Sabtu, 03 Oktober 2009

Artikel dari Koran Suroboyo.com

Batik Kepiting dan Siput

SUROBOYO - Bisa jadi ini gerakan batik akibat dislenthik, disentil, oleh negara tetangga. Padahal sekitar 30 tahun lalu gerakan swadesi mewajibkan siswa mengenakan batik setiap Sabtu. Setalah mati suri dan timbul tenggelam, mulai hari ini eforia berbatik bangkit lagi.
Beragam batik disodorkan oleh masing-masing daerah. Setiap orang mengklaim punya batik motif khas yang asli. Tak sedikit yang berusaha membuat batik dengan pakem berbeda.

Di Surabaya, keinginan membuat batik yang unik agar tetap dilirik salah satunya dilakukan oleh sekelompok ibu dengan Seni Batik Motif Mangrove Rungkut Surabaya (Seru). Seru mencakup warga enam kelurahan yang ada di Kecamatan Rungkut.
Antara lain Wonorejo, Penjaringan Sari, Rungkut Kidul, Medokan Ayu, Kali Rungkut, dan Kedung Baruk. Mereka adalah kumpulan ibu rumah tangga yang berkreasi dalam desain dan pewarnaan batik.
Karya mereka memiliki ciri khas, mengaplikasikan jenis tanaman mangrove (bakau) yang tumbuh subur di kawasan konservasi pantai Timur Surabaya. Jenis mangrove yang diterapkan sebagai motif batik antara lain Bruguiera gymnoriza, Acrostichum speciosum, dan Ceriops decandra. Kalau orang Surabaya punya istilah sendiri, yaitu bogem, nipah, nyamplung, mange kasihan, atau buli.
Kerajinan batik ini belum sebesar produksi batik Madura. Jumlah lembaran kain batik mangrove yang dihasilkan belum banyak. “Sekitar 15 lembar kain dalam sebulan dari RW VII dan VIII Kelurahan Wonorejo,” ucap Ari Bintarti, salah seorang anggota Seru yang rumahnya dijadikan pusat pembuatan batik motif mangrove Kelurahan Wonorejo.
Proses pembuatan motif tidak terlalu memikirkan komposisi, tetapi rapi dan mengandung jenis mangrove. “Gambar ikan, kepiting, atau siput dimasukkan sebagai hiasan tambahan. Binatang itu kan juga komunitas biota hutan bakau,” kata Noverita Ratnawati, anggota Seru lainnya. Nah, setelah sketsa motif ditindas lilin melalui canting tulis, dilakukan pewarnaan dengan teknik colet atau secara menyeluruh (celup). Kecuali yang memakai parafin, sebab hasilnya akan beda, terbentuk motif serat atau warna tidak merata.
Kini, selain membuat kain batik lembaran, mereka juga membuat baju batik. “Ada warga RW VII yang berprofesi sebagai penjahit. Jadi mereka selain membuat batik juga menjahit,” terang Ari. Harga jual batik ini bergantung lebar dan jenis kain. Mulai dari Rp 125.000 hingga lebih dari Rp 250.000. Berbicara batik Surabaya motif mangrove ini tidak lepas dari Lulut Sri Yuliani, warga Kelurahan Kedung Baruk, yang pertama memiliki gagasan ini. Di sisi lain, Lulut ingin masyarakat lebih mengenal dan peduli tentang mangrove.
“Mangrove segera muncul dalam pikiran saya, sebab sejak kecil suka mancing dengan orangtua di sana,” ungkap Lulut. Desain motif batik mangrove sudah disiapkan sejak tahun 2000. Awalnya hanya 23 motif yang siap, kini sudah 44 jenis motif. Pewarnanya juga alami dari mangrove yang sudah diolah. Seperti warna hijau, merah, kuning, dan biru keunguan. Lulut merasa ini harus ditularkan. Maret 2009 dia mengawali pelatihan membuat batik dengan motif mangrove pada ibu-ibu di Surabaya.
Kain yang digunakan katun dan sutera dengan harga jual Rp 100.000-300.000. Saat ini Lulut bersama kelompoknya sedang menerapkan batik mangrove pada pakaian dan kaus agar lebih modern. (ida-Surya)


Sumber: Koran Suroboyo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar