Rabu, 07 Oktober 2009

Lulut Sri Yuliani, Kreator Batik Seru Berbahan Warna Mangrove

[ Rabu, 07 Oktober 2009 ]
Lulut Sri Yuliani, Kreator Batik Seru Berbahan Warna Mangrove
Masih Produksi Berdasarkan Pesanan

Berawal dari keprihatinan terhadap pembalakan mangrove, Lulut Sri Yuliani mengkreasi batik mangrove. Selain motif, fasilitator lingkungan hidup itu membuat pewarnaan kain batik dari daun, buah, dan bunga mangrove.

IGNA ARDIANI ASTUTI

---

ADA batik unik yang dipajang dalam pameran Exotica Batik di Hotel Java Paragon, 2--4 Oktober lalu. Yaitu, Batik Seru, singkatan dari seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya. Batik tersebut merupakan hasil seni kerajinan ibu-ibu dari Kecamatan Rungkut.

Mereka pamer karya di antara deretan batik Nusantara dari Banyumas, Madura, dan Pekalongan untuk memperingati penetapan batik sebagai bagian dari pusaka dunia. Dari pameran tersebut, ibu-ibu Kecamatan Rungkut mendapat order 16 potong kain. ''Itu belum termasuk pesanan dari pihak lain. Misalnya, dari Kementerian Kelautan serta dinas-dinas di Surabaya,'' kata Lulut Sri Yuliani, penggagas Batik Seru.

Sampai saat ini ibu-ibu tersebut memang menjajakan karyanya dengan cara by order only. ''Yah, karena keterbatasan modal dan tenaga,'' kata Lulut. Batik Seru menggunakan dua macam bahan, katun primisima kualitas 1 (KW1) dan sutra.

Pesanan yang cukup banyak itu membuat Lulut dan timnya, yang berjumlah 60 orang, makin sibuk. ''Kalau dulu kerjanya hanya waktu senggang, sekarang harus dioptimalkan. Setiap hari memproduksi batik,'' ujarnya. Meski begitu, penyebarannya belum banyak. Padahal, tak sedikit gerai batik dalam dan luar kota bersedia menampung batik mangrove tersebut. ''Sekarang saya berjuang mencari tambahan modal untuk memasarkan,'' katanya.

Dari tampilan motif, batik tersebut memang berbeda dari batik Nusantara yang lain. Motifnya khas, buah dan daun mangrove. Misalnya, buah kira-kira (xylocarpus granatum), gedangan (aegiceras corniculatum), buyuk (nypa fruticans-palmae), dan tanjang merah (bruguiera gymnorrhiza). Batik tersebut juga menggunakan bahan pewarna dari mangrove. Bahan alami itu menyepuhkan warna lembut tersendiri.

Ide batik mangrove muncul karena keprihatinan Lulut terhadap pembalakan liar besar-besaran hutan mangrove pada 2007. Perempuan 44 tahun itu lantas mencari cara untuk membangkitkan kepedulian warga terhadap kelestarian hutan mangrove. ''Kenapa tidak dengan batik?'' katanya. ''Apalagi, dulu Surabaya juga punya sejarah sebagai salah satu sentra batik,'' sambungnya.

Ide itu lalu dipaparkan pada kelompoknya, kerajinan ibu-ibu Rungkut. Namun, banyak yang menentang. Batik mangrove dianggap tidak punya daya jual. Meski begitu, Lulut jalan terus. Bahkan, pada 2008 dia sudah merancang 23 motif batik khas mangrove.

Inspirasi itu muncul setelah Camat Rungkut Irvan Widyanto yang baru pulang dari konferensi hutan mangrove di Bali memberinya buku panduan mangrove. ''Saya buat sebisa saya dengan panduan buku tersebut,'' katanya.

Setelah membuat desain, dia mengajukan proposal ke Dinas Tenaga Kerja agar disediakan tenaga pelatih batik. ''Seperti yang saya duga, tidak mulus,'' katanya. Tapi, Lulut tetap ngotot. Setelah dua minggu negosiasi, istri Budiono Halim tersebut mengantongi izin. Pelatihan batik pun digelar lima hari. Pesertanya ya ibu-ibu dari Kecamatan Rungkut.

Tak kurang dari 25 kelompok yang terlibat. Seusai pelatihan, Lulut melanjutkan langkahnya mendatangi Dewan Kerajinan Nasional Daerah Surabaya (Dekranasda) pimpinan Tjahjani Retno Wilis, istri Wawali Surabaya Arif Afandi. Tujuannya, untuk produksi sekaligus pembinaan desain dan kualitas. ''Setelah itu kami bekerja sama dengan UK Petra untuk pelatihan teknik membatik, membuat desain, dan pewarnaan lagi supaya lebih mantap,'' jelas ibu satu anak tersebut.

Lulut sengaja menggandeng akademisi, tidak perajin batik, agar tidak terpengaruh. ''Kami tidak ingin terpengaruh batik Jawa Tengahan atau batik dari daerah lain. Kami ingin mengembangkan batik sendiri, batik mangrove,'' kataya.

Setelah batik mangrove terealisasi, magister manajemen STIE Mahardika itu mencoba membuat pewarna dari bahan mangrove. Lulut memanfaatkan limbah mangrove yang banyak diolah jadi dodol, sirup, atau jenang.

Mantan guru SMK itu memang pernah mendapat ilmu bahwa bahan-bahan alami bisa dibuat sebagai bahan pewarna. Bedanya, untuk menghasilkan pewarna tersebut butuh waktu dua bulan. ''Rasanya kok lama sekali. Saya yakin itu bisa dibuat lebih singkat,'' katanya.

Lulut pun melakukan eksperimen sendiri. Dia menggunakan bahan daun, batang, bunga, dan sampah kulit buah mangrove. Bahan-bahan itu dirajang, kemudian direbus dua minggu, setiap hari satu jam.

Perebusan rutin tersebut menghasilkan warna yang makin lama makin kuat. Ini yang dijadikan sebagai bahan pewarna batik. Namun, bahan alami berisiko busuk. Pembusukan biasanya terjadi dalam waktu seminggu yang ditandai dengan munculnya jamur.

''Kalau sudah berjamur, pewarnanya tidak bisa digunakan. Warna yang dihasilkan sudah berbeda,'' kata perempuan yang menjalankan percobaan tersebut dua bulan. Dia segera mencari solusi. Pewarna alami yang sudah jadi itu diikat dengan bahan pengikat warna. Pembubuhan bahan itu bisa memperpanjang usia pewarna sampai dua bulan.

Bahan alam tersebut bisa menghasilkan macam-macam warna. Mulai hijau, cokelat, merah, kuning, biru, dan ungu. Warna hijau berasal dari daun mangrove, sepuhan cokelat dihasilkan kulit, kuning dari getah buah, sedangkan ungu dari campuran caping buah dan kulit buah.

Berbeda dengan pewarna kimia, warna alam tersebut memang tidak bisa menghasilkan sepuhan warna yang kuat. Warna-warna yang dihasilkan cenderung lembut. Karena warna yang lembut itu, perawatan kain yang disepuh juga harus khusus agar tidak cepat pudar. ''Menjemurnya jangan langsung terkena matahari,'' kata Lulut. Demikian juga mencucinya, sebaiknya tidak menggunakan deterjen. ''Kami juga membuat sabun cuci sendiri, berbahan mangrove dan lerak,'' lanjut ibunda Nadia Chrissanty Halim itu.

Batik Rungkut itu sangat mungkin berkembang lebih luas. Juni lalu dipamerkan di Singapura. Dari delapan kain yang dipamerkan, empat terjual. Saat ini Lulut mengurus proses hak paten Batik Seru. ''Kami akan terus mengenalkan batik ini. Namun, yang paling penting adalah kesadaran masyarakat terhadap pelestarian mangrove,'' ujarnya. (*/cfu)

Sumber: JawaPos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar