kondisi tempat dan perjalanan yang mengasyikkan, Arif langsung menggagas konservasi mangrove itu sebagai tujuan wisata baru di Surabaya. Dia menyebutnya Wisata Safari Mangrove.

Untuk bisa berwisata safari mangrove, sebenarnya cukup mudah. Setidaknya perlu waktu sekitar 10 menit dari Jembatan MERR II C (Middle East Ring Road) sampai jalan masuk boezem. Rutenya, lewat Jalan Kedung Baruk, menuju Jalan Wonorejo Timur, mengikuti setren Kali Jagir.

Sampai ujung Jalan Wonorejo Timur, terdapat tanda Menuju Boezem Wonorejo. Tanda itu menunjuk ke arah kanan. Perlu sekitar 5 menit lagi untuk sampai bisa ke boezem melalui jalanan makadam.

Dari boezem itu biasanya terdapat perahu nelayan yang bisa mengantarkan pengunjung menyusuri hutan mangrove sampai pusat konservasi yang dinamakan Pusat Energy Mangrove. Di tempat itulah Kecamatan Rungkut membangun sebuah pos pantau yang cukup menarik. Rumah panggung itu dibuat dari bambu yang dirakit.

''Harus dibuat seperti rumah panggung. Sebab, jika laut pasang, air tidak masuk ke pos,'' ujar Camat Rungkut Irvan Widyanto yang mendampingi Jawa Pos menyusuri pos pantau, Minggu itu. Pos pantau tersebut rencananya menjadi pusat rekreasi safari mangrove.

Nuansanya memang cukup mengasyikkan. Pada waktu tertentu disediakan perahu karet maupun perahu motor dari Boezem Wonorejo menuju Pusat Energy Mangrove. Namun, jika tidak ada perahu karet, masih ada perahu nelayan warga setempat. Jika menggunakan transportasi air, dari boezem butuh waktu sekitar 10 menit untuk sampai ke lokasi tersebut.

Menurut Irvan, jarak boezem hingga pusat energi sekitar 3 kilometer. ''Jika tidak hujan, bisa juga ditempuh dengan sepeda motor. Harus muter dulu kalau pakai motor, jadi agak lama. Jaraknya mencapai 5 kilometer," terang Irvan.

Berwisata ke hutan mangrove lebih menarik jika dilakukan pagi hingga siang. Sebab, saat-saat itulah biasanya air laut sedang pasang. Saat air laut pasang, ombak di sekitar Sungai Wonokromo pun cukup besar, sehingga mampu menggoyang-goyangkan perahu. Menurut Irvan, selama ini selalu disediakan rompi pelampung bagi orang yang ingin menyusuri kawasan tersebut.

Jika perjalanan dilakukan menggunakan perahu, pengunjung bisa menyusuri hutan mangrove hingga pantai timur Surabaya. Kalau beruntung, misalnya tidak ada kabut, pengunjung bisa melihat bentangan Jembatan Suramadu di arah utara.

Nah, kalau mandek di pos pantau, pengunjung bisa tidur-tiduran di lantai bambu, dibelai semilir angin laut. Di tempat itu juga bisa dibaca beberapa informasi tentang ekosistem di sekitar hutan tersebut.

Mantan lurah Ampel itu menjelaskan, saat ini dirinya sedang mematangkan konsep Wisata Safari Mangrove. Irvan berjanji melibatkan warganya sepenuhnya untuk konsep Wisata Safari Mangrove. Saat ini, dia menyiapkan karang taruna di wilayah Kelurahan Wonorejo sebagai guide. ''Kami sedang cari trainer-nya. Jadi, mereka akan mendampingi pengunjung,'' ungkapnya.

Kecamatan juga sedang melakukan sosialisasi kepada nelayan yang tinggal di sekitar Wonorejo. Tujuannya, warga bersedia menjadi penyedia transportasi bagi wisatawan. ''Jadi, semua memberdayakan warga sekitar,'' tegasnya.

Bahkan, pemilik tambak di sekitar pos pantau sedang dijajaki untuk diajak menjadi penyedia wisata kuliner.

Irvan mengungkapkan, salah satu kuliner khas masyarakat sekitar adalah bandeng lumpur. Cara memasaknya, bandeng dimatangkan dengan bakaran lumpur di sekitar tambak.

Soal pos pantau itu, kata dia, ceritanya cukup unik. Sekitar 2006, terjadi pembalakan mangrove di wilayah Wonorejo. Ternyata, pembalakan itu dilakukan warga Wonorejo sendiri. Namanya Fathoni. ''Pak Fathoni itu merupakan tersangka sekaligus pahlawan,'' ujar Ridwan Mubarun, sekretaris Kecamatan Rungkut.

Menurut dia, akibat ulah Fathoni tersebut, ekosistem mangrove yang terancam mulai menjadi perhatian orang. ''Banyak yang menggalakkan penanaman kembali,'' jelas Ridwan. Perhatian pemkot, swasta, masyarakat, LSM, dan akademisi mulai berdatangan.

Untuk membalas rasa bersalahnya, Fathoni waktu itu merelakan tambak bandengnya ditanami mangrove. Hingga sekarang, sekitar 15 hektare lahan sudah ditanami mangrove. Karena itu, kecamatan dan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat berinisiatif membangun pos pantau. ''Sebab, kami merasa wajib mengawasi dan memelihara mangrove yang ditanam beberapa pihak itu,'' lanjut Irvan.

Sebelum dicetuskan Wawali sebagai tempat wisata baru, beberapa orang di luar Surabaya sudah berdatangan ke lokasi tersebut. Irvan menuturkan, hutan mangrove tersebut pernah diteliti oleh ilmuwan dari Jerman. Selain itu, Yayasan Kutilang pernah melakukan penelitian di lokasi tersebut.

Hasilnya, ternyata ada sekitar 144 jenis burung yang hanya terdapat di sekitar wilayah konservasi mangrove Wonorejo. ''Berarti benar layak jadi tempat wisata,'' ujarnya bangga. Dia menambahkan, berkat pengelolaan hutan mangrove itulah Kelurahan Wonorejo menjadi juara I kelurahan berhasil se-Surabaya. (*/dos)

Sumber: jawapos

Rabu, 27 Mei 2009

Artikel dari Blog Wilis


Hari Minggu, 24 Mei 2009 lalu, jadi pengalaman baru buat keluarga kami, khususnya anak-anak. Mengajak mereka menguak sisi lain kekayaan dan potensi terpendan wisata pantai Surabaya.

Nadia Icha Ijal Nabiel at Bozem Wonorejo Rungkut

Nadia Icha Ijal Nabiel at Bozem Wonorejo Rungkut

Arif n Wilis tanam mangrove bersama Pramuka

Arif n Wilis tanam mangrove bersama Pramuka

This is my mangrove

This is my mangrove

kami-sudah-menanam-dan-akan-menjaga-mangrove-kami

jangan-takut-kotor-demi-mangrove-kita

Kawasan Wonorejo Kecamatan Rungkut Kota Surabaya, ternyata menyimpan aset yang masih sangat terbuka untuk dikembangkan dan dijual sebagai atraksi wisata yang cukup menantang. Kawasan di timur Surabaya ini memang terus dikembangkan oleh masyarakat setempat. Dimulai dengan konrvasi lahan, salah satunya menggalakan penanaman mangrove untuk menjaga pantai dari abrasi. Juga semakin nyata ancaman global warming, dengan hilangnya berhektar-hektar lahan pantai akibat naiknya permukaan air laut. Bukti bahwa global warming memang tengah mengancam. Luar biasa, melalui swadaya masyarakat, Kelurahan Wonorejo berhasil mengembangkan proyek penanaman mangrove. Dan kini telah menjadi agenda rutin bersama Pemerintah Kota dan segenap elemen masyarakat di luar kawasan itu, untuk ikut serta menjaga kawasan pantai yang eksotik.

Bibit mangrove yang akan ditanam

Bibit mangrove yang akan ditanam

Saya dan anak-anak juga baru sekali ini, berlayar menyusuri daerah muara pantai timur hingga selat Madura. Dan itu asyiik sekali. Kawasan yang menyimpan habitat alam yang asri, tidak hanya menjadi tempat tinggal aneka mahluk melata, juga habitat burung-burung.

beneran-nih-kita-berperahu-di-pantai-timur-surabaya

dont-forget-the-safety-jacket

mau-ke-mangrove-center-naik-speedboat

on-speedboat-with-pa-for-second-cruise

Apalagi, melalui FKPM (Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat) dengan tokohnya Pak Djoko, gotong royong mendirikan Pos Pantau, sederhana tapi berharga. Tempat yang asyik untuk piknik, apalagi di sana bisa memesan bandeng bakar organik. Wow. Setelah menanam mangrove, kemudian berperahu menikmati sepoi angin pantai, diakhiri makan bandeng bakar. Piknik yang sempurna, anak-anak happy sekali.

wakgus-arif-n-wilis-di-mangrove-center

nad-pamer-bandeng-organik

bandeng-bakar-organik-hanya-di-mangrove-center

Kawasan ini masih bisa dikembangkan lagi. Dengan menambah beberapa rumah panggung dan toilette yang bersih, sudah cukup menarik wisatawan yang menyukai konsep alam. Jalan ke arah sana pun cukup dipoles agak lebih aman, membiarkan sedikit ‘keliaran’ alam, akan menjadi daya tarik sendiri.

seperti-hendak-menuju-dunia-tengah-lor

bye

di-atas-selat-madura
Ayo menanam mangrove, Ayo jaga pantai kita dan mari ber-ekowisata

Welcome to Bozem Wonoreje Rungkut - Surabaya

Sby, 27 Mei 09
Foto by: Wilis n Nadia



2 Responses to “Ekowisata: Tanam Mangrove dan Susur Pantai”

  1. on 19 Aug 2009 at 2:24 pm Yulinda Yoshoawini

    Gerakan yang sungguh mulia…kesalehan sosial yang akan membawa kebahagiaan bagi sesama dan anak cucu kita kelak!


  2. on 20 Oct 2009 at 11:29 pm Henny

    Bbrp hr yg ll sy dan seorang tmn ksna utk survey krn akan kedatangan tmn2 dr ibukota yg ingin melihat wisata sby.
    Tp bbrp meter menuju bozem km balik plg krn tdk ada petunjuk yg jelas dan keadaan jln yg ‘rawan’.
    Saya mau tny dmn kami bs menghubungi FKPM setempat jg bgmn mendptkan kapal utk menyusuri.
    Terima kasih.

    Dear Henny,

    Terimakasih sudah berkunjung. Untuk bisa susur mangrove, bisa lapor ke ktr kecamatan Rungkut. Coba cari info di sana. Maaf kl blm dpt banyak membantu, karena jajaran Pariwisata juga belum bergerak ke sana utk me-follow up penyediaan, perbaikan dan pembangunan infrastruktur. Semoga tahun depan sudah terealisir.

    Salam


Sumber: Blogdetik

Senin, 13 April 2009

Ini Dia, Batik-Mangrove Surabaya!

Surabaya - KeSEMaTBLOG. Akhirnya, kami menemukan perajin batik bermotif mangrove di Rungkut, Surabaya. Lihatlah foto di samping ini. Tujuh buah kain batik telah berhasil ditampilkan begitu indahnya dengan beragam motif bunga, buah, akar, binatang dan motif mangrove lainnya, di atas selembar kain putih. Adalah Lulut Sri Yuliani (Ibu Lulut), seorang Ibu yang telah berhasil menginisiasi Ibu-Ibu di Rungkut, Surabaya untuk menghasilkan batik-batik unik bermotif mangrove, ini. Hasil kreasi beliau ini, telah dipamerkan di Pendopo Kecamatan Rungkut, Surabaya.

Sewaktu melakukan kunjungan ke sana (4 April 2009), kami banyak dikenalkan dengan beragam motif batik mangrove, antara lain motif Aegiceras corniculatum, A. floridum, Avicennia alba, Bruguiera cylindrica, Lumnitzera racemosa, Acanthus ilicifolius, Xylocarpus granatum, Sonneratia alba, Rhizophora mucronata, Pemphis acidula, Nypa fruticans, Barringtonia asiatica, Calophyllum inophyllum, Calotropis gigantea, Pandanus tectorius, Acrostichum aureum, Ipomoea pes-caprae dan lain-lain berikut teknis pembuatannya.

Sebenarnya, tak hanya batik bermotif mangrove saja yang dihasilkan oleh Ibu Lulut dan kelompok binaannya. Sabun wangi dari buah Sonneratia juga dibuat dengan tujuan utama untuk memperkenalkan mangrove kepada masyarakat umum.

Beranjak dari pemikiran yang sama dengan KeSEMaT bahwa mangrove bukanlah sebuah ekosistem penuh sampah, nyamuk, dan tak berdaya guna melainkan sebuah ekosistem yang sangat potensial baik secara ekologi dan ekonomi, maka Ibu Lulut dan kelompoknya berjuang keras agar mangrove “diakui” dari sisi ekonominya. Bagi yang berminat dengan kerajinan batik dan sabun mangrove Ibu Lulut, silahkan langsung datang ke Rungkut, Surabaya. Salam MANGROVER!

Sumber: http://kesemat.blogspot.com/2009/04/ini-dia-batik-mangrove-surabaya.html

Sabtu, 11 April 2009

Potret Kepemimpinan Aktifis FKPM

 Rabu, 25 Maret 2009 
Kerjasama atau Sama-sama Kerja?

Jika setiap anggota aktif bekerja tidak dalam satu koordinasi, maka dampaknya, kerja mereka tidak berarti bagi lingkungan maupun bagi perkembangan organisasi. Karena yang sesungguhnya terjadi adalah sama-sama kerja, tapi tidak dalam satu bingkai kerja sama.

Pernyataan di atas, spontan membuat seisi ruangan pelatihan tercengang. Pernyataan itu diungkapkan Bambang Budiono, salah satu fasilitator sekaligus narasumber Pelatihan Perpolisian Masyarakat (Polmas) Tahap III, usai mempraktikkan permainan bujur sangkar berantakan. Kalimatnya sederhana, namun tanpa disadari telah membangkitkan tanya dalam diri seorang aktifis. Terutama kualitas mereka dalam menjalankan roda organisasi. Dalam hal ini adalah aktifis Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM), yang menjadi peserta pelatihan yang digelar Fahmina-Institute Cirebon, di Hotel Tryas Kota Cirebon, pada Jumat dan Sabtu (19&20/2/09). Selain Bambang Budiono, Direktur Pusat Studi HAM (Pusham) Unair Surabaya, Fahmina-Institute juga menghadirkan AKBP Sri Sudaryani SH dari Kabag Bintibluh Biro Binamitra Polda Jawa Barat, dan Iklillah Muzayanah DF dari Fahmina-Institute.

Seakan tak kehilangan akal membangkitkan semangat peserta, Bambang begitu kreatif menggabungkan materi dengan esensi sebuah permainan (games). Dari beragam referensi permainan, Bambang tak sekadar mengajak peserta menikmati permainan, tapi juga mengambil pelajaran atau makna dibalik permainan tersebut. Dari permainan tersebut, peserta diajak untuk mengetahui perbedaan antara kerja sama dengan sama-sama kerja. Selain itu juga agar peserta menyadari, bahwa sama-sama kerja tidak membawa dampak yang bermakna bagi lingkungan.

“Ketika menyadari bahwa sama-sama kerja bisa mengancam organisasi, maka mereka akan mencari solusi untuk mewujudkan kerja sama yang efektif. Dari permainan ini, juga dapat ditarik beberapa kesimpulan tentang faktor-faktor yang menunjang dan menghambat kerja sama,” papar Bambang.

Bambang juga tak luput mengasah sejauh mana kemampuan aktifis FKPM sekaligus organizer, terutama dalam menyelesaikan persoalan di lingkungan masyarakat sekitarnya. Dari studi kasus, Bambang juga ingin menyampaikan syarat penting pengorganisasian. Pengorganisasian, menurutnya hanya dapat dilakukan jika ada kepentingan bersama (collective interest) yang ingin diperjuangkan. Kepentingan bersama, dirumuskan dalam bentuk tujuan bersama (collective targets). Dan tujuan bersama, hanya dapat dicapai melalui kegiatan bersama (collective action).

“Sedangkan pelaksanaan kegiatan bersama, itu diatur dalam rumusan rencana tindak (action plan). Dan rencana tindak, dilaksanakan bersama secara kooperatif, dengan mengkontribusikan berbagai sumberdaya individu yang dibutuhkan dalam organisasi atau kelompok,” terangnya. Dalam proses pelatihan, Bambang memang sengaja tidak menggunakan proses andragogi. “Karena kalau tidak begitu, peserta akan mudah mengantuk. Saya hanya ingin agar peserta tidak sekadar obyek, tapi juga subyek. Dan narasumbernya dalam hal ini adalah kita semua,” papar dia usai memberikan permainan.

FKPM Menggalang Modal Sosial, Bukan Modal Ekonomi

Indikasi modal sosial dan ekonomi, lagi-lagi menjadi pembahasan menarik dalam pelatihan Polmas. Bagaimana tidak, persoalan ini erat kaitannya dengan ideologi seorang aktifis FKPM dalam menjalankan aktifitasnya.

Menurut Bambang, indikasi modal sosial di antaranya untuk saling menolong, gotong royong, sukarela, setia kawan, kebersamaan, dan bergerak atas dasar nilai-nilai kemanusiaan, bukan modal ekonomi. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Kapolri No Pol: SKEP/433/VII/ 2006 mengenai Panduan Pembentukan dan Operasionalisasi Polmas, disebutkan bahwa petugas Polmas diberikan kewenangan yang terbatas untuk menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana ringan dan pertikaian antarwarga melalui musyawarah.

“Oleh karena itu, ada polisi yang sempat bingung ketika ada FKPM yang terbentuk, meminta uang dari polisi. Kalau itu yang terjadi, maka sosial kapital menjadi tumpuan. Padahal FKPM tidak seperti itu. Dari hal ini, kita akan lebih tahu bahwa FKPM sebagai organizernya. Tapi yang digerakkan bukan usaha ekonomi,” papar Bambang di depan seluruh peserta pelatihan.

Hal ini, tambahnya, seperti yang pernah dilaksakan oleh FKPM di Surabaya. Ada FKPM yang membuat biro jasa SIM kolektif, ini menyalahartikan. “Saya senang sekali jika FKPM di Cirebon tidak melakukan penyalahgunaan itu. Karena menjadi biro bukan hal utama yang harus dimasukkan dalam FKPM. Dan saya melihat apa yang sudah dilakukan FKPM disini, sudah sesuai dengan ideologi Polmas itu sendiri. Kita menggalang modal sosial, bukan modal ekonomi.,” tandasnya.

Terkait kewenangan FKPM, Sri Sudaryani mengungkapkan hal senada. Menurutnya, pengurus FKPM bersama-sama petugas Polmas diberikan kewenangan yang terbatas untuk menyelesaikan berbagai kasus. Seperti tindak pidana ringan dan pertikaian antar warga melalui musyawarah. Persoalan-persoalan yang bisa diselesaikan melalui jalur hukum, tersebut antara lain yang diatur dalam buku ketiga KUHP tentang pelanggaran, peraturan daerah (Perda), kejahatan ringan yang diatur dalam KUHP, serta pertikaian antarwarga.

Lebih jauh, Sri mengungkapkan keprihatinannya terkait masyarakat yang menggunakan FPKM untuk arogansi. Karena FKPM dibentuk bukan untuk arogansi. “Namun persoalannya adalah dari forum itu sendiri. Penerapan dari masyarakat yang memang menggunakan FKPM sebagai arogansi. Dari kami (Polri) tidak ada keharusan untuk berprilaku arogansi,” jelas perempuan yang mengaku telah empat tahun berturut-turut menjabat Kabag Bintibluh Biro Binamitra Polda Jabar.

Baginya, yang terpenting dari Polmas adalah bagaimana kegiatannya, apa yang dilakukan oleh FKPM-nya. Ini adalah satu program Kapolri sebagai salah satu forum independen, dengan tugas dan peranannya masing-masing. “Jadi ini bukan kesalahan polisi, tapi lebih kepada pemahaman Polmas yang sangat dangkal. Sekali lagi, ngapain kita mengikuti itu. Jika kita sadar, kita tidak akan terbawa dalam persepsi itu. Jadi dasarnya dari Pamswakarsa. Jadi gak perlu ada Skep pun, itu bisa berjalan,” tandasnya.

Sementara itu, Iklillah memberikan pemahaman tentang bagaimana cara penanganan masalah dengan analisis gender. Mengapa FKPM harus menggunakan analisis gender dalam penanganan masalah di masyarakat? Menurutnya, karena pengetahuan latar belakang persoalan yang berbeda, maka perlu pengetahuan yang berbeda dalam penanganannya. Bagaimana kita diperlakukan, bagaimana kita diinternalisasi nilai-nilai dalam kepala kita. Itu harus menjadi kesadaran untuk aktifis FKPM.

“Kasusnya boleh sama, tapi karena latar belakangnya berbeda, maka penyelesainanya pun berbeda. Dan ini yang juga perlu kita sadari dalam kepala kita. Kita memandang orang lain yang juga memiliki kesamaan dengan kita. Laki-laki dan perempuan memiliki cara pandang yang berbeda. Yang ini juga akan berimplikasi dalam pandangan yang berbeda dalam hal yang penting dan tidak penting,” jelas Iklilillah yang akrab disapa Iik.

Itu artinya, lanjut dia, karena pengalaman yang berbeda, menunjukkan cara penyelesaiannya berbeda. Hal yang dianggap penting menurut kita, belum tentu dianggap penting bagi orang lain. Jadi jangan menganggap bahwa kita adalah orang yang paling tahu dalam penanganan masalah, karena itu berarti arogansi. Dan arogansi sangat dilarang dalam analisis gender. Selain itu perlu diketahui, bahwa pengalaman setiap orang itu berbeda. Misalnya, kekerasan seksual itu sama dan banyak, tetapi dalam kasusnya itu berbeda-beda.

“Dari sini, jangan sampai kita merasa bahwa kita serba bisa, ingat bahwa banyak hal yang belum kita ketahui, banyak hal yang juga akan kita temukan dalam setiap kasus di lapangan yang kita ketahui.” Tandas Iik. []


Sumber: Fahmina

Selasa, 07 April 2009

Kawasan Mangrove di Segara Anakan Memprihatinkan

Kawasan Mangrove di Segara Anakan Memprihatinkan PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Pikiran Rakyat
Selasa, 07 April 2009

CILACAP, (PRLM),-Tekanan ekonomi terhadap kawasan hutan mangrove (bakau) di Segara Anakan di Kabupaten Cilacap Jawa Tengah (Jateng) memprihatinkan. Seiring dengan makin maraknya order dari bisnis arang bakau mangrove dari berbagai kota ke wilayah tersebut. Sementara pengawasan dengan sistem patroli terkendala anggaran.

Administratur Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Banyumas Barat Sangudi Muhamad menyatakan bahwa kondisi mangrove di sekitar Segara Anakan memang membutuhkan penanganan serius.

"Pembalakan memang masih terjadi, karena alasan kondisi ekonomi. Sulitnya mencari ikan membuat sebagian warga kemudian beralih membabat kayu mangrove untuk dijadikan arang," katanya Senin (6/4)

Order arang dari kayu bakau dari kawasan Segara Anakan sangat tinggi sebab order dari sejumlah kota di tanah air sangat besar. Kualitas arang dari mangrove paling bagus karena kayunya keras. Jenis mangrove yang biasa digunakan untuk pembuatan arang adalah jenis Rhizopora sp, Bruguera sp, dan Soneratia sp untuk dijadikan arang.

Kasus terakhir yang ditangani oleh Perhutani adalah penemuan tumpukan arang mangrove dan kayu bakau dilahan milik warga yang diperkirakan mencapai tiga ton. Arang tersebut siap untuk untuk dipasarkan.

"Berdasarkan temuan tersebut diperkirakan luas lahan mangrove yang dibabat untuk kebutuhan bisnis ilegal arang mangrove mencapai puluhan hektar," jelasnya.

Diakui proses hukum untuk pelaku pembalakan mangrove di Segara Anakan sulit untuk ditegakkan sebab itu sangat terkait dengan ekonomi masyarakat setempat. Sebab ketika kasus tersebut dilimpahkan ke aparat kepolisian, mereka berdalih tidak ada pasal dalam KUHP yang terkait dengan masalah pembuatan arang bakau.

Disamping adanya pertimbangan bahwa pembalakan mangrove terjadi karena alasan ekonomi "Sebenarnya pelaku bisa dikenakan UU No 41 Tahun 1997 tentang lingkungan tapi polisi tidak tega , sebab pelakunya bisa dikenakan hukuman penjara 5 tahun penjara dan denda Rp 100 miliar. Kita dan polisi menjadi serba salah dalam penegakan hukum terkait dengan pembalakan mangrove," jelas Sangudi.

Sementara pengawasan dengan sistem patroli sangat besar terutama biaya transportasi dengan kapal, sebab perhutani harus bayar sewa kapal untuk sekali jalan satu kapal sewanya mencapai ratusan ribu rupiah belum biaya bahan bakarnya.

Akibatnya luas areal hutan mangrove terus tergerus oleh kepentingan perdagangan arang bahkan satu dari empat species bakau terancam kepunahan.(A-99/kur)***

Jumat, 27 Maret 2009

Mewujudkn POLRI yang dimiliki, dicintai & dibanggakan oleh masyarakat

Babak baru perjalanan sejarah Kepolisian Negara Republik Indonesia dimulai setelah sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia yang menetapkan TAP MPR Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR Nomor VII/MPR / 2000, tanggal 18 Agustus 2000, tentang Pemisahan dan Peran fungsi TNI- POLRI. Polri sebagai alat negara berperan penting dalam pemeliharaan keamanan dalam negeri, sebagaimana tercantum dalam UU RI No 2 th 2002 Pasal 5 ayat (1).

Sejarah kehidupan bangsa Indonesia telah mencatat bahwa selama tahapan terakhir dari sejarah politik dan kenegaraan di Indonesia, telah terjadi pengingkaran terhadap jatidiri Polri yang sebenarnya, yang bermuara pada terbentuknya budaya Polri yang buruk. Bentuk perpolisian lebih berorientasi pada kekuasaan, yang lebih mencerminkan diri sebagai alat politik pemerintah untuk memperkokoh kekuasaan. Padahal ketika masyarakat bersepakat untuk hidup di dalam suatu negara, pada saat itulah dibentuk pula lembaga formal yang disepakati untuk bertindak sebagai pelindung dan penjaga ketertiban dan keamanan masyarakat (“Sicherheitspolitizei”). Jadi, kepolisian merupakan subordinasi dari masyarakatnya, sehingga masyarakat menjadi titik awal dan titik akhir pengabdian (point of departure) dari kepolisian.

Dengan berdasar tuntutan suara nurani, momentum reformasi ini merupakan peluang bagi Polri untuk terus membangun budaya Polri baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik. Berdasar latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk membahas lebih lanjut pembangunan budaya Polri baru yang berorientasi publik, yaitu reorientasi paradigmatik, guna mewujudkan Polri yang dimiliki, dicintai dan dibanggakan oleh masyarakat.

Reorientasi Paradigmatik (Upaya Membangun Budaya Polri yang Berorientasi Publik)

Di Indonesia, faktor yang ikut mempengaruhi fungsi, tugas dan peranan Polri adalah faktor historis, salah satunya yakni karakter kepolisian yang terlanjur dipengaruhi oleh sifat militer. Integrasi kepolisian dalam organisasi ABRI di masa lalu telah mengundang berbagai kritik, karena polisi menjadi lebih sering menggunakan cara berfikir dan bertindak secara militer. Padahal antara polisi dengan militer memiliki karakteristik tugas yang berbeda. Militer berhadapan dengan musuh, sedangkan polisi berhubungan dengan masyarakat. Hal ini menimbulkan kontradiksi oleh karena doktrin kerja dan kekuasaan polisi yang besar, gezagdualisme telah membentuk pola perilaku polisi sebagai penguasa dalam masyarakat. Dampak pemiliteran dan lemahnya kemampuan kepolisian menyebabkan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi.

Tekad Polri untuk terus membangun budaya Polri baru yang berorientasi pada kepentingan publik melalui reorientasi paradigmatik ini didasari oleh pemahaman dan kesadaran bahwa perkembangan lembaga kepolisian berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju suatu masyarakat, makin tinggi harapan masyarakat tersebut terhadap kemampuan polisinya. Kata kunci yang dapat menjawab kebutuhan masyarakat madani adalah Polri yang baru yaitu Polri yang mandiri dan profesional yang berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya. Kemandirian yang ditandai profesionalisme khas kepolisian, yang menjamin tidak akan ada lagi intervensi terhadap tugas-tugas kepolisian utamanya tugas penegakan hukum.

Dalam mensikapi proses reformasi dan tuntutan masyarakat dan sebagai upaya mengembalikan Polri sebagai polisi yang mandiri dan profesional, Polri telah melakukan reorientasi paradigmatik melalui penetapan visi, misi dan tujuan Polri masa depan, yang selanjutnya diikuti dengan langkah-langkah perubahan, baik pada tataran konsepsi maupun teknis operasional. Melalui paradigma baru ini akan dikembangkan suatu tipe “Perpolisian Berperikemanusiaan (human policing)”, yaitu ruang yang menggunakan “humanistic scenario” yang menggantikan “repressive scenario” yang digunakan selama ini. Dalam operasionalnya akan terimplementasi melalui jati diri yang mempersepsikan diri sebagai abdi masyarakat, mempunyai sikap, metode dan orientasi kerja sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dilayani, serta sikap kemandirian yang dapat diaktualisasikan melalui kemampuan profesionalisme yang mumpuni.

Salah satu filosofi dan strategi yang sedang diterapkan di berbagai negara demokrasi, termasuk Indonesia, adalah community policing. Setelah cukup lama melakukan uji coba implementasi Polmas di berbagai Polda maka sejak tanggal 13 Oktober 2005 Polmas secara resmi menjadi kebijakan yang harus diterapkan oleh seluruh jajaran Polri. Hal ini dinyatakan dalam Surat Keputusan Kapolri No.Pol. SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam penyelenggaraan tugas Polri. Puncak implementasi Polmas adalah pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) pada tingkat satuan operasional kewilayahan Polri sebagai wadah komunikasi, konsultasi, transparansi, dan akuntabilitas Polri dengan masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian diharapkan perpolisian akan berorientasi pada kepentingan dan harapan warga, serta mendapat dukungan warga. Hal ini membuktikan bahwa fungsi dan peran FKPM adalah merupakan bentuk akuntabilitas operasional Polri pada masyarakat tingkat Kecamatan/Polsek dan Kelurahan/Desa, yang berarti FKPM merupakan lembaga akuntabilitas Polri yang langsung pada warga masyarakat yang dilayani oleh berbagai operasional kepolisian. Dengan demikian FKPM juga merupakan wujud aktualisasi reformasi Polri dalam rangka mewujudkan kultur polisi sipil.

Mewujudkan POLRI yang Dimiliki, Dicintai dan Dibanggakan Oleh Masyarakat

Upaya perbaikan kinerja Polri dalam hal pemeliharaan Kamtibmas telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, namun berbagai penelitian menyimpulkan hasil yang relatif sama, yaitu belum adanya peningkatan pandangan positif masyarakat terhadap kinerja Polri tersebut. Hal sebaliknya justru semakin berkembang. Masyarakat semakin merasa tidak aman akibat kejahatan yang semakin tidak terkendali. Kepercayaan mereka terhadap keseriusan Polri dalam penegakan hukum dan kamtibmas juga merosot akibat buruknya penanganan terhadap perilaku menyimpang yang dilakukan oleh sejumlah oknum kepolisian, seperti backing judi, pungli, pemerasan, salah tembak, dan lain sebagainya. Berbagai peristiwa tersebut menambah buruk citra Polri di mata masyarakat dan sekaligus memperlebar jarak antara masyarakat dan kepolisian. Inilah fakta-fakta yang justru cenderung meningkat intensitasnya dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu perlu dipikirkan lebih lanjut mengenai hal-hal yang perlu dilakukan guna memperbaiki citra Polri di mata masyarakat dan sekaligus kembali mempererat hubungan kerjasama antara masyarakat dan kepolisian.

1. Community Policing (Perpolisian Masyarakat)

Dalam rangka memelihara dan meningkatkan Kamtibmas ke depan, Polri diminta untuk melaksanakan seluruh tugas-tugas yang disandangnya dengan prioritas yang sama. Akan tetapi, dalam konteks kepolisian modern, menempatkan Polri sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab dalam pemeliharaan kamtibmas adalah pandangan usang. Terlebih masyarakat saat ini menuntut agar pendekatan preemtif dan preventif menjadi prioritas di dalam proses pemeliharaan kamtibmas ke depan.

Berkaitan dengan pemikiran untuk meningkatkan rasa aman, situasi tenteram dan tertib di tengah-tengah masyarakat, maka perumusan kontrak sosial baru antara para pihak (stakeholder) menjadi suatu hal yang mutlak. Di satu sisi, polisi harus berupaya meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat; di sisi lain, masyarakat harus meningkatkan partisipasinya dalam kegiatan-kegiatan operasional kamtibmas. Sebagai contoh, pos ronda di setiap kelompok masyarakat harus diaktifkan secara intensif, sementara kerjasama operasional kondusif dalam menangkap pelaku kejahatan juga harus dilakukan. Pemecahan masalah kamtibmas sebisa mungkin harus secara aktif melibatkan masyarakat sebesar-besarnya, di samping juga kepolisian.

Partisipasi publik mengandung pengertian sebagai upaya melibatkan unsur masyarakat secara aktif dalam kegiatan kepolisian. Partisipasi publik ini merupakan cermin dari adanya kepercayaan masyarakat kepada polisi. Harus ada upaya alternatif kegiatan bersama antara polisi dan masyarakat yang tak hanya berkaitan dengan menjaga keamanan dan ketertiban bersama. Pada kegiatan ini, posisi polisi dan masyarakat adalah sejajar. Partisipasi publik dapat pula diwujudkan dalam proses rekrutmen anggota POLRI. Misalnya saja, pada tes-tes tertentu seperti psikotes, polisi dapat melibatkan unsur masyarakat yang ahli dalam bidang tersebut. Adanya partisipasi publik, dapat mendukung prinsip transparansi dan akuntabilitas POLRI terhadap masyarakat. Membentuk kelompok sadar peduli Kamtibmas, dengan posisi yang sejajar dengan polisi. Selama ini, kelompok serupa berada pada posisi ‘di bawah’ koordinasi polisi. Akibatnya, kelompok serupa juga merasa dirinya berada ‘di atas’ dibandingkan masyarakat lainnya, sehingga yang terbentuk adalah sifat arogan, dan mengarah pada adanya penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan karena merasa dekat dengan polisi. Padahal seharusnya, kelompok tersebut dapat berfungsi sebagai jembatan komunikasi antara masyarakat dengan polisi. Adanya kedekatan masyarakat dengan polisi, akan berimplikasi pada terciptanya partisipasi publik.

Polisi dapat dekat dengan masyarakat, jika polisi tahu apa yang diinginkan oleh masyarakatnya (tentunya dalam hal menciptakan rasa aman). Jika dikaitkan dengan fungsi kepolisian, di mana polisi harus mampu menilai berbagai situasi kamtibmas yang terjadi di masyarakat, maka dapat dikatakan bahwa dalam melakukan pencegahan kejahatan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat setempat. Mengetahui dan memahami gejala sosial ini dapat terwujud jika ada komunikasi timbal balik antara polisi dengan masyarakat. Pada situasi inilah dapat dikatakan adanya kedekatan antara polisi dengan masyarakat. Menciptakan situasi kedekatan tersebut, tentunya bukan hal yang semudah membalikan telapak tangan. Perlu ada rasa saling percaya yang timbul di antara keduanya di mana masyarakat percaya bahwa polisi dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan sebaliknya, polisi percaya bahwa masyarakat adalah mitra yang dapat diajak bekerja sama dalam mewujudkan tugas dan fungsi kepolisian.

Upaya untuk mendekatkan POLRI dengan masyarakat harus dilakukan dengan adanya keterbukaan dari polisi untuk menerima keluhan dari masyarakat. Keterbukaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk kemudahan akses untuk melaporkan apa pun kejadian atau peristiwa yang dialami atau yang terjadi di wilayahnya. Selain itu, perlu ada penanaman pemahaman bahwa menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, adalah merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya polisi.

Hubungan antara masyarakat dengan polisi adalah saling mempengaruhi, atau lebih tepatnya, keberadaan polisi dalam masyarakat adalah fungsional dalam struktur kehidupan. Dapat dikatakan, bahwa sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi, maka ada timbal-balik fungsional antara masyarakat dengan polisi. Pada segi model kepolisian, hal ini sesuai dengan apa yang disebut community policing.

Esensi dari pelaksanaan community policing yang sedang dikembangkan POLRI pada saat ini, seharusnya adalah pada pencegahan kejahatan dan bukan semata-mata menindak kejahatan. Tentunya, pencegahan kejahatan antara lain adalah dengan membantu masyarakat untuk memecahkan masalah yang berpotensi pada munculnya tindak kriminalitas, seperti pengambilan atau penentuan kebijakan kepolisian yang berkaitan atau bersentuhan langsung dengan kepentingan masyarakat (misalnya teknis patroli, pelaksanakan operasi kepolisian, razia dan sebagainya).

Dalam konteks pendekatan keamanan dan ketertiban, dapat dilakukan dengan membuat sispamkota/sispamda yang melibatkan perangkat daerah setempat dengan pola yang ‘bernuansa daerah’. Misalnya, membuat jaringan antara polisi dengan aparat keamanan Pemda (polisi pamong praja, hansip/linmas) maupun dengan unsur lainnya yang bersifat in action. Cara ini implikatif dengan bagaimana teknik/taktik/strategi menjalankan metode pemolisian yang berbasis kepada masyarakat.

David Baley (1998) menyatakan bahwa polisi modern, polisi masa depan itu adalah polisi yang mampu mencegah kejahatan dengan memanfaatkan sumber daya yang ada pada masyarakat setempat. Jadi, kunci keberhasilannya adalah kemampuan polisi untuk melibatkan masyarakat dalam memerangi dan utamanya mencegah kejahatan. Membentuk polisi seperti itu tak mudah dan mahal. Bila Indonesia menghendaki Polri makin baik dan mampu menurunkan kriminalitas secara bersistem dan penuh keberhasilan, maka semahal apapun polisi semacam itu harus mulai direkrut mulai saat ini juga.

2. Tidak Birokratis dan Beban KKN Polisi

“Tidak birokratis” dimaknai sebagai pelayanan suatu proses penegakan hukum yang memenuhi prinsip sederhana, murah dan cepat. Bila prinsip tersebut disepakati, maka diperlukan indikator atau kriteria yang jelas untuk mengelaborasi prinsip dimaksud. Tentu saja, indikator itu secara implisit dan eksplisit tersebut di dalam teks normatif ketentuan hukum yang mengatur berbagai mekanisme hukum acara. Ada beberapa faktor penting harus diperhatikan untuk memastikan pelayanan tidak birokratis pada para pencari keadilan, yaitu antara lain: (1) ada petunjuk atau informasi yang jelas mengenai mekanisme dan alur pelayanan; (2) informasi itu bersifat “user friendly” sehingga siapapun, khususnya pencari keadilan, akan mudah memahami dan melakukannya; (3) informasi itu berupa: (a) bagaimana mendapatkan informasi; (b) bagaimana cara melaporkan; (c) apa saja yang mesti dilengkapi agar bisa segera diproses; (d) bagaimana mereka bisa mengakses informasi kemajuan dan perkembangan penanganan; (e) kepada siapa mereka bisa menanyakan proses itu; dan (f) ada limitasi waktu yang jelas untuk menyelesaikan setiap tahapan. Tidak birokratis juga berkenaan dengan kepastian mendapatkan respons atas segala soal yang dipertanyakan sesuai kewenangan aparatur penegakan hukum.

Akan tetapi proses pelayanan bagi pencari keadilan sangat rentan terhadap KKN. Di sisi lain, dipahami betul bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan untuk menangani suatu kasus tertentu guna menjalankan proses penegakan hukum memerlukan biaya. Kepolisian mempunyai kemampuan yang terbatas untuk membiayai keseluruhan proses tersebut. Dalam hal ini ada dilema, di satu sisi penegak hukum mempunyai keterbatasan sehingga tak akan mungkin optimal menjalankan segenap kewenangan yang melekat pada tugas pokoknya; sedangkan di sisi lain mereka tak boleh meminta biaya jasa pelayanan. Lembaga penegakan hukum harus menfasilitasi peningkatan penggunaan kewenangan kepolisian.

Untuk menguji tindakan upaya paksa yang dilakukan lembaga kepolisian, atau lembaga lainnya yang punya kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan atau penghentian penyidikan dan penuntutan, bisa dilakukan dengan suatu upaya hukum yang bernama praperadilan. Akan tetapi lembaga praperadilan tidak mempunyai kewenangan untuk menguji upaya paksa penyegelan dan penyitaan. Ketiadaan kontrol untuk menguji keabsahan tindakan kepolisian akan menyebabkan kian merebaknya potensi KKN. Karena itu harus ada suatu mekanisme yang memungkinkan dilakukannya “pengujian” keabsahan tindakan dari tindakan upaya paksa lembaga penegakan hukum.

