Lulut Sri Yuliani Batik Mangrove
Hari-hari ini Lulut Sri Yuliani (44) supersibuk. Usai menggelar pameran batik di Hotel Java Paragon Surabaya, 2-4 Oktober 2009, Lulut wira-wiri ke sejumlah instansi pemerintah dan swasta. Mulai dari mengurus hak paten, pelatihan batik, persiapan pameran, hingga melayani pesanan konsumen.
Kesibukan koordinator Paguyuban Seni Batik Warna Alami Mangrove (Batik Seru) ini tak lepas dari melejitnya batik sebagai world heritage yang diakui UNESCO pada 2 Oktober lalu. Nah, di sela-sela kesibukan itu, Lulut menerima Radar Surabaya untuk wawancara khusus di rumahnya, Wisma Kedungasem Indah J-28 Surabaya, Kamis (15/10/2009). Petikannya:
Oleh LAMBERTUS HUREK
Anda kelihatan sibuk sekali hari ini?
Benar. Saya harus ke kantor kecamatan (Rungkut), Deperindag, untuk mengurus hak paten. Paten ini sangat penting untuk melindungi produk batik yang sudah kita rintis dan kembangkan di sini. Jangan sampai setelah kita produksi banyak dan lama, eh tahu-tahu ada persoalan paten di kemudian hari. Kita mengantisipasi adanya klaim-mengklaim motif dan sebagainya. Kita nggak ingin itu terjadi dengan Batik Seru. Sebab, kita ingin Batik Seru ini menjadi salah satu aset Kota Surabaya.
Apa sudah ada yang mengklaim?
Itu dia. Setelah kita mulai proses pengurusan paten, ternyata ada pihak lain yang sudah mendaftar. Makanya, sekarang kita tangani biar clear. Kalau persoalan paten beres, kita bisa berkarya dengan lebih tenang.
Ada rencana pameran atau workshop dalam waktu dekat?
Ya. Aktivitas kami bulan ini memang sangat padat. Tanggal 2-4 Oktober pameran tunggal dan demo batik mangrove di Java Paragon. Kemudian 7-14 Oktober pameran di JCC Jakarta yang didukung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Tanggal 22 sampai 28 Oktober pameran di Balai Pemuda Surabaya bekerja sama dengan Dinas Tenaga kerja.
Saya dan anggota paguyuban harus kerja keras karena setiap pameran perlu menampilkan batik yang unik dan menarik. Jadi, dibuat khusus untuk ditampilkan di pameran tersebut. Meskipun capek, pontang-panting ke sana kemari, kegiatan-kegiatan yang padat ini sangat menyenangkan. Sebab, ini berarti seni batik, yang merupakan warisan budaya leluhur kita, makin tersosialisasi di mana-mana. Dan mudah-mudahan orang Indonesia makin menyukai batik.
Setelah pengakuan dari UNESCO itu, pesanan makin banyak?
Puji Tuhan, pesanan datang dari mana-mana, mulai kelas atas, menengah, sampai bawah. Ini juga menjadi tantangan bagi kami agar bisa melayani konsumen dengan sebaik-baiknya. Kalau banyak order, tapi barangnya nggak ada kan susah. Syukurlah, kami di sini punya 60 anggota tim yang secara sinergis bisa memproduksi batik secara on time.
Saya berperan sebagai koordinator dan desainer saja. Proses selanjutnya digarap oleh anggota tim yang 60 orang itu. Mereka terbagi dalam 11 kelompok. Jadi, koordinasinya lebih gampang. Saya di sini juga ikut menggarap karena itu memang pilihan profesi saya.
Tim Anda di Batik Seru ini cukup solid?
Yang 60 orang ini solid. Kita belajar dari pengalaman sebelumnya ketika baru merintis paguyuban batik mangrove di sini. Awalnya ada 120-an anggota, tapi kemudian mengkristal menjadi 60. Memang harus diakui bahwa mengurus UKM (usaha kecil dan menengah) itu tidak gampang. Dalam perjalanan selalu ada monster yang mengganggu keutuhan komunitas.
Saya sudah banyak mengalami jatuh bangun, dikecam, dilecehkan... macam-macamlah. Tapi kalau mau maju, ya, proses seperti itu harus dilalui. Usaha apa pun yang kita tekuni tidak akan pernah mulus. Yang penting, kita tetap semangat, optimistis, dan tidak boleh menyerah.
Apa keunggulan mangrove sebagai pewarna alami?
Warnanya unik dan lembut. Beda dengan pewarna alami lainnya, apalagi pewarna kimiawi. Anda bisa lihat warna ungu ini (Lulut memperlihatkan cairan berwarna ungu di botol kecil). Ungunya itu asyik banget. Dan itu kalau dipakai untuk batik, hasilnya beda. Kain batik pesanan Ibu Wawali, Tjahjani Retno Wilis, ini (didominasi warna ungu) kan kelihatan unik. Saya sendiri tidak bosan-bosannya menikmati keindahan warna alami dari mangrove.
Hampir semua bagian mangrove alias bakau itu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami. Mulai daun, bunga, buah, kulit, bermanfaat. Karena itu, kami tidak akan kekurangan bahan pewarna alami selama hutan mangrove masih ada. Misi utama di balik kerajinan batik mangrove ini memang ke pelestarian hutan mangrove di Kota Surabaya. Tentu saja, kami sangat berkepentingan agar hutan mangrove itu tetap lestari.
Kabarnya, batik mangrove ini tidak bisa dicuci dengan sabun dertegen biasa dan tidak boleh terkena sinar marahari secara langsung?
Karena itu, kami sudah menyediakan sabun khusus untuk mencuci batik mangrove yang kami produksi. Sabunnya tidak keras sehingga lebih cocok untuk batik. Semua orang yang membeli atau mengoleksi batik pasti kami beri petunjuk cara mencuci dan merawat batik tersebut. Sabun juga diproduksi sendiri oleh Paguyuban Batik Seru.
Ada yang bilang harga batik tulis, termasuk mangrove ini, sulit dijangkau masyarakat kebanyakan?
Tidak juga. Kami menyediakan beberapa macam batik untuk melayani kelas atas, menengah, dan bawah. Harganya pasti berbeda. Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu-lah. Kain sutra kan mahal, belum lagi proses pembuatan yang cukup lama karena 100 persen manual atau menggunakan tangan. Beda sekali dengan batik printing yang pakai mesin. Yang namanya seni batik yang menjadi kebanggaan Indonesia itu, ya, batik tulis. Soal harga itu sangat relatiflah.
Apa lagi yang dikembangkan di sini selain Batik Seru?
Batik Sitania. Komunitas Batik Animasi Anak Warna Alami. Komunitas ini ditangani anak saya, Nadia Chrissanty Halim. Selama ini batik lebih dikenal sebagai pakaian orang dewasa. Belum ada corak batik khusus untuk anak-anak. Gambar yang pas dengan jiwa anak-anak itu kan seharusnya beda dengan orang dewasa. Maka, Batik Sitania ini menggunakan gambar-gambar animasi agar bisa diterima oleh anak-anak. Tapi bahan pewarnanya tetap menggunakan mangrove.
Anggota komunitasnya berapa orang?
Belum banyak, baru lima orang. Tapi saya yakin komunitas ini juga akan berkembang karena makin banyak anak-anak yang senang batik.
Ngomong-ngomong, apa prinsip hidup Anda?
Saya selalu ingin menjadi orang yang berguna untuk sesama. Seperti Ibu Teresa. Selama saya masih diberi hidup oleh Tuhan, saya wajib memberikan hidup saya untuk orang banyak. (*)
LULUT SRI YULIANI
Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965
Suami : Ferdinand Yulianus Budiono Halim
Anak : Nadia Chrissanty Halim
Hobi : Mancing
Pendidikan
SMPN 12 Surabaya
SPG Pringadi Surabaya
IKIP Surabaya (S-1)
STIE Mahardika (S-2)
Penghargaan
Pejuang Lingkungan Kota Surabaya, 2006
Guru Musik Teladan Jatim (runner-up), 1994
Titik Balik setelah Lumpuh
Lulut Sri Yuliani tadinya seorang guru. Lulusan Sastra Jawa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya--sekarang Universitas Negeri Surabaya--ini sejak 1979 mengabdikan diri sebagai pengajar di sejumlah sekolah. Lulut bahkan pernah menjabat kepala sekolah di SMK Panglima Sudirman dan SMPK Prapanca 2 Surabaya.
Pada 1997, ketika krisis moneter menyerang Indonesia dan muncul gelombang reformasi politik, ibu satu anak ini pun dilanda krisis hidup yang luar biasa. Tubuhnya lumpuh. Dokter memvonis bahwa durasi hidup perempuan arek Surabaya ini tinggal satu tahun. Ini karena aliran darahnya tak normal. "Pembuluh darah saya pecah," kenang Lulut Sri Yuliani.
Tangan, kaki, dan bagian-bagian lain tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Dan, jika aliran darah tak lagi mengalir menuju otaknya, maka... wassalam. Di saat seperti ini rasanya sang maut sudah menjelang. Namun, keinginan untuk sembuh sangat cukup kuat. Ini membuat dirinya berencana melakukan segala jenis pengobatan. Namun, ketika sadar bahwa semuanya akan sia-sia, Lulut memilih pasrah.
”Saya hanya berharap pada keajaiban. Mukjizat! Kalau saya sembuh, saya akan mengabdikan hidup saya pada alam dan masyarakat,” ujar Lulut. Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Rungkut ini pun semakin banyak berdoa, mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
"Saya percaya bahwa mukjizat Tuhan itu akan terjadi. Bagi Dia tidak ada yang mustahil," katanya. "Saya tidak bisa berharap pada obat-obatan karena tubuh saya sudah menolak semua jenis antibotika."
Singkat cerita, mukjizat itu memang benar-benar terjadi. Lulut dinyatakan sembuh. Sejak itulah dia bertekad membaktikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat banyak dan konservasi lingkungan. Sejak 2007, sebagai ketua Forum Peduli Lingkungan (FPL) Kecamatan Rungkut, dia total berdedikasi untuk lingkungan dan masyarakat. Dari sinilah dia berjumpa dengan mangrove sebagai tanaman unggulan di Rungkut.
"Waktu kecil saya dan teman-teman sudah tahu yang namanya bakau. Tapi baru intensif tahun 2007," paparnya. Saat itu dia bersama Wali Kota Surabaya, Camat Rungkut, dan Dinas Pertanian mengadakan kunjungan ke Wonorejo karena banyak terjadi pembalakan liar. ”Hutan mangrove itu ternyata sangat indah,” katanya.
Wali Kota Bambang DH kemudian memberinya sebuah buku tentang budidaya dan pemanfaatan mangrove. Mulai dari situlah dia mulai menekuni dunia mangrove. Selain batik mangrove, Lulut bersama UKM binaannya membuat aneka macam produk berbahan dasar mangrove.
Ada Sirvega (Sabun Cair Mangrove dan Toga) yang khusus untuk mencuci kain batik. Sabun cair bebahan dasar klerak sebagai sampo, sabun cuci piring, cuci mobil, dan cuci tangan. Ada juga Weruh Bekul, minuman penghangat dan pelancar peredaran darah dari bakau.
Selain itu, Lulut membuat berbagai produk lain. Di antaranya, olahan limbah padat tempe (olipate) menjadi pakan ikan dan olahan limbah cair tempe menjadi pakan ternak (tabacate). Perjuangan Lulut ternyata tidak sia-sia. UKM binaannya berkembang di seluruh Kecamatan Rungkut.
”Saya memang ingin membuat Rungkut menjadi kawasan yang mandiri dan mempunyai ciri khas,” katanya.
LULUT SRI YULIANI
Wisma Kedungasem Indah J-28, Rungkut, Surabaya
081 230 808 665
031 779 57465
Tidak ada komentar:
Posting Komentar