Batik Mangrove, Motif dan Bahannya Serba Mangrove | ||
30-10-2009 Makin banyak saja variasi batik khas Surabaya. Apalagi saat ini belum ada aturan tertulis tentang motif batik khas Surabaya, sehingga peluang untuk mengembangkan kreasi motif batik khas Surabaya terbuka lebar. Sumber: JJFM |
Jumat, 30 Oktober 2009
Artikel batik motif mangrove dari JJFM
Kamis, 29 Oktober 2009
Artikel Batik Motif mangrove di Tribun Indonesia
Batik Mangrove Simbol Kepedulian Lingkungan Warga Surabaya
Di FEATURES dalam 20 Oktober 2009 pada 11:58 PMeditor Prima Sp Vardhana
SIAPA menyangka munculnya batik Mangrove (bakau) asal Kota Pahlawan atau yang dikenal dengan batik “SeRU” (Seni batik Mangrove Rungkut) berawal dari keprihatinan salah satu warga di Wisma Kedung Asem Indah J 28 Surabaya, Lulut Sri Yuliani atas rusaknya lingkungan yang ada di kawasan konservasi pantai Timur Surabaya.
Banyaknya tanaman mangrove yang ditebang secara liar oleh anggota masyarakat yang tidak bertanggung jawab, sehingga berakibat lingkungan kawasan konservasi pantai Timur Surabaya menjadi rusak. Dampak lainnya, banyak satwa terancam punah dan mengkibatkan abrasi dan erosi di sekitar pantai.
Kondisi tersebut membuat Lulut yang juga koordinator batik SeRU tergerak hatinya. Ia pun mulai memutar otak untuk melakukan tindakan pencegahan penebangan mangrove secara liar. Kebetulan Lulut sendiri adalah salah satu aktivis lingkungan di Surabaya, sehingga ide untuk itu bisa segera terwujud.
“Salah satu yang bisa saya lakukan untuk lingkungan adalah membuat batik mangrove,” katanya.
Menurut dia, tujuan dari batik mangrove tersebut adalah kampanye lingkungan yakni dengan cara mengenalkan mangrove melalui seni batik.
“Saya kira ini yang paling efektif, daripada cara lainnya,” katanya menegaskan.
Batik mangrove, lanjut dia, pertama kali mulai dicetuskan pada tahun 2007 hingga 2008. Selama dua tahun tersebut, ia belajar membatik ke sejumlah daerah, salah satunya belajar cara mendesain batik di Bali.
Sumber: Tribun Indonesia
Artikel dari Jawa Pos Edisi November 2009
Kembangkan Hutan Mangrove
WONOREJO - Hutan mangrove di Wonorejo, Rungkut, mulai menjadi jujukan wisata maupun observasi lingkungan. Kemarin beberapa rombongan datang berkunjung. Misalnya, komunitas alumnus SMA Kr Petra 2 Surabaya angkatan 88. Rombongan yang terdiri atas 40 orang itu menyaksikan pantai yang akan menjadi objek wisata. Mereka datang bersamaan dengan tim Surabaya Tourism Promotion Board (STPB). Ada juga pakar tata kota dari ITS Prof Johan Silas yang juga melakukan observasi.Rombongan berkeliling dan mengunjungi tiga pos pantau di sekitar kawasan hutan. Camat Rungkut Irvan Widyanto juga menunjukkan jalur-jalur yang nanti dijadikan sebagai jalur ekowisata tersebut.
Prof Johan Silas mengatakan, Surabaya memiliki garis pantai yang panjang. Namun, hal itu belum dimanfaatkan sama sekali. Surabaya juga menjadi satu-satunya kota yang memiliki hutan mangrove. Dia menilai, hutan mangrove Wonorejo bisa dikembangkan menjadi lebih baik. Beberapa fasilitas umum juga perlu dibenahi, misalnya toilet. Direktur Eksekutif STPB Yusak Anshori mengatakan, pihaknya segera membahas rencana pengembangan hutan mangrove dengan seluruh elemen kota.
Lain lagi komentar ketua panitia reuni SMA Kr Petra 2 Aditya Dedi Devianto. Dia menyatakan, salah satu program komunitas alumnus angkatan 88 itu adalah kepedulian terhadap lingkungan. Nah, pada Januari mendatang, pihaknya mengadakan reuni akbar yang dihadiri sekitar 360 orang. ''Mungkin tempat ini menjadi salah satu alternatif kami,'' ujarnya. (alb/oni)
Sumber: JawaPos
Selasa, 27 Oktober 2009
Senior Super Interdent Motoyuki Suzuki kunjungi FKPM-NE
Banyaknya aktifitas kemitraan FKPM-NE dan Polri mulai menjadi magnet kuat elemen lain untuk melakukan penelitian atau study banding. Dalam setahun terakhir FKPM-NE kerap kedatangan polisi yang sedang belajar dari PTIK, AKPOL hingga PUSIDGASUM untuk melakukan study banding.Tak ketinggalan pula tamu-tamu kepolisian dari mancanegara misalnya kunjungan seorang perwirara tinggi polisi asal Jepang, Senior Super Interdent Motoyuki Suzuki (27/10). Beliau datang ke Sekretariat FKPM Nirwana Eksektuif untuk mengetahui forum warga dengan kepolisian.
“Masalah ditingkat pemukiman memang tidak harus diselesaikan di kantor polisi tapi itu menjadi tugas polisi masyarakat”, tutur Motoyuki Suzuki.
Suzuki memuji kemitraan yang dibangun polisi dan FKPM-NE, sebab system serupa juga sudah berjalan di negaranya di Jepang. Hanya saja dia menilai ada kekurangan. Suzuki menyebutkan bahwa pemerintah daerah seharusnya ikut terlibat kerjasama sehingga system berjalan lebih baik.
Mr Suzuki, yang merupakan staff kepolisian Jepang dengan didampingi Kabag Mitramitra Polres Surabaya Timur Kompol. Rakidi.
Kunjungan dalam rangka studi banding tentang program FKPM atau disebut Community Policing ini dilakukan Mr. Suzuki dalam rangka membantu Polri meningkatkan keamanan. Rombongan Suzuki yang disambut hangat ketua FKPM-NE Djoko Suwondo berserta anggota FKPM-NE lainnya, merupakan kunjungan pertama ke FKPM-NE.
Mr Suzuki yang sehari-hari bekerja sebagai dosen di PTIK Mabes Polri ini melakukan kunjugan ke FKPM-NE pimpinan Djoko Suwondo yang merupakan refrensi beberapa lembaga yang menganggap FKPM-NE pimpinan Djoko Suwondo ini adalah FKPM terbaik dan teraktif di wilayah Surabaya, bahkan seluruh Jawa Timur.
Usai melakukan dialog di sekretariat FKPM Nirwana Eksekutif, Mr Suzuki beserta dosen/Siswa PTIK lainnya melakukan kunjugan ke tempat Pembangunan Polsek Rungkut yang sekarang dalam proses pengurusan tanah dan fondasi yang telah selesai. Untuk diketahui Polsek Rungkut yang sekarang dalam tahap proses pembangunan merupakan Polsek pertama di Indonesia yang dibangun oleh dana Swadaya dan penggalangan dana dilakukan oleh segenap anggota FKPM Nirwana Eksekutif. Jadi warga secara aktif juga ikut serta mencari dana untuk membangun polsek ini Kata Djoko Suwondo. Dan kemudiaan Rombongan Suzuki melanjutkan kunjungan ke Polda NTT (M. Zainal Arifin)
Brigjen Polisi Jepang Teliti Policing Community di FKPM Rungkut
27 Oktober 2009, 12:45:12| Laporan Eddy Prastyo
Brigjen Polisi Jepang Teliti Policing Community di FKPM Rungkut
suarasurabaya.net| Keberhasilan Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) Rungkut di perumahan Nirwana Eksekutif menarik perhatian perwira tinggi polisi Jepang untuk dijadikan bahan penelitian. Didampingi Dr. CHAIRUL, M.S satu diantara dosen Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Jakarta, Senior Superintendent MOTOYUKI SUZUKI menemui para pengurus FKPM Rungkut, Selasa (27/10).
Polisi berpangkat setara Brigjen di Indonesia itu tampak antusias mendengarkan pemaparan program FKPM Rungkut. Didampingi Kompol RAKIDI Kabag Bina Mitra Polres Surabaya Timur, DJOKO S. Ketua FKPM Rungkut menjelaskan sejarah terbentuknya policing community tersebut. “Sebetulnya berangkat dari adanya kebutuhan para penghuni kompleks Nirwana Eksekutif akan kondisi yang aman di perumahan. Lalu dengan bantuan Polres Surabaya Timur pada Nopember 2006, kita mulai rintis pendirian komunitas ini,” papar dia.
Tiga tahun berdiri, kini FKPM Rungkut tidak hanya mampu menjamah masyarakat perumahan menengah ke atas di kawasan tersebut. Dengan swadaya anggotanya, komunitas ini mampu membeli sepeda motor untuk patroli kompleks dan kampung, kapal motor untuk patroli perairan, dan membangun sekretariat yang cukup representatif.
MOTOYUKI SUZUKI tampak terkesan dengan capaian FKPM Rungkut tersebut, Saat ditemui suarasurabaya.net di FKPM Rungkut ia menjelaskan komunitas ini merupakan satu diantara obyek penelitian yang ia datangi. “Saya juga mendatangi FKPM di Sidoarjo dan sejumlah daerah di Kalimantan,” kata dia.
Sebagai polisi sekaligus peneliti di Japan International Cooperation Agency (JICA), SUZUKI mengungkapkan penelitian ini juga untuk memberi masukan terhadap program reformasi yang dicanangkan Mabes Polri sejak 10 tahun lalu.
Konsep policing community yang dicanangkan Mabes Polri ini, jelas SUZUKI, sudah lama diterapkan di Jepang. “Sejak 100 tahun terakhir, kami menerapkan sistem ini. Prinsipnya, masyarakat membentuk komunitas-komunitas di bawah tingkatan kepolisian resor. Ini membantu kerja polisi sekaligus memberdayakan masyarakat,” ujarnya.
Sayangnya, jelas SUZUKI, program modernisasi polisi yang berjalan bagus di masyarakat ini kurang bersinergi dengan pemerintah daerah. SUZUKI berpendapat sebaiknya seluruh unsur dilibatkan dalam policing community ini.(edy)
Teks Foto :
- Senior Superintendent MOTOYUKI SUZUKI mendapat penjelasan dari DJOKO S Ketua FKPM Rungkut tentang program policing community di wilayahnya.
Foto : EDDY suarasurabaya.net
Sumber: Suara Surabaya
Jumat, 23 Oktober 2009
Tulisan dari Blog Hurek
Lulut Sri Yuliani Batik Mangrove
Hari-hari ini Lulut Sri Yuliani (44) supersibuk. Usai menggelar pameran batik di Hotel Java Paragon Surabaya, 2-4 Oktober 2009, Lulut wira-wiri ke sejumlah instansi pemerintah dan swasta. Mulai dari mengurus hak paten, pelatihan batik, persiapan pameran, hingga melayani pesanan konsumen.
Kesibukan koordinator Paguyuban Seni Batik Warna Alami Mangrove (Batik Seru) ini tak lepas dari melejitnya batik sebagai world heritage yang diakui UNESCO pada 2 Oktober lalu. Nah, di sela-sela kesibukan itu, Lulut menerima Radar Surabaya untuk wawancara khusus di rumahnya, Wisma Kedungasem Indah J-28 Surabaya, Kamis (15/10/2009). Petikannya:
Oleh LAMBERTUS HUREK
Anda kelihatan sibuk sekali hari ini?
Benar. Saya harus ke kantor kecamatan (Rungkut), Deperindag, untuk mengurus hak paten. Paten ini sangat penting untuk melindungi produk batik yang sudah kita rintis dan kembangkan di sini. Jangan sampai setelah kita produksi banyak dan lama, eh tahu-tahu ada persoalan paten di kemudian hari. Kita mengantisipasi adanya klaim-mengklaim motif dan sebagainya. Kita nggak ingin itu terjadi dengan Batik Seru. Sebab, kita ingin Batik Seru ini menjadi salah satu aset Kota Surabaya.
Apa sudah ada yang mengklaim?
Itu dia. Setelah kita mulai proses pengurusan paten, ternyata ada pihak lain yang sudah mendaftar. Makanya, sekarang kita tangani biar clear. Kalau persoalan paten beres, kita bisa berkarya dengan lebih tenang.
Ada rencana pameran atau workshop dalam waktu dekat?
Ya. Aktivitas kami bulan ini memang sangat padat. Tanggal 2-4 Oktober pameran tunggal dan demo batik mangrove di Java Paragon. Kemudian 7-14 Oktober pameran di JCC Jakarta yang didukung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan. Tanggal 22 sampai 28 Oktober pameran di Balai Pemuda Surabaya bekerja sama dengan Dinas Tenaga kerja.
Saya dan anggota paguyuban harus kerja keras karena setiap pameran perlu menampilkan batik yang unik dan menarik. Jadi, dibuat khusus untuk ditampilkan di pameran tersebut. Meskipun capek, pontang-panting ke sana kemari, kegiatan-kegiatan yang padat ini sangat menyenangkan. Sebab, ini berarti seni batik, yang merupakan warisan budaya leluhur kita, makin tersosialisasi di mana-mana. Dan mudah-mudahan orang Indonesia makin menyukai batik.
Setelah pengakuan dari UNESCO itu, pesanan makin banyak?
Puji Tuhan, pesanan datang dari mana-mana, mulai kelas atas, menengah, sampai bawah. Ini juga menjadi tantangan bagi kami agar bisa melayani konsumen dengan sebaik-baiknya. Kalau banyak order, tapi barangnya nggak ada kan susah. Syukurlah, kami di sini punya 60 anggota tim yang secara sinergis bisa memproduksi batik secara on time.
Saya berperan sebagai koordinator dan desainer saja. Proses selanjutnya digarap oleh anggota tim yang 60 orang itu. Mereka terbagi dalam 11 kelompok. Jadi, koordinasinya lebih gampang. Saya di sini juga ikut menggarap karena itu memang pilihan profesi saya.
Tim Anda di Batik Seru ini cukup solid?
Yang 60 orang ini solid. Kita belajar dari pengalaman sebelumnya ketika baru merintis paguyuban batik mangrove di sini. Awalnya ada 120-an anggota, tapi kemudian mengkristal menjadi 60. Memang harus diakui bahwa mengurus UKM (usaha kecil dan menengah) itu tidak gampang. Dalam perjalanan selalu ada monster yang mengganggu keutuhan komunitas.
Saya sudah banyak mengalami jatuh bangun, dikecam, dilecehkan... macam-macamlah. Tapi kalau mau maju, ya, proses seperti itu harus dilalui. Usaha apa pun yang kita tekuni tidak akan pernah mulus. Yang penting, kita tetap semangat, optimistis, dan tidak boleh menyerah.
Apa keunggulan mangrove sebagai pewarna alami?
Warnanya unik dan lembut. Beda dengan pewarna alami lainnya, apalagi pewarna kimiawi. Anda bisa lihat warna ungu ini (Lulut memperlihatkan cairan berwarna ungu di botol kecil). Ungunya itu asyik banget. Dan itu kalau dipakai untuk batik, hasilnya beda. Kain batik pesanan Ibu Wawali, Tjahjani Retno Wilis, ini (didominasi warna ungu) kan kelihatan unik. Saya sendiri tidak bosan-bosannya menikmati keindahan warna alami dari mangrove.
Hampir semua bagian mangrove alias bakau itu juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan pewarna alami. Mulai daun, bunga, buah, kulit, bermanfaat. Karena itu, kami tidak akan kekurangan bahan pewarna alami selama hutan mangrove masih ada. Misi utama di balik kerajinan batik mangrove ini memang ke pelestarian hutan mangrove di Kota Surabaya. Tentu saja, kami sangat berkepentingan agar hutan mangrove itu tetap lestari.
Kabarnya, batik mangrove ini tidak bisa dicuci dengan sabun dertegen biasa dan tidak boleh terkena sinar marahari secara langsung?
Karena itu, kami sudah menyediakan sabun khusus untuk mencuci batik mangrove yang kami produksi. Sabunnya tidak keras sehingga lebih cocok untuk batik. Semua orang yang membeli atau mengoleksi batik pasti kami beri petunjuk cara mencuci dan merawat batik tersebut. Sabun juga diproduksi sendiri oleh Paguyuban Batik Seru.
Ada yang bilang harga batik tulis, termasuk mangrove ini, sulit dijangkau masyarakat kebanyakan?
Tidak juga. Kami menyediakan beberapa macam batik untuk melayani kelas atas, menengah, dan bawah. Harganya pasti berbeda. Rp 200 ribu sampai Rp 300 ribu-lah. Kain sutra kan mahal, belum lagi proses pembuatan yang cukup lama karena 100 persen manual atau menggunakan tangan. Beda sekali dengan batik printing yang pakai mesin. Yang namanya seni batik yang menjadi kebanggaan Indonesia itu, ya, batik tulis. Soal harga itu sangat relatiflah.
Apa lagi yang dikembangkan di sini selain Batik Seru?
Batik Sitania. Komunitas Batik Animasi Anak Warna Alami. Komunitas ini ditangani anak saya, Nadia Chrissanty Halim. Selama ini batik lebih dikenal sebagai pakaian orang dewasa. Belum ada corak batik khusus untuk anak-anak. Gambar yang pas dengan jiwa anak-anak itu kan seharusnya beda dengan orang dewasa. Maka, Batik Sitania ini menggunakan gambar-gambar animasi agar bisa diterima oleh anak-anak. Tapi bahan pewarnanya tetap menggunakan mangrove.
Anggota komunitasnya berapa orang?
Belum banyak, baru lima orang. Tapi saya yakin komunitas ini juga akan berkembang karena makin banyak anak-anak yang senang batik.
Ngomong-ngomong, apa prinsip hidup Anda?
Saya selalu ingin menjadi orang yang berguna untuk sesama. Seperti Ibu Teresa. Selama saya masih diberi hidup oleh Tuhan, saya wajib memberikan hidup saya untuk orang banyak. (*)
LULUT SRI YULIANI
Lahir : Surabaya, 24 Juli 1965
Suami : Ferdinand Yulianus Budiono Halim
Anak : Nadia Chrissanty Halim
Hobi : Mancing
Pendidikan
SMPN 12 Surabaya
SPG Pringadi Surabaya
IKIP Surabaya (S-1)
STIE Mahardika (S-2)
Penghargaan
Pejuang Lingkungan Kota Surabaya, 2006
Guru Musik Teladan Jatim (runner-up), 1994
Titik Balik setelah Lumpuh
Lulut Sri Yuliani tadinya seorang guru. Lulusan Sastra Jawa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Surabaya--sekarang Universitas Negeri Surabaya--ini sejak 1979 mengabdikan diri sebagai pengajar di sejumlah sekolah. Lulut bahkan pernah menjabat kepala sekolah di SMK Panglima Sudirman dan SMPK Prapanca 2 Surabaya.
Pada 1997, ketika krisis moneter menyerang Indonesia dan muncul gelombang reformasi politik, ibu satu anak ini pun dilanda krisis hidup yang luar biasa. Tubuhnya lumpuh. Dokter memvonis bahwa durasi hidup perempuan arek Surabaya ini tinggal satu tahun. Ini karena aliran darahnya tak normal. "Pembuluh darah saya pecah," kenang Lulut Sri Yuliani.
Tangan, kaki, dan bagian-bagian lain tubuhnya tak dapat digerakkan lagi. Dan, jika aliran darah tak lagi mengalir menuju otaknya, maka... wassalam. Di saat seperti ini rasanya sang maut sudah menjelang. Namun, keinginan untuk sembuh sangat cukup kuat. Ini membuat dirinya berencana melakukan segala jenis pengobatan. Namun, ketika sadar bahwa semuanya akan sia-sia, Lulut memilih pasrah.
”Saya hanya berharap pada keajaiban. Mukjizat! Kalau saya sembuh, saya akan mengabdikan hidup saya pada alam dan masyarakat,” ujar Lulut. Jemaat Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Rungkut ini pun semakin banyak berdoa, mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
"Saya percaya bahwa mukjizat Tuhan itu akan terjadi. Bagi Dia tidak ada yang mustahil," katanya. "Saya tidak bisa berharap pada obat-obatan karena tubuh saya sudah menolak semua jenis antibotika."
Singkat cerita, mukjizat itu memang benar-benar terjadi. Lulut dinyatakan sembuh. Sejak itulah dia bertekad membaktikan hidupnya untuk kepentingan masyarakat banyak dan konservasi lingkungan. Sejak 2007, sebagai ketua Forum Peduli Lingkungan (FPL) Kecamatan Rungkut, dia total berdedikasi untuk lingkungan dan masyarakat. Dari sinilah dia berjumpa dengan mangrove sebagai tanaman unggulan di Rungkut.
"Waktu kecil saya dan teman-teman sudah tahu yang namanya bakau. Tapi baru intensif tahun 2007," paparnya. Saat itu dia bersama Wali Kota Surabaya, Camat Rungkut, dan Dinas Pertanian mengadakan kunjungan ke Wonorejo karena banyak terjadi pembalakan liar. ”Hutan mangrove itu ternyata sangat indah,” katanya.
Wali Kota Bambang DH kemudian memberinya sebuah buku tentang budidaya dan pemanfaatan mangrove. Mulai dari situlah dia mulai menekuni dunia mangrove. Selain batik mangrove, Lulut bersama UKM binaannya membuat aneka macam produk berbahan dasar mangrove.
Ada Sirvega (Sabun Cair Mangrove dan Toga) yang khusus untuk mencuci kain batik. Sabun cair bebahan dasar klerak sebagai sampo, sabun cuci piring, cuci mobil, dan cuci tangan. Ada juga Weruh Bekul, minuman penghangat dan pelancar peredaran darah dari bakau.
Selain itu, Lulut membuat berbagai produk lain. Di antaranya, olahan limbah padat tempe (olipate) menjadi pakan ikan dan olahan limbah cair tempe menjadi pakan ternak (tabacate). Perjuangan Lulut ternyata tidak sia-sia. UKM binaannya berkembang di seluruh Kecamatan Rungkut.
”Saya memang ingin membuat Rungkut menjadi kawasan yang mandiri dan mempunyai ciri khas,” katanya.
LULUT SRI YULIANI
Wisma Kedungasem Indah J-28, Rungkut, Surabaya
081 230 808 665
031 779 57465
Senin, 19 Oktober 2009
Batik Mangrove Surabaya Simbol Kepedulian Lingkungan
Surabaya - Siapa yang menyangka jika munculnya batik Mangrove (bakau) asal Kota Pahlawan atau yang dikenal dengan batik "SeRU" (Seni batik Mangrove Rungkut) berawal dari keprihatinan salah satu warga di Wisma Kedung Asem Indah J 28 Surabaya, Lulut Sri Yuliani atas rusaknya lingkungan yang ada di kawasan konservasi pantai Timur Surabaya.
Banyaknya tanaman mangrove yang ditebang secara liar oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab mengakibatkan lingkungan sekitar menjadi rusak. Selain itu, banyak satwa yang terancam punah dan bahkan di sekitar pantai sering terjadi abrasi dan erosi.
Kondisi tersebut membuat Lulut yang juga koordinator batik SeRU tergerak hatinya untuk melakukan tindakan pencegahan penebangan mangrove secara liar. Kebetulan Lulut sendiri adalah salah satu aktivis lingkungan di Surabaya, sehingga ide untuk itu bisa segera terwujud.
"Salah satu yang bisa saya lakukan untuk lingkungan adalah membuat batik mangrove," tuturnya.
Menurut dia, tujuan dari batik mangrove tersebut adalah kampanye lingkungan yakni dengan cara mengenalkan mangrove melalui seni batik.
"Saya kira ini yang paling efektif, daripada cara lainnya," katanya menegaskan.
Batik mangrove, lanjut dia, pertama kali mulai dicetuskan pada tahun 2007 hingga 2008. Selama dua tahun tersebut, ia belajar membatik
ke sejumlah daerah, salah satunya belajar cara mendesain batik di Bali.
Baru pada bulan Maret 2009, ia mengumpulkan sejumlah warga di Kecamatan Rungkut Surabaya untuk mengikuti pelatihan cara membatik. "Pertama saya bebaskan mereka membuat batik sesuai keinginannya. Namun pada saat saya melihat hasil karya mereka, saya terinspirasi dengan mangrove," ujarnya.
Lulut sendiri berhasil menampilkan kain batik mangrove dengan beragam motif bunga, buah, akar, binatang dan motif mangrove lainnya.
Namun, batik yang sudah pernah dipamerkan adalah batik dengan beragam motif batik mangrove, antara lain motif "Aegiceras corniculatum", "A. floridum", "Avicennia alba", "Bruguiera cylindrica", "Lumnitzera racemosa", "Acanthus ilicifolius", "Xylocarpus granatum", "Sonneratia alba", "Rhizophora mucronata", "Pemphis acidula", "Nypa fruticans", "Barringtonia asiatica", "Calophyllum inophyllum", "Calotropis gigantea", "Pandanus tectorius", "Acrostichum aureum", "Ipomoea pes-caprae".
Desain batik mangrove murni mengadopsi jenis-jenis mangrove yang hidup di rawa-rawa sekitar pantai Wonorejo, seperti baringtonia, tanjang, nipah, nyamplung, dan bogem. Warna yang dipilih adalah warna-warna yang cerah.
Memang ada pengaruh dari Batik Madura, tapi batik mangrove punya kekhasan sulur-sulur mangrovenya dan selalu dalam bentuk batik tulis, bukan cetak.
Sebenarnya, tak hanya batik bermotif mangrove saja yang dihasilkan oleh Lulut dan kelompok binaannya yang berjumlah 11 kelompok. Namun, sabun wangi dari buah Sonneratia juga dibuat dengan tujuan utama untuk memperkenalkan mangrove kepada masyarakat umum.
Beranjak dari pemikiran yang sama bahwa mangrove bukanlah sebuah ekosistem penuh sampah, nyamuk, dan tak berdaya guna, melainkan sebuah
ekosistem yang sangat potensial baik secara ekologi dan ekonomi, maka Lulut dan kelompoknya berjuang keras agar mangrove "diakui" dari sisi ekonominya.
Bahkan batik mangrove sendiri juga pernah diikutkan dalam pameran di Jakarta beberapa waktu lalu. Namun, ia sendiri cukup menyadari bahwa produksi mangrove masih sangat terbatas, sehingga belum bisa bersaing dengan batik kelas atas seperti yang ada di Yogyakarta dan Surakarta.
Dengan 11 kelompok yang ada, kata dia, masing-masing kelompok dalam setiap dua pekan menghasilkan enam hingga delapan kain. Satu lembar kain batik mangrove berukuran sekitar tiga meter dijual dengan harga Rp75 ribu hingga Rp200 ribu.
"Batik mangrove baru sebatas dijual ke masyarakat yang ada di Surabaya, tapi responnya bagus. Bahkan tidak hanya kalangan orang tua, tapi juga anak-anak muda," paparnya.
Ia sendiri juga mempunyai rencana untuk memasarkan produknya ke sejumlah instansi pemerintahan dan swasta di Surabaya. "Hingga saat
ini yang sudah memesan batik mangrove baru Kecamatan Rungkut," katanya.
Untuk menembus pasar batik, kata Lulut, mau tidak mau memang harus dikelola secara industri dan melibatkan banyak tenaga kerja dan modal. “Kami masih bingung soal pemasaran. Selama ini kami menjual produk-produk kami ke instansi-instansi pemerintah. Untuk masuk ke pasar batik, kami masih banyak kendala,” ucapnya lirih.
Ikon
Sebelumnya, Sekretaris Kecamatan Rungkut, Ridwan Mubarun yang menjadi fasilitator kelompok batik mangrove di Wonorejo mengatakan, Pemkot Surabaya berusaha mengangkat keberadaan batik mangrove dengan menetapkannya sebagai ikon Kecamatan Rungkut.
Selain itu, batik mangrove juga akan dimasukkan dalam paket ekowisata hutan mangrove yang akhir tahun 2009 akan diresmikan oleh wali kota Surabaya. “Kami juga berupaya untuk memfasilitasi kelompok-kelompok ini mendapatkan hak paten atas desain batik mangrove.
Ia juga mengaku bersyukur atas batik asal Indonesia yang mendapat pengakuan dari Lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang membawahi masalah kebudayaan, UNESCO sebagai warisan budaya dunia (world heritage) tak benda (intangible). Pengakuan tersebut diberikan UNESCO di Abu Dabi pada Jumat (2/10) malam
"Kami berharap batik tetap eksis, diterima oleh masyarakat dunia, dan perajinnya tetap bisa berkarya lebih baik," katanya.
Kreativitas membuat batik tersebut rupanya menarik perhatian istri Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi yakni Tjahyaning Retno Wilis untuk berkunjung ke pameran batik mangrove yang digelar di Kecamatan Rungkut beberapa waktu lalu.
Bahkan, Tjahyaning Retno yang juga sebagai ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Deskranada) Surabaya memberikan stimulus berupa bantuan modal sebesar Rp2 juta.
"Bantuan ini jangan dilihat besarnya tapi ini merupakan stimulus sekaligus pancingan agar pihak lain juga mau perduli dengan kerajinan tradisional seperti batik ini agar tak punah," katanya.
Sementara itu, Wali Kota Surabaya, Bambang Dwi Hartono meminta kepada pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya supaya memakai pakain batik paling tidak dua hingga tiga kali dalam sepekan.
"Jauh sebelum adanya intruksi dari Presiden RI untuk serentak memakai batik pada Jumat(2/10), saya sudah minta agar memakai batik," katanya.
Menurut dia, memakai pakain batik merupakan salah satu upaya menghargai pusaka budaya bangsa Indonesia. Pasalnya, batik sendiri nyaris diakui oleh negara Malaysia sebagai budayanya.
Selain itu, kata dia, dengan memakai pakain batik, juga memberikan penghasilan bagi para perajin batik yang saat ini mulai marak di Surabaya dan juga memberikan bekal ketrampilan membatik di kalangan ibu-ibu PKK.
"Semakin terampil ibu-ibu PKK, maka semakin banyak industri batik yang ada di Surabaya," ujarnya.
Untuk itu, kata dia, pihaknya menyarankan agar seluruh pegawai di Pemkot Surabaya membiasakan dengan memakai batik, paling tidak dalam sekali dalam sepekan.
Kepala Sub Bagian (Kasubag) Liputan berita dan Pers, Bagian Humas Pemkot Surabaya, Eddy Witjayanto menambahkan bahwa kebiasaan memakai pakain batik sudah dilakukan pegawai pemkot setiap hari Jumat. "Meski tidak ada aturan resmi, tapi banyak di antara pegawai yang sudah memakai batik," katanya.
Namun, kata dia, pihaknya juga tidak memungkiri adanya sejumlah pegawai yang enggan memakai batik pada hari Jumat dengan alasan tertentu. "Tiap orang punya alasan sendiri-sendiri," katanya.
Namun, pemakaian seragam batik selama sepekan dianjurkan pada saat peringatakan Hari Kebangkitan Nasional. Hal itu merupakan instruksi dari pemerintah pusat.
Sumber: Antara Jatim
Sabtu, 17 Oktober 2009
Dari FKPM-NE untuk Padang tercinta
FKPM-NE juga menggalang aksi bantuan dana yang menimpa warga Padang. FKPM-NE, Warga Nirwana Eksekutif dan Nirwana Regency telah melakukan penggalangan dana pada tgl 17 oktober yaitu 1 bulan sesudah HUT FKPM-NE ke 3. Bakti sosial merupakan program FKPM-NE, dengan melibatkan seluruh warga yang melebur menjadi Forum Kemitraan Kemanusiaan dengan melibatkan beberpa tokoh agama, Kapolsek Rungkut AKP. Prajit. SH juga ada tamu istimewa prof. Dr. Hermawan Sulistyo (Pengamat Politik) ikut berpartisipasi dalam malam amal dari FKPM-NE untuk padang”.
Bukan hanya doa bersama, malam penggalangan dana berjalan khidmat. Warga ke lokasi mansion hall dengan membawa obor dan lilin yang menandakan ikut belasungkawa atas musibah di padang sehingga menambah khidmat suasana doa bersama. Setelah itu panitia menggugah iba warga dengan memutar Video berdurasi 6 menit sesuai dengan lamanya gempa mengguncang padang kata salah satu anggota team IT FKPM-NE. Video dipresentasikan dengan LCD projector mengenai gempa, korban evakuasi puluhan mayat yang tertimbun, anak-anak kecil yang menangis karena organnya rusak tertimpa material. Video Eklusive FKPM-NE ini digabungkan dari TV ONE-MetroTV dan foto-foto yang diterima langsung dari salah satu warga yang kebetulan waktu kejadian sedang bertugas di padang. Dari data-data tersebut kami mengkompilasi menjadi video presentasi untuk mencari dana untuk padang ini, dan pembuatan film ini hanya membutuhkan waktu 3 jam sebelum ditayangkan oleh team IT FKPM-NE.
Beberapa warga tampak larut dalam kesedihan bahkan ada yang tak kuasa menahan air mata, rupanya ini yang memicu warga tambah bersemangat untuk mencari dana. Sesudah presentasi selesai Kotak amal yang telah disiapkan dijalankan. Hasilnya cukup signifikan dalam tempo sekitar 15 menit sudah terkumpul 10 juta. Total dana untuk membantu saudara-saudara kita di padang adqalah 28.500.000, yang mana 18.500.000 sudah digalang siang hari dengan cara “door to door” oleh Ibu RW dibantu warga. Sesuai dengan pertanggung jawaban panitia membuat perician dan difotocopy ke seluruh warga Nirwana.
Ketua FKPM-NE Djoko Suwondo yang ikut menggalang dana tersebut mengaku cukup puas dengan hasil yang diperoleh pada malam penggalangan dana Padang.
Dua hari sebelum malam penggalangan, panitia telah mensosialisasikan ke ketua RW masing blok, dari RW disosialisasikan ke RT masing-masing. Tiap RT dan RW menjemput bola dengan mendatangi warganya. Dari aksi tersebut terkumpul dana kurang lebih 18.500.000, timpal A. Wattimena selaku ketua panitia Forum Kemitraan Kemanusiaan.
Sebagai gong acara amal, warga berdoa bersamna dengan dipandu tokoh lintas agama secara bergantian, inilah keistimewaannya FKPM-NE dengan program kepedulian Menembus Batas, dimana keharmonisan dalam keragaman kelihatan sangat kental dimalam tersebut. Parah Tokoh agama memohon agar bencana tak terjadi lagi di negeri inil. Diawali oleh warga katolik yang doanya dipandu Romo Gregorius ketua SVD gerejea paroki Roh Kudus purimas. Kemudiaan dilanjutkan oleh penganut Kristen yang dipimpin oleh pendeta muda Budi Agung. Doa umat muslim sebagai pamungkas di pimpin langsung oleh Prof. Dr. Hermawan Sulistyo.
Permohonan untuk terhindar dari bencana juga dilakukan oleh Bapak Hermawan yang kebetulan malam tersebut merupakan tamu istimewa dari FKPM-NE.”Bencana bisa menimpa kita sewaktu-waktu. Acara mala mini tak sekedar aksi solidaritas. Tapi sebagai momentum bagi warga untuk selalu waspada pungkas Hermawan.
(M. Zainal Arifin).
Selasa, 13 Oktober 2009
Artikel dari KeSEMaT
Sekilas Ulasan Artikel Mangrove Pemenang KeSEMaTCOMPETITION 2009: Bottom Up Yes |
Written by KeSEMaT | |
Friday, 13 November 2009 | |
Semarang - KeSEMaTONLINE. Kata siapa anak SMA tidak tahu mangrove (?). Walaupun mangrove memang tidak pernah diajarkan di TK sampai dengan perguruan tinggi, namun kedua pelajar yang fotonya ada di samping ini, yaitu Emi Nur Cholidah (Emi) dan Fatimatuzahro (Ima), keduanya pelajar dari SMA Al-Multazam Mojokerto, ternyata memiliki pengertian yang baik tentang mangrove. Mereka mampu mendeskripsikan program-program mangrove yang telah dilakukan oleh pemerintah kota Surabaya dalam upaya pelestarian mangrove di Kota Pahlawan, itu. Tak hanya itu, keduanya juga “lincah” merangkai kata dalam mengidentifikasi peran serta masyarakat sekitar, terhadap ekosistem mangrove yang masih tersisa di Surabaya. Maka, tak heran apabila artikel Emi dan Ima yang berjudul Mangrove is Natural Heritage - Program Pemberdayaan Masyarakat untuk Meningkatkan Kegiatan Pelestarian Mangrove di Surabaya, dianugerahi oleh Dewan Juri KeSEMaTCOMPETITION (KC) 2009: Lomba Penulisan Artikel Mangrove Tingkat SMA dan SMK se-Indonesia, sebagai salah satu pemenang KC 2009. Dari banyak hal yang ditulis dalam artikelnya, ada satu hal menarik dari pemikiran Emi dan Ima, yaitu bahwa konsep pengelolaan ekosistem mangrove dari “bawah ke atas” atau yang sering digaungkan sebagai konsep “bottom up,” rupanya telah dipahami dengan baik oleh mereka. Cermatilah sebuah paragrap, yang ditulis Emi dan Ima, dalam karya tulis ilmiah mereka, di bawah ini. "...berbagai upaya telah banyak dilakukan dalam rangka pelestarian mangrove. Akan tetapi, upaya seperti ini terkadang tidak membuahkan hasil yang memuaskan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya peran serta masyarakat setempat yang seharusnya lebih mengetahui tentang mangrove. Pemerintah hanya dapat memerintah, sedangkan masyarakat langsung melaksanakan perintah atasan (top down) tanpa terlebih dahulu meminta pendapat masyarakat. Masyarakat berpikiran bahwa hutan mangrove yang berada di pesisir, sepenuhnya milik pemerintah. Pemerintah Kota Surabaya, telah menggalakan program pemberdayaan masyarakat dengan pendekatan kepada masyarakat (bottom up) untuk mengajak masyarakat membangun kembali hutan mangrove yang ada di Kecamatan Wonorejo, Rungkut Surabaya. Hasilnya, pemerintah Kota Surabaya berhasil membuktikan bahwa mereka mampu mengajak masyarakat untuk melestarikan mangrove di sekitarnya. Program tersebut adalah berupa program penanaman mangrove masyarakat bersama dengan pemerintah yang dilaksanakan secara rutin hingga saat ini. Selain itu, hutan mangrove Kecamatan Wonorejo Rungkut Surabaya juga dijadikan sebagai wisata mangrove yang dikenal dengan Mangrove Center (MC)...” Sepenggal paragrap yang ditulis oleh dua siswi SMA Al-Multazam Mojokerto ini, seakan menyadarkan diri kita bahwa konsep pelestarian mangrove yang sepertinya selalu dikonsep dari atas tanpa adanya sosialisasi terlebih dahulu dengan masyarakat sekitar akan menyebabkan program rehabilitasi mangrove berjalan tidak maksimal. Sebaliknya, keduanya mengharapkan agar pemerintah bisa lebih bertindak arif dan bijaksana dengan cara lebih banyak “bergaul” dengan masyarakat, sebelum kemudian program rehabilitasi mangrove dilaksanakan ke masyarakat. Kalau melihat pemikiran para pelajar SMA sudah seperti ini, maka siapa yang masih menganggap bahwa anak SMA tidak tahu mangrove (?). Demikian, sekilas ulasan artikel mangrove Pemenang KC 2009. Secara keseluruhan, dengan semangat konsep bottom up dari SMA Al-Multazam Mojokerto Surabaya, sebuah kampanye pengelolaan mangrove, berjargon Bottom Up Yes, Top Down No! semoga saja mulai bisa kita kampanyekan kepada masyarakat luas di seluruh Indonesia dan dunia. Salam MANGROVER! | |
Last Updated ( Friday, 13 November 2009 ) |
Rabu, 07 Oktober 2009
Lulut Sri Yuliani, Kreator Batik Seru Berbahan Warna Mangrove
Berawal dari keprihatinan terhadap pembalakan mangrove, Lulut Sri Yuliani mengkreasi batik mangrove. Selain motif, fasilitator lingkungan hidup itu membuat pewarnaan kain batik dari daun, buah, dan bunga mangrove.
IGNA ARDIANI ASTUTI
---
ADA batik unik yang dipajang dalam pameran Exotica Batik di Hotel Java Paragon, 2--4 Oktober lalu. Yaitu, Batik Seru, singkatan dari seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya. Batik tersebut merupakan hasil seni kerajinan ibu-ibu dari Kecamatan Rungkut.
Mereka pamer karya di antara deretan batik Nusantara dari Banyumas, Madura, dan Pekalongan untuk memperingati penetapan batik sebagai bagian dari pusaka dunia. Dari pameran tersebut, ibu-ibu Kecamatan Rungkut mendapat order 16 potong kain. ''Itu belum termasuk pesanan dari pihak lain. Misalnya, dari Kementerian Kelautan serta dinas-dinas di Surabaya,'' kata Lulut Sri Yuliani, penggagas Batik Seru.
Sampai saat ini ibu-ibu tersebut memang menjajakan karyanya dengan cara by order only. ''Yah, karena keterbatasan modal dan tenaga,'' kata Lulut. Batik Seru menggunakan dua macam bahan, katun primisima kualitas 1 (KW1) dan sutra.
Pesanan yang cukup banyak itu membuat Lulut dan timnya, yang berjumlah 60 orang, makin sibuk. ''Kalau dulu kerjanya hanya waktu senggang, sekarang harus dioptimalkan. Setiap hari memproduksi batik,'' ujarnya. Meski begitu, penyebarannya belum banyak. Padahal, tak sedikit gerai batik dalam dan luar kota bersedia menampung batik mangrove tersebut. ''Sekarang saya berjuang mencari tambahan modal untuk memasarkan,'' katanya.
Dari tampilan motif, batik tersebut memang berbeda dari batik Nusantara yang lain. Motifnya khas, buah dan daun mangrove. Misalnya, buah kira-kira (xylocarpus granatum), gedangan (aegiceras corniculatum), buyuk (nypa fruticans-palmae), dan tanjang merah (bruguiera gymnorrhiza). Batik tersebut juga menggunakan bahan pewarna dari mangrove. Bahan alami itu menyepuhkan warna lembut tersendiri.
Ide batik mangrove muncul karena keprihatinan Lulut terhadap pembalakan liar besar-besaran hutan mangrove pada 2007. Perempuan 44 tahun itu lantas mencari cara untuk membangkitkan kepedulian warga terhadap kelestarian hutan mangrove. ''Kenapa tidak dengan batik?'' katanya. ''Apalagi, dulu Surabaya juga punya sejarah sebagai salah satu sentra batik,'' sambungnya.
Ide itu lalu dipaparkan pada kelompoknya, kerajinan ibu-ibu Rungkut. Namun, banyak yang menentang. Batik mangrove dianggap tidak punya daya jual. Meski begitu, Lulut jalan terus. Bahkan, pada 2008 dia sudah merancang 23 motif batik khas mangrove.
Inspirasi itu muncul setelah Camat Rungkut Irvan Widyanto yang baru pulang dari konferensi hutan mangrove di Bali memberinya buku panduan mangrove. ''Saya buat sebisa saya dengan panduan buku tersebut,'' katanya.
Setelah membuat desain, dia mengajukan proposal ke Dinas Tenaga Kerja agar disediakan tenaga pelatih batik. ''Seperti yang saya duga, tidak mulus,'' katanya. Tapi, Lulut tetap ngotot. Setelah dua minggu negosiasi, istri Budiono Halim tersebut mengantongi izin. Pelatihan batik pun digelar lima hari. Pesertanya ya ibu-ibu dari Kecamatan Rungkut.
Tak kurang dari 25 kelompok yang terlibat. Seusai pelatihan, Lulut melanjutkan langkahnya mendatangi Dewan Kerajinan Nasional Daerah Surabaya (Dekranasda) pimpinan Tjahjani Retno Wilis, istri Wawali Surabaya Arif Afandi. Tujuannya, untuk produksi sekaligus pembinaan desain dan kualitas. ''Setelah itu kami bekerja sama dengan UK Petra untuk pelatihan teknik membatik, membuat desain, dan pewarnaan lagi supaya lebih mantap,'' jelas ibu satu anak tersebut.
Lulut sengaja menggandeng akademisi, tidak perajin batik, agar tidak terpengaruh. ''Kami tidak ingin terpengaruh batik Jawa Tengahan atau batik dari daerah lain. Kami ingin mengembangkan batik sendiri, batik mangrove,'' kataya.
Setelah batik mangrove terealisasi, magister manajemen STIE Mahardika itu mencoba membuat pewarna dari bahan mangrove. Lulut memanfaatkan limbah mangrove yang banyak diolah jadi dodol, sirup, atau jenang.
Mantan guru SMK itu memang pernah mendapat ilmu bahwa bahan-bahan alami bisa dibuat sebagai bahan pewarna. Bedanya, untuk menghasilkan pewarna tersebut butuh waktu dua bulan. ''Rasanya kok lama sekali. Saya yakin itu bisa dibuat lebih singkat,'' katanya.
Lulut pun melakukan eksperimen sendiri. Dia menggunakan bahan daun, batang, bunga, dan sampah kulit buah mangrove. Bahan-bahan itu dirajang, kemudian direbus dua minggu, setiap hari satu jam.
Perebusan rutin tersebut menghasilkan warna yang makin lama makin kuat. Ini yang dijadikan sebagai bahan pewarna batik. Namun, bahan alami berisiko busuk. Pembusukan biasanya terjadi dalam waktu seminggu yang ditandai dengan munculnya jamur.
''Kalau sudah berjamur, pewarnanya tidak bisa digunakan. Warna yang dihasilkan sudah berbeda,'' kata perempuan yang menjalankan percobaan tersebut dua bulan. Dia segera mencari solusi. Pewarna alami yang sudah jadi itu diikat dengan bahan pengikat warna. Pembubuhan bahan itu bisa memperpanjang usia pewarna sampai dua bulan.
Bahan alam tersebut bisa menghasilkan macam-macam warna. Mulai hijau, cokelat, merah, kuning, biru, dan ungu. Warna hijau berasal dari daun mangrove, sepuhan cokelat dihasilkan kulit, kuning dari getah buah, sedangkan ungu dari campuran caping buah dan kulit buah.
Berbeda dengan pewarna kimia, warna alam tersebut memang tidak bisa menghasilkan sepuhan warna yang kuat. Warna-warna yang dihasilkan cenderung lembut. Karena warna yang lembut itu, perawatan kain yang disepuh juga harus khusus agar tidak cepat pudar. ''Menjemurnya jangan langsung terkena matahari,'' kata Lulut. Demikian juga mencucinya, sebaiknya tidak menggunakan deterjen. ''Kami juga membuat sabun cuci sendiri, berbahan mangrove dan lerak,'' lanjut ibunda Nadia Chrissanty Halim itu.
Batik Rungkut itu sangat mungkin berkembang lebih luas. Juni lalu dipamerkan di Singapura. Dari delapan kain yang dipamerkan, empat terjual. Saat ini Lulut mengurus proses hak paten Batik Seru. ''Kami akan terus mengenalkan batik ini. Namun, yang paling penting adalah kesadaran masyarakat terhadap pelestarian mangrove,'' ujarnya. (*/cfu)
Senin, 05 Oktober 2009
Artikel batik motif mangrove dari Kompas
Sirvega dan batik seru
Lulut juga mencoba membuat sabun alami dari buah-buah mangrove. Pelatihan yang diadakan pemerintah memberinya pengetahuan. Namun, resepnya tetap harus dicari dari berbagai referensi dan eksperimen.
Setelah setahun mencoba-coba, pada 2006 Lulut dan kader lingkungan sekitarnya mulai memproduksi sirvega, sabun cair mangrove toga. Sirvega pencuci batik dibuat dari mangrove jenis Jijibus jujuba, lidah buaya, dan lerak. Adapun buah nyamplung (Calophyllum inophyllum) diolah menjadi sabun untuk mencuci piring, cuci tangan, mencuci kendaraan, dan sampo.
Karena dibuat dari bahan alami, bekas cucian dengan sabun sirvega itu tak merusak lingkungan. Sehabis mencuci peralatan, sisa sabun sirvega dia gunakan untuk menyiram tanaman di teras rumahnya.
Tahun ini Lulut mendesain pakem batik mangrove. Sebanyak 44 desain seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya (seru) dia siapkan. Semua mengambil bentuk beragam mangrove, mulai dari daun, bunga, sampai untaian buah, serta makhluk yang hidup di sekitarnya, seperti ikan, kepiting, dan udang. Setiap motif dilengkapi nama jenis mangrove yang spesifik, baik dalam nama Latin maupun nama daerah dan motif tambahannya.
Motif tanjang putih, misalnya, menggunakan bentuk mangrove jenis Bruguiera cylinelrica dengan komponen tambahan Rhizophoraceae. Motif pohon lengkap, dari akar, daun, dan tunas yang menjulur, menjadi motif utama dikelilingi jajaran bunga. Motif Bruguiera cylinelrica ini berselang-seling dengan motif bunga Rhizophoraceae.
Motif mange kasihan beda lagi. Gambar utamanya adalah tumbuhan mange kasihan (Aegicera floridum) dikelilingi hiasan bunga Myrsinaceae. Selain itu, gambar kepiting, ikan, dan udang memberi nuansa pesisiran pada motif itu.
Supaya sesuai karakter Suroboyoan yang apa adanya dan terbuka, teknik membatiknya pun tak selalu menggunakan canting. Sebagian dilukis dengan kuas. Maka, batik mangrove Lulut terlihat bergaris lebih tebal dan kuat.
Pewarnanya dia buat sendiri dari berbagai bagian mangrove, ditambah bahan lain. Warna merah, misalnya, dibuat dari caping bunga dan buah Bruguiera gymnorrhiza, kulit cabai merah, dan secang. Untuk menghasilkan warna kuning, ia menggunakan getah nyamplung, kunyit, dan batu gambir. Ketika bahan-bahan pewarna alami itu mulai mengendap, Lulut akan mengolahnya lagi supaya bisa digunakan kembali.
Selain menggunakan pewarna alam, batik mangrove yang diciptakan Lulut bersama perajin di Kedung Baruk sejak Juli 2009 bisa dikatakan eksklusif. Sebab, setiap perajin mengatur komposisi desain sendiri. Lulut hanya menyiapkan pakemnya.
”Saya ingin setiap karya itu orisinal, dan mengajarkan supaya ibu-ibu perajin tak menjiplak,” kata Lulut.
Ketika mengajar menggambar, dia kerap mendapati gambar seragam, seperti pemandangan dengan dua gunung, matahari, dan sawah, atau gambar seragam vas dengan dua tangkai bunga.
Perkumpulan perajin batik mangrove yang berpusat di tempat tinggal Lulut, Wisma Kedung Asem Indah, diberi nama Griya Karya Tiara Kusuma. Maksudnya, dari rumah semua bisa berkarya mengharumkan nama bangsa dan memakmurkan keluarga.
Lulut sudah mendampingi ibu-ibu perajin di enam kelurahan di Rungkut. Di tiga kelurahan, yakni Kalirungkut, Wonorejo, dan Kedung Baruk, terdapat 60 perajin batik. Jika perajin di Kedung Baruk menggunakan pewarna alam, perajin di dua kelurahan lain menggunakan pewarna kimia.
Proses pembuatan batik dengan pewarna kimia sedikit lebih mudah, hanya memakan waktu seminggu untuk selembar batik. Sebaliknya, pembuatan selembar batik dengan warna alam memerlukan waktu sebulan.
Batik mangrove adalah salah satu batik khas Surabaya. Sebelumnya dikenal batik bermotif sawunggaling dan suroboyo.
Untuk mengenalkan batik mangrove yang diciptakannya, Lulut mengikuti pameran, baik di Surabaya, Jakarta, maupun di luar negeri. Dia selalu siap membawa contoh kain batik mangrove, sabun sirvega, dan contoh buah, daun, dan bunga beragam jenis mangrove.
Satu-satunya kendala dalam pengembangan batik mangrove adalah permodalan. Untuk membuat contoh batik dari 44 motif itu, Lulut memerlukan dana sekitar Rp 40 juta.
Dari sisi perajin, dia mengatakan, relatif tak ada masalah. Rencananya, tambah Lulut yang sejak tahun 2009 menjadi pendamping Usaha Kecil dan Menengah Dinas Tenaga Kerja Surabaya, akan kembali dilangsungkan pelatihan membatik kepada lebih banyak ibu di Kedung Baruk. Dengan demikian, semakin banyak orang yang bisa membuat kerajinan batik mangrove membuat lingkungan terjaga dan rumah tangga bisa makin sejahtera.
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/05/08483491/Lulut.Sri.Yuliani.dan.Batik.Mangrove
Minggu, 04 Oktober 2009
SMS-based Information System for Traffic Offences (Surabaya, Indonesia)
Beri Jadwal Sidang hingga Besar Denda
Inovasi di kepolisian biasanya lahir di tingkat satuan tinggi, semacam Mabes Polri, polda, hingga polwiltabes. Kali ini, acungan jempol diberikan untuk Polres Surabaya Timur. Di wilayah itu, lahir terobosan baru layanan kepolisian. Namanya Sistem Informasi Tilang via SMS.
—
”NAMA singkatnya ada, lho,” ujar Kasatlantas Polres Surabaya Timur AKP Budi Idayati kepada Jawa Pos di sela-sela launching Sistem Informasi Tilang via SMS kemarin (3/10). Secara singkat, layanan anyar itu disebut SMS Tilang. Sesuai namanya, tujuannya mengetahui info tilang yang dilakukan kepolisian kepada para pelanggar peraturan lalu lintas.
SMS Tilang dirancang Satlantas Polres Surabaya Timur. Mereka bekerja sama dengan Telkomsel. Nomor hotline yang digunakan adalah 08123011110.
Dengan SMS Tilang itu, kata Idayati, warga metropolis, khususnya yang ada di Surabaya Timur, bisa secara mudah dan cepat mengetahui aneka informasi tentang penilangan kendaraan mereka. Misalnya, informasi jadwal sidang tilang, denda yang harus dibayar, hingga kelengkapan yang sedang disita dari kendaraan pelanggar. ”Semua ada dalam satu SMS saja,” kata Kasatlantas yang baru menjabat selama 40 hari itu.
Launching tersebut dilaksanakan sekitar pukul 14.00 di hall atrium ITC Mega Grosir. Kapolwiltabes Surabaya Kombespol Ronny Franky Sompie hadir. Selain itu, ada Kasatlantas Polwiltabes Surabaya AKBP Agus Wijayanto, Kapolres Surabaya Timur AKBP Samudi, Kapolres Surabaya Utara AKBP Djoko Hariutomo, Kapolres KP3 AKBP Gagas Nugraha, dan Kapolres Surabaya Selatan AKBP Lakoni Wira Negara. Dari luar kota, hadir Kapolres Gresik AKBP M. Iqbal dan Kapolres Sidoarjo AKBP Setija Junianta. Dari luar aparat berseragam cokelat tersebut, ada Kepala Dinas Perhubungan Surabaya Eddi dan Ketua Forum Kemitraan Polisi-Masyarakat (FKPM) Rungkut Djoko Suwondo.
Ronny F. Sompie kemarin menjelaskan banyak hal tentang kelemahan surat tilang selama ini. Mulai titip tilang hingga surat tilang ketlisut, robek-robek, hingga hilang. Kalau demikian, kata Ronny, warga biasanya lupa datang ke pengadilan. ”Terus milih titip sidang,” kata perwira menengah dengan tiga mawar di pundak itu.
Dia juga berharap, sistem baru itu bisa menjadi salah satu cara masyarakat mengawasi kerja polisi. Sebab, kata Ronny, warga seyogianya menjadi pengawas akuntabilitas polisi.
Ronny tak menutupi kesan yang sangat positif pada layanan baru tersebut. Dia berharap, inovasi SMS Tilang itu bisa ditiru dan dicoba di polres lain di jajaran Polwiltabes Surabaya. Sebab, inovasi tersebut akan dikembangkan lagi di tingkat polwiltabes. Bahkan, kata Ronny, dia membayangkan layanan itu kian mudah lantaran masyarakat hanya perlu mengirimkan SMS request ke nomor dengan empat digit saja. ”Mungkin seperti yang di TV. Ketik Reg spasi,” kata Ronny, disambut tawa yang hadir.
Tak sekadar berpidato, Ronny juga mencoba layanan tersebut. Dengan HP miliknya, dia mengetik nopol L 1682 AS, lalu mengirimkan ke hotline 08123011110. Tak lama kemudian, muncul balasan SMS. Tulisannya, Bapak ibu, saudara, saudari, mohon maaf, data tilang belum diproses. Itu disebabkan nopol yang dimasukkan tidak sedang kena tilang. ”Ya, jelas tidak ada datanya. Masak Kapolwil sampai kena tilang,” kata Djadi Galajapo, pemandu acara itu.
Ronny pun kembali mencoba. Yang dimasukkan adalah nomor yang sedang ditilang oleh Polres Surabaya Timur, yakni W 333 TI. Lalu, muncul balasan Yth, nomor registrasi 0411111A nopol W 3333 TI BB: SIM C R2 pasal 282 tanggal sidang 5/10/2009 di PN Arjuno no 16 Surabaya denda Rp 41 ribu. ”Wah, benar berhasil ini,” kata Ronny sambil menunjukkan balasan SMS yang masuk ke HP-nya.
Ronny pun kembali memuji bahwa SMS Tilang itu adalah upaya yang cerdas dalam membantu masyarakat untuk memperoleh informasi. ”Inovasi informasi serupa akan kami terapkan untuk beberapa hal lainnya,” ungkapnya.
Selain melihat uji coba SMS Tilang, undangan dihibur barongsai dan fashion show baju batik. ”Mumpung masih dekat dengan pengesahan batik sebagai warisan budaya,” kata Kasatlantas Polres Surabaya Timur AKP Budi Idayati, pencetus acara kemarin. (dan/dos)
Sumber: Jawa Pos dalam news.smsegov
Sabtu, 03 Oktober 2009
Artikel dari Koran Suroboyo.com
SUROBOYO - Bisa jadi ini gerakan batik akibat dislenthik, disentil, oleh negara tetangga. Padahal sekitar 30 tahun lalu gerakan swadesi mewajibkan siswa mengenakan batik setiap Sabtu. Setalah mati suri dan timbul tenggelam, mulai hari ini eforia berbatik bangkit lagi.
Beragam batik disodorkan oleh masing-masing daerah. Setiap orang mengklaim punya batik motif khas yang asli. Tak sedikit yang berusaha membuat batik dengan pakem berbeda.
Di Surabaya, keinginan membuat batik yang unik agar tetap dilirik salah satunya dilakukan oleh sekelompok ibu dengan Seni Batik Motif Mangrove Rungkut Surabaya (Seru). Seru mencakup warga enam kelurahan yang ada di Kecamatan Rungkut.
Antara lain Wonorejo, Penjaringan Sari, Rungkut Kidul, Medokan Ayu, Kali Rungkut, dan Kedung Baruk. Mereka adalah kumpulan ibu rumah tangga yang berkreasi dalam desain dan pewarnaan batik.
Karya mereka memiliki ciri khas, mengaplikasikan jenis tanaman mangrove (bakau) yang tumbuh subur di kawasan konservasi pantai Timur Surabaya. Jenis mangrove yang diterapkan sebagai motif batik antara lain Bruguiera gymnoriza, Acrostichum speciosum, dan Ceriops decandra. Kalau orang Surabaya punya istilah sendiri, yaitu bogem, nipah, nyamplung, mange kasihan, atau buli.
Kerajinan batik ini belum sebesar produksi batik Madura. Jumlah lembaran kain batik mangrove yang dihasilkan belum banyak. “Sekitar 15 lembar kain dalam sebulan dari RW VII dan VIII Kelurahan Wonorejo,” ucap Ari Bintarti, salah seorang anggota Seru yang rumahnya dijadikan pusat pembuatan batik motif mangrove Kelurahan Wonorejo.
Proses pembuatan motif tidak terlalu memikirkan komposisi, tetapi rapi dan mengandung jenis mangrove. “Gambar ikan, kepiting, atau siput dimasukkan sebagai hiasan tambahan. Binatang itu kan juga komunitas biota hutan bakau,” kata Noverita Ratnawati, anggota Seru lainnya. Nah, setelah sketsa motif ditindas lilin melalui canting tulis, dilakukan pewarnaan dengan teknik colet atau secara menyeluruh (celup). Kecuali yang memakai parafin, sebab hasilnya akan beda, terbentuk motif serat atau warna tidak merata.
Kini, selain membuat kain batik lembaran, mereka juga membuat baju batik. “Ada warga RW VII yang berprofesi sebagai penjahit. Jadi mereka selain membuat batik juga menjahit,” terang Ari. Harga jual batik ini bergantung lebar dan jenis kain. Mulai dari Rp 125.000 hingga lebih dari Rp 250.000. Berbicara batik Surabaya motif mangrove ini tidak lepas dari Lulut Sri Yuliani, warga Kelurahan Kedung Baruk, yang pertama memiliki gagasan ini. Di sisi lain, Lulut ingin masyarakat lebih mengenal dan peduli tentang mangrove.
“Mangrove segera muncul dalam pikiran saya, sebab sejak kecil suka mancing dengan orangtua di sana,” ungkap Lulut. Desain motif batik mangrove sudah disiapkan sejak tahun 2000. Awalnya hanya 23 motif yang siap, kini sudah 44 jenis motif. Pewarnanya juga alami dari mangrove yang sudah diolah. Seperti warna hijau, merah, kuning, dan biru keunguan. Lulut merasa ini harus ditularkan. Maret 2009 dia mengawali pelatihan membuat batik dengan motif mangrove pada ibu-ibu di Surabaya.
Kain yang digunakan katun dan sutera dengan harga jual Rp 100.000-300.000. Saat ini Lulut bersama kelompoknya sedang menerapkan batik mangrove pada pakaian dan kaus agar lebih modern. (ida-Surya)
Sumber: Koran Suroboyo
Kamis, 01 Oktober 2009
Artikel batik motif mangrove dari Suara Surabaya
01 Oktober 2009, 17:38:49| Laporan Agita Sukma Listyanti
Melahirkan Kembali Batik Surabaya
suarasurabaya.net| Batik Surabaya akan dilahirkan kembali. Inilah komitmen Dewan Kerajinan Nasional (Dekranas) Kota Surabaya.Bicara soal batik, orang lebih sering merujuk ke Pekalongan, Yogyakarta dan Solo. Namun sebenarnya setiap daerah bisa menghasilkan batik dengan ciri khas masing-masing. Tak terkecuali di Surabaya.
TJAHJANI RETNO WILIS Ketua Dekranas Surabaya mengakui awalnya tidak menemukan koleksi batik asli Surabaya. Setelah melalui pencarian yang cukup panjang, geliat batik Surabaya pun mulai ditunjukkan.
“Kalau di buku Pak DUKUT (budayawan, red) dulu di Surabaya ada kampung batik. Berarti bisa jadi, memang ada batik Surabaya. Tapi, memang saya belum menemukan batik asli Surabaya,” kata WILIS sapaan akrab TJAHJANI RETNO WILIS yang ditemui suarasurabaya.net di kediamannya, Kamis (01/10).
Karena itu, WILIS melalui Dekranas Surabaya bertekad untuk melahirkan kembali batik Surabaya. Beberapa motif flora maupun fauna sudah mulai dikembangkan dengan tetap mengusung ciri khas Surabaya. Ada motif suro dan boyo, ayam jago, adu burung dara, semanggi dan yang terakhir adalah mangrove.
Saat ini, batik mangrove mulai diperkenalkan ke masyarakat sekitar Wonorejo dan Rungkut lewat Komunitas Batik SeRu (seni batik motif mangrove Rungkut Surabaya) yang digagas Ny. LULUT SRI YULIANI. Sinergi pun dibangun untuk lebih mengembangkan batik mangrove seperti menggandeng UK Petra dari sisi pewarnaannya.
Pendampingan dan pelatihan mengenai batik dengan teknik tulis diberikan kepada ibu-ibu warga Surabaya. "Sudah kerjasama dengan Bapemas untuk melatih 4-5 orang yang diberi job order. Sekarang, mereka sudah mulai terima pesanan sendiri," ujar isteri ARIF AFANDI Wakil Walikota Surabaya ini.
Diakui WILIS, batik Surabaya tidak seperti Sidoarjo ataupun Madura yang sudah lebih dulu memperkenalkan motif khasnya. Khusus Surabaya, motif batik masih harus digali dan dicari. Kunci utama adalah kreatifitas. Secara umum batik dari Jawa Timur biasanya tidak serumit batik Jawa Tengah.
Menurut WILIS, beberapa batik hasil karya khas Surabaya tidak kalah diminati sebagaimana batik Jawa Tengah. Bahkan diakui WILIS, potensi pasar untuk batik khas Surabaya sangat terbuka. Satu diantaranya lewat berbagai pameran yang difasilitasi Dekranas.
Merespon pengakuan UNESCO atas batik sebagai warisan budaya Indonesia, Dekranas pun memberikan dukungannya dengan memakai dan mempromosikan batik.(git/ipg)
Teks Foto :
- Dewi Saraswati, satu diantara batik khas Surabaya, bermotif suro-boyo.
Foto : GITA suarasurabaya.net
Artikel Batik motif mangrove dari Suara Surabaya
Jalan Terjal Batik Mangrove Suroboyo
01 Oktober 2009, 17:16:05| Laporan Eddy Prastyo
suarasurabaya.net| Di ruang tengah rumah Ny. ARI BINTARTI di Jl. Wonorejo Selatan kavling 55 itu sekitar 4 ibu PKK RW 7 dan 8 berkumpul. Mereka mulai menyalakan kompor gas kecil untuk memanaskan malam. Canting pun disiapkan, sedangkan selembar kain katun yang sudah dimotif batik sudah terbentang di atas railing kayu. Motif batik yang diukir di atas kain itu tidak biasa. Untuk orang yang sudah paham, bisa langsung tahu, itulah motif batik mangrove.Batik mangrove sendiri belum genap setahun usianya. Diawali pelatihan yang digagas Disnaker Pemkot Surabaya di Kecamatan Rungkut Maret 2009 lalu, beberapa ibu PKK Kelurahan Wonorejo tertarik untuk mengembangkannya. Bukan faktor kebetulan, karena memang Wonorejo identik dengan hutan Mangrovenya yang ada di pesisir Timur.
Motif mangrove ini memang masih dalam pengembangan. Menurut NOVERITA RATNAWATI satu diantara anggota kelompok PKK batik mangrove, desain mangrove mulanya ditawarkan oleh fasilitator dari Kecamatan Rungkut. Setelah melalui serangkaian percobaan dan diskusi, tiga kelompok PKK di Wonorejo memodifikasi desain tersebut sehingga didapatlah desain seperti saat ini.
“Desain batik mangrove murni mengadopsi jenis-jenis mangrove yang hidup di rawa-rawa sekitar Wonorejo, seperti baringtonia, tanjang, nipah, nyamplung, dan bogem. Warna yang kami pilih adalah warna-warna yang cerah dan ngejreng. Memang ada pengaruh dari Batik Madura, tapi batik mangrove punya kekhasan sulur-sulur mangrovenya dan selalu dalam bentuk batik tulis, bukan cetak,” kata NOVERITA.
Sebagai sebuah rintisan usaha kecil menengah (UKM), diakui NOVERITA, produksi batik mangrove ini memang mengalami pasang surut. Kendala yang saat ini dirasakan adalah terkait permodalan, pewarnaan, dan pemasaran.
Untuk permodalan, kata ARI BINTARTI, usaha ini dirintis lewat modal swadaya kemudian mendapat bantuan dari Pemkot Surabaya. Lewat beberapa lomba yang dimenangkan, kelompok-kelompok batik Mangrove ini berusaha bertahan.
Pewarnaan menjadi kendala karena proses inilah yang menjadi kunci berhasilnya sebuah produk batik. Selama ini, kata ARI, kelompoknya menggunakan pewarnaan kimiawi dengan pertimbangan lebih mudah dan cepat. “Sebenarnya kita juga dapat pelatihan dari UK Petra tentang pewarnaan alami, tapi prosesnya terlalu lama sehingga kami rasa tidak ekonomis,” kata dia.
Karena dikelola secara rumahan dan sebagai kegiatan sampingan, produk batik mangrove ini pun punya keterbatasan. “Kami tidak bisa memproduksi terlalu banyak. Dalam seminggu saja, dengan 2 kelompok yang masih aktif beranggotakan 8 orang, kita hanya bisa memproduksi 15 helai kain batik tulis mangrove,” kata NOVERITA.
Untuk menembus pasar batik, kata NOVERITA, mau tidak mau memang harus dikelola secara industriak serta melibatkan banyak tenaga kerja dan modal. “Kita sih mau seperti itu. Hanya saja kami masih bingung soal pemasaran. Selama ini kami menjual produk-produk kami ke instansi-instansi pemerintah. Untuk masuk ke pasar batik, kita masih punya banyak kendala,” paparnya.
RIDWAN MUBARUN Sekretaris Kecamatan Rungkut yang menjadi fasilitator kelompok batik mangrove di Wonorejo mengatakan Pemkot Surabaya berusaha mengangkat keberadaan batik mangrove dengan menetapkannya sebagai ikon Kecamatan Rungkut. Selain itu, batik mangrove juga akan dimasukkan dalam paket ekowisata hutan mangrove yang akhir tahun ini akan diresmikan oleh Walikota Surabaya.
“Kami juga berupaya untuk memfasilitasi kelompok-kelompok ini mendapatkan hak paten atas desain batik mangrove. Untuk produknya sendiri, kami sudah berikan nama resmi SERU atau Seni Batik Motif Mangrove Surabaya,” kata RIDWAN.
Dikukuhkannya batik sebagai warisan dunia yang berasal dari Indonesia dikatakan NOVERITA sangat membanggakannya sebagai pengrajin batik. “Kita berharap batik tetap eksis, diterima oleh masyarakat dunia, dan pengrajinnya tetap bisa berkarya lebih baik,” kata dia.(edy)
Teks Foto :
1. Batik mangrove khas Surabaya yang punya desain unik
2. Ibu PKK Wonorejo membatik mangrove
Foto : EDDY suarasurabaya.net