Senin, 05 Oktober 2009

Artikel batik motif mangrove dari Kompas

Sirvega dan batik seru

Lulut juga mencoba membuat sabun alami dari buah-buah mangrove. Pelatihan yang diadakan pemerintah memberinya pengetahuan. Namun, resepnya tetap harus dicari dari berbagai referensi dan eksperimen.


Setelah setahun mencoba-coba, pada 2006 Lulut dan kader lingkungan sekitarnya mulai memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.

Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.

Tahun ini Lulut mendesain pakem batik mangrove. Sebanyak 44 desain seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya (seru) dia siapkan. Semua mengambil bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta makhluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Setiap motif dilengkapi nama jenis mangrove yang spesifik, baik dalam nama Latin maupun nama daerah dan motif tambahannya.

Motif tanjang putih, misalnya, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang-seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.

Motif mange kasihan beda lagi. Gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu, gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu.

Supaya sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.

Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali.

Selain menggunakan pewarna alam, batik mangrove yang diciptakan Lulut bersama perajin di Kedung Baruk sejak Juli 2009 bisa dikatakan eksklusif. Sebab, setiap perajin mengatur komposisi desain sendiri. Lulut hanya menyiapkan pakemnya.

”Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak,” kata Lulut.

Ketika mengajar menggambar, dia kerap mendapati gambar seragam, seperti pemandangan dengan dua gunung, matahari, dan sawah, atau gambar seragam vas dengan dua tangkai bunga.

Perkumpulan perajin batik mangrove yang berpusat di tempat tinggal Lulut, Wisma Kedung Asem Indah, diberi nama Griya Karya Tiara Kusuma. Maksudnya, dari rumah semua bisa berkarya mengharumkan nama bangsa dan memakmurkan keluarga.

Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk, terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.

Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.

Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif sawunggaling dan suroboyo.

Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis mangrove.

Satu-satunya kendala dalam pengembangan batik mangrove adalah permodalan. Untuk membuat contoh batik dari 44 motif itu, Lulut memerlukan dana sekitar Rp 40 juta.

Dari sisi perajin, dia mengatakan, relatif tak ada masalah. Rencananya, tambah Lulut yang sejak tahun 2009 menjadi pendamping Usaha Kecil dan Menengah Dinas Tenaga Kerja Surabaya, akan kembali dilangsungkan pelatihan membatik kepada lebih banyak ibu di Kedung Baruk. Dengan demikian, semakin banyak orang yang bisa membuat kerajinan batik mangrove membuat lingkungan terjaga dan rumah tangga bisa makin sejahtera.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/05/08483491/Lulut.Sri.Yuliani.dan.Batik.Mangrove

Tidak ada komentar:

Posting Komentar