3. Solusi Tanpa Kekerasan dan Menjunjung Tinggi HAM

Dewasa ini ada penilaian, salah satunya dari Komnas HAM, bahwa Polri adalah instansi pemerintahan yang melakukan pelanggaran HAM terbesar di Indonesia. Hal itu dimungkinkan terjadi karena banyak faktor, antara lain: (1) para penyidik masih berpola tindak mengejar pengakuan dengan cara melakukan pemukulan/tindak kekerasan yang lain; (2) penyidik seharusnya dididik sampai memiliki kemampuan di atas rata-rata orang yang disidik, sehingga mereka mampu melakukan pembuktian berdasar keunggulan dalam kemampuan berpikir dan berargumentasi (kejahatan di lingkungan perbankan, misalnya, sampai di tangan polisi sudah menjadi sulit dan rumit, setelah penyelesaian secara teknis Perbankan buntu. Sedang penyidik yang ahli tentang seluk-beluk perbankan tidak banyak/relatif sedikit); (3) di lapangan, para Bintara muda Polri sangat mudah terpancing emosi, sehingga mereka sangat peka terhadap kata-kata, cemoohan, tantangan dan lain-Iain, apalagi lemparan batu, pukulan dan sebagainya, langsung membuat mereka marah dan terpancing brutal; dan (4) dalam berbagai proses penggusuran, Polri selalu berada paling depan dalam setiap eksekusi yang sangat sering mengalami perlawanan penghuni. Di sini selalu terjadi pertentangan yang sering menjadi tindak kekerasan yang frontal dan ‘head to head’. Dalam kaitan kekerasan, jarang atau hampir tidak penah dikatakan masyarakat yang melanggar HAM, hingga pelanggar HAM selalu aparat keamanan (polisi).

Akar kelemahan polisi yang membuat dirinya berpotensi untuk melakukan kekerasan (melanggar HAM) adalah: (1) kurangnya pengetahuan pada bidang tugasnya; (2) kurang mantapnya sistem pelatihan, sehingga secara emosional mudah terpancing; (3) Polisi secara tidak sadar dibenturkan pada potensi perlawanan rakyat yang sering bermuatan nuansa ketidakadilan dan berkembang ‘sikap penguasa’ dari polisi kepada masyarakat. Padahal jika polisi dan masyarakat tidak saling memaksakan kehendak, mampu memberi dan menerima pemikiran pihak lain secara rasional dengan penuh pengertian, semua pasti dapat diselesaikan tanpa kekerasan.

Pihak kepolisian harus mengembangkan kemampuan untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi secara lengkap agar mampu mencari, menemukan, serta menerapkan cara bertindak tanpa kekerasan yang berujung pada solusi terbaik. Penghayatan dan pengamalan nilai-nilai universal HAM perlu dimasukkan pada kurikulum pendidikan Polri pada semua jenjang dan tataran. Terutama bagi calon-calon petugas di lapangan yang langsung bersentuhan dengan warga masyarakat. Dengan memahami, menghayati dan menjunjung tinggi hukum dan HAM, maka akan berdampak langsung terhadap hubungan individu di dalam relasi Polri dan warga masyarakat. Polri yang menjunjung tinggi HAM tidak akan menggunakan kekerasan dalam menciptakan ketertiban yang ditujukan kepada warga masyarakat pada saat berunjuk rasa atau demonstrasi.

Penutup

Pemilahan tugas-tugas pokok Polri dan memberikan prioritas kepada pelayanan masyarakat daripada pemeliharaan kamtibmas dan penegakan hukum, ternyata belum sesuai dengan harapan masyarakat, sehingga Perlu terus dilakukan upaya untuk memperbaiki kinerja Polri dengan:

1. Community Policing yaitu dengan melaksanakan kerjasama polisi-masyarakat dalam berbagai bidang pada umumnya dan penegakan hukum serta menjaga kamtibmas pada khususnya.

2. Tidak bersikap birokratis dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan menekan beban KKN Polisi yaitu dengan suatu mekanisme yang memungkinkan dilakukannya “pengujian” keabsahan tindakan dari tindakan upaya paksa lembaga penegakan hukum.

3. Solusi Tanpa Kekerasan dan Menjunjung Tinggi HAM dengan tidak saling memaksakan kehendak antara polisi dan masyarakat, mampu memberi dan menerima pemikiran pihak lain secara rasional dengan penuh pengertian, dan pihak kepolisian harus mengembangkan kemampuan untuk mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi secara lengkap, diutamakan adanya penghayatan dan pengamalan nilai-nilai universal HAM pada kurikulum pendidikan Polri pada semua jenjang dan tataran dengan tujuan agar mampu mencari, menemukan, serta menerapkan cara bertindak tanpa kekerasan yang berujung pada solusi terbaik.

Dengan demikian diharapkan dapat terwujud aktualisasi reformasi Polri dalam rangka mewujudkan kultur polisi sipil, yaitu polri yang dimiliki, dicintai dan dibanggakan oleh masyarakat.

Daftar Referensi :

Undang-Undang Kepolisian Negara (UU RI No. 2 Th. 2002). 2003. Sinar Grafika: Jakarta.

International Organization for Migration/IOM. 2006. Perpolisian Masyarakat, Manual Polmas untuk Petugas Lapangan Polri.

Mabes Polri. 2005. Surat Keputusan Kapolri No. Pol: Skep/737/X/2005. Mabes Polri: Jakarta.

Peraturan Presiden No 17 Tahun 2005 tentang Komisi Kepolisian Nasional, tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat.

Hans Z.A., Jen dan Gunawan, Budi. 2006. Kiat Sukses Polisi Masa Depan. Jakarta: Personal Development Training.

Rianto, Bibit Samad. 2006. Pemikiran Menuju Polri yang Profesional, Mandiri, Berwibawa, dan Dicintai Rakyat. Jakarta: Restu Agung.

Yahya Harahap, M. Pembahasan Masalah dan Penerapan Kuhap Pemeriksaan Sidang Pengadilan.Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta; Sinar Grafika, 2000.

Sumber: Blog Aris Sutanto