30-10-2009 Makin banyak saja variasi batik khas Surabaya. Apalagi saat ini belum ada aturan tertulis tentang motif batik khas Surabaya, sehingga peluang untuk mengembangkan kreasi motif batik khas Surabaya terbuka lebar.
Lulut Sri Yuliani salah satunya. Bersama masyarakat Wonorejo, Rungkut yang menjadi mitra binaannya, dia mencoba berinovasi dengan menciptakan batik mangrove. “Batik mangrove adalah batik yang desainnya dari motif mangrove dan bahan warnanya juga dari mangrove. Tujuannya bukan hanya menjual, tapi juga melestarikan lingkungan. Satu lembar kain hanya untuk satu orang karena desainnya selalu beda,” ungkap Sri kepada reporter JJFM, Jumat (30/10).
Seperti diketahui, kawasan Wonorejo, Rungkut Surabaya dikenal sebagai kawasan hutan mangrove. Pasalnya, disana banyak tumbuh tanaman mangrove hingga menyerupai hutan.
Teknik membatiknya hampir sama dengan teknik membatik pada umumnya. Hanya satu keunggulannya yaitu setelah proses pewarnaan biasanya muncul degradasi warna dari warna muda ke warna tua dengan sendirinya. Hal ini tidak ditemukan pada teknik membatik biasa. Proses perebusan berlangsung selama 2 minggu, kemudian diikat dengan tawas dan tunjung. Proses pembuatannya sendiri berlangsung cukup lama, yaitu seminggu sampai dua minggu tergantung motif dan jumlah warna.
“Saya punya 44 motif yang sudah pakem. Tapi setiap perajin saya minta untuk kreatif agar mereka tidak hanya jadi manusia penjiplak. Sehingga antara batik yang satu dengan lainnya beda,” kata pemilik Batik Seru ini.
Ke-44 motif ini yang terus dijaga agar tidak diklaim perajin lain. Sebab beberapa saat lalu ada perajin lain yang meng-klaim batik mangrove sebagai miliknya. Beruntung, pemkot Surabaya kemudian menetapkan bahwa batik mangrove adalah murni milik Sri. Sebab dialah yang pertama kali menciptakan batik dari mangrove, tepatnya sejak 2007. Saat it, dia menciptakan motif batik mangrove dipersembahkan untuk Kecamatan Rungkut Mandiri.
Meski masih tergolong baru, namun dia sudah memiliki pelanggan tetap di Kanada, California, dan Australia. Menurutnya, apresiasi warga asing terhadap batik ciptaannya yang sarat unsure lingkungan lebih tinggi dibanding masyarakat Indonesia. Apalagi kalau melihat harga jualnya yang mencapai Rp 600.000 sampai jutaan rupiah. Maka akan terlihat segmen pasar mana yang menjadi tujuannya. “Harga tersebut masih sangat layak karena ini adalah batik tulis yang menggunakan bahan alam,” tegasnya. (noe)
Sumber: JJFM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar